Angin Misterius di Malam Ketujuh Tahlilan, Tradisi Madura Berlanjut

Pusaran angin kecil di halaman rumah setelah tahlilan malam ketujuh di Sampang Madura, dengan keluarga duduk melingkar dalam suasana sunyi dan mistis.
Ilustrasi angin misterius setelah tahlilan malam ketujuh di Sampang Madura. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia)

Tintanesia - Malam begitu sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar samar dari kejauhan. Di sebuah desa kecil di Kabupaten Sampang, Madura, sejumlah orang duduk berkeliling di halaman rumah yang remang. Tumpukan arang yang baru saja digunakan untuk membakar jagung masih tersisa di tengah halaman, sementara para cucu almarhum memilih begadang untuk melewati malam ketujuh setelah kepergian orang terkasih.

Di tengah suasana tenang itu, terjadi sebuah peristiwa yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh logika. Pada pukul 01.00 dini hari, setelah rangkaian tahlilan selesai, muncul pusaran angin kecil dari arah barat dan mengacak bekas arang yang sudah mati. Tidak ada orang yang bergerak, tidak ada hembusan angin sebelumnya, namun kejadian itu berlangsung begitu cepat dan penuh misteri, sehingga semua orang yang menyaksikannya saling berpandangan tanpa kata.

Bagi sebagian orang, kejadian itu mungkin hanya angin biasa. Namun, bagi keluarga besar almarhum, terutama Ben (nama samaran), angin tersebut bukan sekadar fenomena alam. Mereka meyakini bahwa pusaran angin kecil di malam ketujuh itu adalah tanda, semacam salam perpisahan dari sang mendiang yang pulang ke alam keabadian.

Tradisi Tahlilan di Sampang Madura: Terbuka untuk Siapa Saja

Kisah ini berawal ketika Ben, seorang pria berusia 38 tahun, kehilangan kakeknya beberapa tahun lalu. Seperti tradisi masyarakat Madura pada umumnya, keluarga mengadakan tahlilan selama tujuh malam berturut-turut sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada almarhum. Tradisi ini tidak hanya menjadi wujud doa, tetapi juga cara masyarakat menjaga hubungan sosial dan spiritual.

Berbeda dengan tradisi tahlilan di banyak daerah di Pulau Jawa, masyarakat Sampang memiliki kebiasaan yang lebih terbuka. Tahlilan tidak dibatasi hanya untuk undangan keluarga atau tetangga dekat. Siapa pun boleh hadir tanpa harus diberi kabar terlebih dahulu. Mereka menyebutnya sebagai bentuk penghormatan sekaligus solidaritas sosial terhadap keluarga yang sedang berduka.

“Di Madura tidak ada yang namanya undangan. Kalau ada yang meninggal dan ada tahlilan, semua orang boleh datang. Itu bagian dari adat dan bentuk hormat,” ujar Ben menceritakan.

Baginya, suasana malam-malam tahlilan itu tidak hanya bernuansa duka, tetapi juga sarat makna dan kebersamaan.

Menurut sebagian sesepuh di desa tersebut, tahlilan bukan hanya rutinitas doa. Masyarakat percaya bahwa selama tujuh hari pertama setelah meninggal, ruh masih berada dekat dengan keluarga. Oleh sebab itu, tahlilan menjadi media untuk mengantar ruh menuju alam berikutnya, dengan iringan doa dan lantunan kalimat thayyibah.

Malam Ketujuh: Saat Angin Datang sebagai Tanda Perpisahan

Malam ketujuh menjadi malam yang paling penting dalam rangkaian tahlilan. Setelah seluruh rangkaian doa selesai dan masyarakat kembali ke rumah masing-masing, hanya keluarga inti dan beberapa cucu yang memilih tetap terjaga hingga pagi. Mereka duduk bersisian di taman depan rumah, mencoba mengusir kantuk dengan candaan ringan dan jagung bakar yang masih hangat.

“Kami sengaja begadang, karena orang tua bilang, malam ketujuh itu biasanya ada tanda. Entah angin, entah suara, pokoknya semacam pertanda pamit dari yang meninggal,” ucap Ben mengenang kejadian itu.

Menjelang dini hari, saat pembicaraan mulai pelan dan rasa lelah mulai terasa, tiba-tiba terjadi sesuatu yang tak terduga. Dari arah barat muncul pusaran angin kecil yang bergerak tepat ke tengah halaman rumah, padahal dedaunan tidak menunjukkan angin sedikitpun. Angin itu tidak cukup kuat untuk menerbangkan debu atau sampah, tetapi cukup untuk mengoyak arang yang sebelumnya benar-benar sudah padam. Momen itu berlangsung hanya beberapa detik, namun cukup membuat seluruh yang hadir terdiam.

Sebagian cucu langsung merinding, sementara yang lain memilih untuk diam dan memperhatikan. Tidak ada suara keras, tidak ada kejadian lain setelahnya. Namun keheningan yang menyusul setelah angin itu terasa berbeda, seolah ada sesuatu yang baru saja berpulang.

Bagi Ben, momen itu begitu membekas, “Kami semua saling pandang, tapi tidak ada yang bicara. Dalam hati kami bilang, mungkin itu tandanya embah pamit. Rasanya campur aduk, antara sedih dan lega.”

Antara Mistik, Keyakinan, dan Warisan Budaya

Peristiwa seperti ini bukan hal asing dalam tradisi masyarakat Madura. Banyak keluarga yang meyakini bahwa ruh masih dekat dan terkadang memberikan tanda kepada orang terdekatnya. Meski tidak semua orang mempercayainya, kisah-kisah seperti ini telah menjadi bagian dari identitas budaya yang diwariskan turun-temurun.

Namun bagi generasi muda kini, tradisi tersebut bukan hanya persoalan mistis. Lebih dari itu, tahlilan dianggap sebagai wadah menjaga silaturahmi, menghormati leluhur, dan merawat kebersamaan. Di tengah perubahan zaman yang serba cepat dan individualis, tradisi semacam ini tetap bertahan sebagai bagian dari warisan spiritual masyarakat Madura.

Ben menutup ceritanya dengan kalimat yang menenangkan. “Saya tidak tahu apakah orang lain percaya atau tidak. Tapi bagi saya dan keluarga, malam itu adalah momen terakhir kami merasa embah masih bersama. Setelah angin itu, hati kami lebih tenang. Seolah kami tahu, beliau sudah pergi dengan damai.”*

Penulis: Fau

Posting Komentar