Ranu Kumbolo Menyimpan Rahasia Arwah Tersesat
![]() |
| Ilustrasi lima pendaki melihat sosok misterius dari permukaan Ranu Kumbolo ketika sebuah gelang tua ditemukan. Atmosfer tegang dan penuh kabut. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-Pilot/Tintanesia) |
Tintanesia: Kisah Mistis
Malam semakin pekat ketika kelompok itu akhirnya berusaha kembali menenangkan diri di dalam tenda. Api kecil yang mereka buat perlahan padam. Hanya suara angin danau yang terdengar seperti helaan napas panjang. Ara duduk membungkus tubuh menggunakan jaket tebal sambil memeluk lutut. Tatapannya kosong, seolah benaknya masih berada di tempat lain.
- Baca cerita sebelumnya: Pendakian Semeru dan Awal Gangguan Misterius
"Kita tidak bisa tidur sambil ketakutan begini," kata Jaka pelan.
Abdullah mengangguk. "Besok pagi kita turun. Sebelum matahari naik terlalu tinggi."
Namun sebelum keputusan itu terasa mantap, Ara tiba-tiba bertanya dengan suara kecil.
"Apa yang kalian lakukan ketika seseorang yang tidak ingin pergi... masih mengikuti?"
Pertanyaan itu membuat semuanya kembali membeku.
"Ara, kamu bicara tentang siapa?" tanya Yanti dengan suara gemetar.
Ara mengangkat wajah pelan. "Ardipta menunggu sesuatu. Dia merasa ada barang miliknya di antara kita."
Jaka menelan ludah. "Apa maksudmu? Kita tidak membawa apa pun yang bukan hak kita."
Ara menatap tas pendakian miliknya. "Seseorang pernah bilang, kadang manusia mengambil sesuatu tanpa sadar."
Semua memandang tas itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Tidak ada yang berani menyentuhnya.
Beberapa menit keheningan berlalu sebelum Abdullah akhirnya berbicara. "Kita buka saja tasnya. Kita lihat apa yang dimaksud Ara."
Jaka membuka resleting dengan tangan sedikit bergetar. Di antara pakaian, alat makan, dan sleeping bag, terlihat benda kecil yang tampak asing. Sebuah gelang rajut berwarna cokelat kusam yang tampak sudah sangat tua.
Yanti langsung menutup mulutnya. "Kamu membawa itu dari mana?"
Ara menggeleng pelan. "Aku tidak ingat pernah memilikinya."
Abdullah berbisik pelan. "Itu miliknya. Tidak diragukan lagi."
Begitu gelang itu dikeluarkan, aroma kemenyan muncul kembali. Kali ini lebih tajam, seolah seseorang berada sangat dekat.
Jaka memegang gelang itu sambil menatap Ara. "Kalau ini benar miliknya, mungkin kita harus mengembalikannya."
Ara menatap ke luar tenda. "Dia tidak ingin kita lemparkan sembarangan. Dia ingin kita mengantarnya ke tempat terakhir dia berada."
Abdullah langsung berdiri. "Tidak. Kita turun saja. Ini sudah tidak masuk akal."
Namun sebelum langkah itu dilanjutkan, tenda mereka bergerak seperti diraih tangan dari luar. Bukan satu tarikan, tetapi seperti seseorang memegang kainnya perlahan dan menelusuri permukaannya.
Semua terdiam.
Lalu terdengar suara. Pelan. Serak. Seperti seseorang yang baru kembali dari dunia gelap.
"Kembalikan."
Suara itu tidak berasal dari luar atau dari dalam. Suara itu muncul seakan dari udara di sekitar mereka.
Ira gemetar sambil menutup telinganya. "Aku tidak tahan lagi. Aku mau pulang. Sekarang juga."
Jaka menarik napas panjang dan berdiri. "Kita ke tepi danau. Sekarang. Kita akhiri ini."
Kabut semakin tebal ketika mereka keluar tenda. Bulan sembunyi di balik awan. Cahaya senter menjadi satu-satunya penuntun mereka melangkah menuju tepi air.
Setibanya di sana, Ara berdiri paling depan. Tangannya gemetar saat memegang gelang tua itu.
"Ardipta," ucapnya pelan. "Jika ini milikmu, aku mengembalikannya."
Namun air danau tetap diam. Tidak ada suara apa pun.
Hingga beberapa detik kemudian, permukaan air bergoyang seperti ada sesuatu yang bergerak di bawahnya. Mereka mundur beberapa langkah. Air perlahan berubah gelap seperti tinta.
Dari tengah danau, terlihat sosok samar. Perlahan naik. Berdiri di atas air.
Tubuhnya basah. Kulitnya pucat. Matanya kosong.
Abdullah hampir menjatuhkan senter.
Ara berbisik takut. "Itu dia."
Sosok itu tidak mendekat. Namun tatapannya sangat nyata. Terasa seperti menusuk ke dalam pikiran.
"Aku kembalikan ini," kata Ara dengan suara bergetar. "Tolong, biarkan kami pulang."
Sesaat setelah gelang itu diletakkan di batu tepi danau, angin berhenti. Air danau kembali tenang. Kabut terangkat pelan seperti tirai yang ditarik.
Sosok itu menunduk sedikit, lalu menghilang perlahan di dalam air tanpa suara.
Seketika bau kemenyan hilang.
Tidak ada suara burung hantu. Tidak ada sentuhan misterius.
Semua diam. Tidak percaya apa yang baru terjadi.
Mereka kembali ke tenda tanpa kata. Malam itu akhirnya terasa normal kembali, walau rasa takut belum hilang sepenuhnya.
Di tepi danau, tepat di tempat gelang itu diletakkan, terlihat jejak kaki basah.*
Penulis: Fau
