Pamali Renovasi Rumah Kosong di Madura: Menghormati Janji Leluhur
![]() |
| Gambar ilustrasi rumah tua di Desa Kar-Laok yang tak boleh direnovasi, berdasarkan kepercayaan masyarakat Madura. (Ilustrasi Gambar Dibuat di AI Canva/Tintanesia) |
Tintanesia: Kisah Mistis
Di Madura, di Desa Kar-Laok, berdiri sebuah rumah tua yang tampak menantang waktu. Nyaris semua elemen rumah itu terbuat dari kayu dan bambu, peninggalan era yang lebih hening. Atapnya mulai lapuk, cat dinding mengelupas, dan jendela kayu terbuka separuh seolah mengintip siapa saja yang lewat. Warga menyebutnya "Roma Kosong", rumah yang tak boleh direnovasi tanpa izin khusus.
Kedatangan Trah dan Skeptisisme
Arman, seorang pemuda berpendidikan dari Surabaya, datang ke Karanglor setelah menerima kabar warisan dari almarhum kakeknya. Rumah inilah yang menjadi bagian dari warisan tersebut. Bagi Arman, rumah tua itu hanyalah aset biasa yang harus diperbaiki dan dimodernisasi agar layak huni. Ia memutuskan untuk menetap sementara dan membangun ulang rumah itu.
Namun, bagi warga Karanglor, rumah itu bukan sekadar peninggalan. Ada sejarah panjang, cerita mistik, dan terutama, sebuah pamali yang tak boleh dilanggar. Arman mendengarkan semua itu dengan senyum skeptis.
“Saya hanya mau memperbaiki, Pak Sastro. Bukan mengubah sejarah atau merusak. Saya akan tinggal di sini,” kata Arman dengan nada santai kepada Pak Sastro, tetua kampung yang dihormati.
Pak Sastro, yang usianya telah mencapai delapan puluh tahun, menatap Arman dengan pandangan penuh kebijaksanaan. “Nak, rumah ini berbeda. Sejak zaman kakekmu, ada pesan penting: siapa pun yang ingin menyentuhnya, harus meminta izin kepada sesepuh, bukan hanya izin pembangunan, tapi izin spiritual. Kalau tidak, rumah itu akan menolakmu.”
Hari-Hari Renovasi yang Penuh Gangguan
Arman tak menggubris peringatan itu. Ia mendatangkan tiga tukang dari kota untuk memulai pekerjaan besar. Hari pertama berjalan lancar, membuat Arman semakin yakin bahwa semua cerita hanyalah takhayul. Batu bata baru mulai disusun, dan genting baru sudah diangkut ke halaman.
Namun, di malam harinya, hal aneh mulai terjadi. Saat tengah tidur di rumah sewaan Pak Rahman, Arman mendengar suara palu bertalu-talu yang seharusnya sudah berhenti sejak senja. Ia menduga salah satu tukang lupa menyimpan peralatan. Ketika ia mendekati "Roma Kosong" dengan senter, rumah itu tampak gelap dan hening, seolah suara bising barusan hanya ilusinya. Anehnya, palu besi milik tukang tiba-tiba jatuh dari atap dengan bunyi "GEDEBUK!" tanpa ada angin kencang.
Keesokan paginya, salah satu tukang mengundurkan diri. Wajahnya pucat pasi. "Saya tak berani lanjut, Mas. Saya bermimpi didatangi perempuan berambut panjang yang duduk di depan rumah sambil menatap tajam. Kata Nyi, rumah itu belum mendapat restu," katanya gemetar.
Arman marah. Ia kehilangan satu pekerja bagus hanya karena mimpi. Namun, dengan tinggal dua pekerja, Arman tetap memaksa melanjutkan renovasi.
Kekuatan Raksabhumi
Pada hari ketiga, masalah mencapai puncaknya. Saat dua pekerja sedang memasang genting, genting baru yang sudah terpasang rapi tiba-tiba meluncur turun tanpa angin. Salah satu tukang berhasil melompat menghindar, tetapi tangannya terluka parah terkena pecahan genting.
Warga mulai berkerumun. Bisik-bisik yang tadinya samar kini terdengar jelas. Mereka menyebut nama Nyi Raksabhumi, sosok penjaga tanah dan rumah yang dipercaya masih menetap di sana dan tidak suka diganggu.
Pak Sastro datang lagi sore itu, membawa dupa dan air bunga seolah tahu apa yang akan terjadi. “Aku sudah bilang, Nak. Rumah ini ada energi penjaganya. Tidak bisa kau ubah sesuka hati. Kau harus menghormati janji yang dibuat oleh kakekmu.”
Arman mengerutkan dahi. “Saya hanya ingin memperbaiki. Kenapa harus serumit ini?”
Tetua desa menatapnya lama. “Rumah itu dibangun atas janji lisan. Kakekmu dulu berjanji tak akan mengubah bentuk aslinya secara total selama garis keturunannya masih ada. Janji itu dibuat demi menjaga keseimbangan energi di desa ini dari sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu. Pelanggaran janji itu membangunkan penjaga.”
Rahasia dari Peti Tua
Malam itu, Arman tak bisa tidur. Ia memutuskan mencari tahu di dalam rumah kosong itu. Ia membuka peti tua di ruang belakang yang belum sempat disentuh tukang. Di dalamnya, tersimpan buku lusuh dan selembar surat berwarna kekuningan. Surat itu bertuliskan tangan kakeknya sendiri.
“Kepada siapa pun yang mewarisi rumah ini, janganlah kau ubah tanpa izin sesepuh. Rumah ini berdiri di atas tanah perjanjian batin. Jika batasnya dilanggar, penjaga akan bangun dan menuntut balasan spiritual. Hormati bentuk aslinya.”
Tiba-tiba, angin berhembus kencang dari arah jendela. Tirai robek, dan suara lirih terdengar, seolah dari dinding: “Jangan ubah apa yang sudah dijaga...”
Arman terpaku. Tubuhnya dingin. Ia melihat bayangan samar sosok perempuan berkebaya putih berdiri di halaman, wajahnya samar, rambutnya terurai panjang. Ketika Arman berkedip, sosok itu lenyap, meninggalkan bau melati yang menyengat di udara.
Harmoni Spiritual dan Ritual Restu
Keesokan paginya, Arman datang ke rumah Pak Sastro. Ia menundukkan kepala, menyerahkan surat peninggalan kakeknya. “Saya mohon, Pak. Saya salah. Tolong tuntun saya bagaimana cara meminta izin spiritual ini.”
Pak Sastro tersenyum tipis. “Bagus, Nak. Akhirnya kau mau mendengar kearifan leluhurmu.”
Malam itu, mereka mengadakan ritual sederhana. Di halaman rumah tua, dupa dibakar, air bunga disiram ke tanah, dan doa-doa dibacakan dengan khidmat. Arman mengikuti semua langkah tanpa banyak bertanya, hatinya kini dipenuhi rasa hormat.
Saat doa selesai, angin berembus lembut. Suasana berubah tenang. Genting yang semula berserakan tak lagi bergeser. “Sekarang kau boleh melanjutkan, Nak. Tapi jangan ubah bentuk rumahnya. Pertahankan nilai-nilai yang sudah diikrarkan. Hanya perbaiki apa yang lapuk,” ujar Pak Sastro lembut.
Pelajaran dari Rumah Tua
Renovasi dilanjutkan dengan hati-hati. Arman tak lagi mengganti struktur utama, ia hanya memperkuat fondasi dan memperbaiki bagian yang rusak, menjaga bentuk asli yang telah dijanjikan kakeknya. Setiap pagi, ia meletakkan bunga melati di depan pintu sebagai tanda hormat.
Rumah itu kini tampak lebih bersih dan hidup, tapi tetap menyimpan aura tua yang menenangkan. Tak ada lagi kejadian aneh. Bahkan, anak-anak berani bermain di halamannya.
Suatu sore, Arman duduk di teras, menatap langit jingga yang merona. Ia merasa ada yang berbeda, seolah rumah itu kini benar-benar menerimanya. Angin bertiup pelan, mengibaskan tirai jendela. Sekilas, ia melihat bayangan perempuan berkebaya putih tersenyum lembut dari dalam rumah, senyum yang membawa ketenangan, bukan ketakutan. Arman membalas senyum itu.
Beberapa bulan kemudian, Arman menuliskan kisahnya dalam sebuah catatan pribadi. Ia sadar, tidak semua hal bisa dijelaskan dengan logika atau sains modern. Kadang, adat dan keyakinan lama menyimpan kebijaksanaan yang tak terlihat mata.
“Rumah kosong itu mengajarkan satu hal,” tulisnya, “bahwa warisan bukan hanya tanah dan bangunan, tapi juga nilai, janji, dan rasa hormat terhadap kearifan yang telah ada sebelum kita.”
