Tanéan yang Meredup di Madura
![]() |
| Ilustrasi tanéan tradisional Madura pada malam hari yang tampak lengang dan diterangi lampu minyak. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot Tintanesia) |
Tintanesia Kisah Misteri
"Aku dengar sesuatu di balik gelap itu," ujar Mamat sambil memelototi sudut tanéan yang hanya diterangi lampu minyak.
Mendengar itu, Dullah menelan ludah dan menjawab dengan suara bergetar bahwa angin sedang memainkan daun pisang, meski tatapannya tak bisa lepas dari bayangan yang seperti bergerak perlahan.
Malam yang seharusnya hangat berubah menjadi ruang yang menahan napas. Lantai tanah memantulkan aroma lembap, sementara dinding kayu berderit seolah mengawasi.
Permainan Silep
Di Tanéan Lanjhãng (Halaman Khas Madura) biasanya ramai oleh tawa anak kecil, namun malam itu udara terasa lebih pekat.
Tiga bocah yang baru pulang mengaji dari Surah memutuskan memainkan Silep, permainan petak umpet yang kini hampir tidak tersentuh oleh generasi modern.
"Hitung sampai dua puluh, Dul," ujar Bani sambil berlari kecil menuju halaman yang remang.
Dullah mengangguk dan menutup wajah dengan kedua tangan, membiarkan hitungan mengalir perlahan di antara desir angin.
Mamat berlari ke arah kandang kambing, sementara Bani menyelinap di balik rumpun singkong. Suara tawa mereka pecah, ringan dan riang, membuat malam sejenak terasa seperti dulu.
Ketika hitungan selesai, Dullah membuka mata dengan senyum lebar.
"Aku cari kalian," serunya sambil menyalakan langkah di tanah yang mulai dingin.
Ia menemukan Mamat dengan cepat, yang terkekeh sambil mengibas debu di celananya. Namun Bani tidak terlihat di mana pun, bahkan setelah mereka memanggil namanya berkali-kali.
"Apa kamu lihat Bani lewat sini," tanya Mamat dengan nada cemas sambil menatap sekitar.
Dullah menggeleng, lalu memanggil lagi dengan suara yang berubah serak karena takut.
Lenyap di Gelap
Malam merapat ketika panggilan mereka tak mendapat balasan sedikit pun. Suasana yang tadinya ceria berubah menjadi kecemasan yang tak bisa dijelaskan.
"Aku takut, Mat," ucap Dullah sambil meremas ujung bajunya sendiri.
Mamat menengadah dan berusaha tersenyum, meski wajahnya sendiri sudah kehilangan warna.
Mereka berlari memanggil orang dewasa, membuat warga segera berkerumun dengan obor dan lampu minyak. Tanah, celah pagar, hingga balik lumbung diperiksa oleh banyak mata yang tegang.
"Dia pasti masih di sekitar sini," ujar seorang lelaki tua sambil menepuk pundak Mamat. Namun napas orang-orang itu terdengar berat seolah menyimpan firasat buruk.
Tiga hari berlalu tanpa satu jejak pun, dan setiap sudut telah diperiksa lebih dari sekali. Doa melayang di antara dinding rumah, sementara bisik-bisik ketakutan mulai mengisi percakapan malam.
"Apakah mungkin Bani diambil sesuatu," tanya seorang ibu dengan suara bergetar. Pertanyaan itu dibiarkan menggantung karena tak ada yang ingin mengakuinya.
Di Bawah Léncak
Pada pagi keempat, ketika harapan mulai meredup, seorang nenek memanggil warga dengan jeritan panik. "Dia di sini," ucapnya sambil menunjuk léncak di depan rumahnya dengan tangan gemetar.
Tubuh Bani tergeletak lemah di bawah léncak, tempat duduk kayu yang sudah berkali-kali diperiksa sebelumnya. Warga terdiam, lalu berdesakan dengan rasa takut yang menusuk.
"Aku sudah buka bagian bawahnya semalam, tapi tidak ada," ujar seorang lelaki dengan suara putus asa. Tetapi tidak satu pun berani membantah kenyataan bahwa bocah itu kini ada di sana.
Ketika Mamat mendekat, bibirnya bergetar melihat sahabat kecilnya terbaring seperti baru bangun dari mimpi buruk. "Bani, kamu dengar kami," tanyanya sambil menyentuh bahunya perlahan.
Bani membuka mata, namun tatapannya kosong seolah tidak mengenali siapa pun. "Ngelap... gelap sekali," gumamnya dengan suara serak yang hampir tidak terdengar.
Ibunya menangis dan memeluknya, tetapi tubuh anak itu dingin seperti baru keluar dari ruang yang tidak mengenal cahaya. Warga saling bertukar pandang, menyadari bahwa ada yang tidak wajar dalam kejadian itu.
Bisik Tentang Errep
Sejak saat itu, desas-desus tentang errep setan mulai beredar di seluruh tanéan. Orang-orang percaya bahwa Bani disembunyikan oleh sesuatu yang tidak kasatmata, lalu dikembalikan ketika sudah tidak ada lagi harapan.
"Kita tidak boleh biarkan anak-anak bermain Silep saat malam lagi," ujar seorang tokoh desa ketika pertemuan dadakan berlangsung. Warga mengangguk, merasa tidak ada alasan untuk membantah keputusan itu.
Tanéan yang biasanya cerah oleh suara anak kecil berubah menjadi halaman yang dipenuhi kehati-hatian. Malam menjadi lebih senyap, seolah bayangan yang mengintai di balik pepohonan sedang mendengarkan.
"Aku masih dengar suara itu di sekitar sini," kata Mamat kepada Dullah sambil memandang léncak yang kosong. Dullah menggigil dan menutup jaketnya lebih rapat.
Bani sendiri jarang berbicara setelah ditemukan, dan setiap kali ditanya ia hanya menjawab bahwa gelap telah menahannya. Tidak ada yang bisa memahami apa yang terjadi, tetapi semua orang merasakan kengerian yang sama.
Jejak yang Tersisa
Waktu berjalan, namun kisah hilangnya Bani tidak pernah benar-benar berakhir. Tanéan Lanjhãng menyimpan keheningan baru yang selalu terasa berat bagi siapa pun yang lewat di malam hari.
"Aku masih takut mengingat malam itu," ujar Dullah kepada Mamat saat mereka duduk memandang halaman yang sepi. Mamat mengangguk tanpa berkata apa-apa, seolah kata-kata bisa mengundang sesuatu kembali.
Léncak yang dulu menjadi tempat orang berbincang kini dibiarkan kosong tanpa siapa pun berani menyentuhnya. Beberapa warga bahkan memilih menyingkir sebelum matahari tenggelam agar tidak harus melewati area itu.
Ada malam ketika angin membawa suara lirih seperti hitungan Silep yang dimulai kembali. Tidak ada yang mau memastikan dari mana suara itu berasal, karena semua sudah tahu bahwa beberapa permainan sebaiknya dimainkan saat siang saja.
Tanéan yang dulu penuh tawa anak kecil saat malam kini memeluk sunyi yang dalam, seakan mengingatkan bahwa tidak setiap kehilangan memiliki jawaban.
Jadi begitulah kisah anak yang di errep setan saat main Silep di Tanéan Lanjhãng Madura.
Penulis: Fau
