Pendakian Semeru dan Gangguan Misterius

Lima pendaki duduk ketakutan di tepi danau Ranu Kumbolo pada malam berkabut dengan burung hantu mengawasi dari pohon tumbang.
Ilustrasi lima pendaki mengalami kejadian aneh di tepi Ranu Kumbolo. Suasana malam mencekam dengan burung hantu dan kabut tebal. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-Pilot/Tintanesia)

Tintanesia: Kisah Mistis

Langit sore berubah menjadi jingga ketika lima sahabat bernama Jaka, Ara, Ira, Yanti, dan Abdullah akhirnya tiba di jalur menuju Ranu Kumbolo. Perjalanan pendakian mereka memakan waktu lebih lama dari rencana awal. Hal itu karena beberapa kali berhenti untuk membeli perlengkapan tambahan, makan, dan bercanda di warung pendaki. Walaupun terlambat, semangat mereka tetap penuh. Mereka merasa gembira karena akhirnya bisa menaklukkan trek Semeru yang selama ini hanya menjadi mimpi.

Selama pendakian, suasana terasa hangat. Mereka tertawa berkali-kali ketika seekor burung liar terus mencoba mencuri bekal taro goreng milik Yanti. Setiap kali burung itu mendekat, Yanti menjerit sambil melindungi tas makanannya, lalu teman lainnya menertawakan tingkah tersebut. Abdullah sibuk memotret momen itu dengan kamera yang tidak pernah lepas dari lehernya.

"Kalau perjalanan ke puncak nanti seasyik ini, kita akan punya cerita terbaik sepanjang hidup," ujar Jaka sambil mengusap keringat.

Semua tampak setuju dan tetap berjalan, seolah tidak ada hal buruk yang mungkin muncul dalam perjalanan ini.

Namun begitu mereka sampai di tepi Ranu Kumbolo, suasana berubah drastis. Langit jingga perlahan memudar menjadi ungu gelap. Udara malam semakin dingin dan menusuk kulit. Angin yang berembus dari arah danau terdengar seperti gumaman panjang yang sulit dipahami.

"Ayo cepat pasang tenda," kata Ara sambil menggigil. "Hari sudah hampir gelap."

Mereka bergerak cepat. Setelah tenda terpasang, mereka menyalakan kompor portable untuk memasak mie instan dan merebus air panas untuk membuat teh dan kopi. Aroma gurih seharusnya terasa menenangkan, tetapi tiba-tiba Jaka menghentikan gerakannya.

"Tunggu," ucapnya pelan.

Ira menoleh dengan ekspresi bingung. "Kenapa?"

Jaka menghirup udara dalam-dalam, lalu mengernyit.

"Kalian tidak mencium sesuatu?"

Abdullah menjawab santai, "Bau mie instan yang begitu sedap maksudmu?"

Jaka menggeleng pelan. "Bukan itu. Sepertinya aku mencium bau kemenyan. Aromanya kuat sekali."

Semua saling pandang. Mereka mencoba mencium udara sekitar, tetapi tidak ada seorang pun yang mencium apa pun selain aroma makanan dan udara lembap.

"Kamu serius?" tanya Yanti dengan suara pelan.

"Ya. Aromanya seperti berasal dari tempat yang sangat dekat."

Mereka mencoba mengabaikan hal itu dan melanjutkan makan malam. Namun sejak saat itu, Jaka terus memandangi ke arah danau seolah menunggu sesuatu muncul dari balik kabut.

Setelah selesai makan dan minum, mereka duduk melingkar di depan tenda sambil menghangatkan tubuh. Bulan menggantung bulat di langit dan memantulkan cahaya pucat ke permukaan air. Kabut mulai turun perlahan, menutupi tepian danau seperti selimut tipis.

Tiba-tiba seekor burung hantu muncul dari balik pepohonan dan hinggap di batang pohon tumbang tidak jauh dari posisi mereka. Burung itu diam sambil menatap lurus ke arah mereka. Tatapannya tajam, dingin, dan tidak berkedip.

Suasana tiba-tiba menjadi hening. Begitu sunyi hingga suara napas terdengar jelas.

Burung itu mengeluarkan suara panjang, serak, dan bergema di sekitar danau. Suaranya membuat bulu kuduk mereka meremang.

"Ini mulai terasa tidak nyaman," bisik Ira pelan.

Namun sebelum siapapun sempat merespons, Ara tiba-tiba terlihat berbeda. Pandangannya terfokus ke arah danau. Napasnya berubah tidak stabil dan tubuhnya tampak menegang.

"Ara, kamu baik-baik saja?" tanya Abdullah.

Ara tidak menjawab. Matanya tetap menatap lurus ke satu titik. Setelah beberapa detik, bibirnya bergerak pelan.

"Siapa kamu?"

Jaka langsung menggenggam bahu Ara. "Ara, kamu bicara dengan siapa? Di sana tidak ada siapa-siapa."

Namun Ara tetap tidak memandang ke arah teman-temannya.

"Seseorang berdiri di tepi air," ucapnya dengan suara bergetar. "Dia menatap ke arah kita sejak tadi."

Yanti menelan ludah pelan. "Sosok seperti apa?"

Wajah Ara terlihat semakin pucat.

"Pria bertubuh basah. Kulitnya pucat seperti tidak dialiri darah. Tatapannya kosong seperti seseorang yang sudah kehilangan tujuan."

Tidak ada yang bergurau kali ini. Mereka tahu cerita pendaki hilang bukan sekadar mitos.

"Dia mengatakan sesuatu," lanjut Ara. "Dia bilang dirinya bernama Ardipta. Dia tersesat bertahun-tahun yang lalu dan tidak pernah kembali ke rumah."

Suasana menjadi semakin sunyi.

Abdullah mencoba menenangkan. "Ara, kamu hanya halusinasi karena kelelahan."

Namun Ara justru tersenyum tipis. Senyum itu bukan miliknya. Senyum itu terasa asing.

"Dia mengatakan sesuatu lagi," bisiknya. "Dia bilang aku membawa miliknya."

Seketika Ara meraih pisau masak yang terletak di dekat kompor portable. Gerakannya sangat cepat. Dia mengangkat pisau dan menyerang udara kosong sambil berteriak.

"Jangan mendekat! Aku tidak mencurinya! Jangan sentuh aku!"

Ira dan Yanti menjerit ketakutan. Abdullah mencoba menangkap tangannya tetapi Ara meronta seperti seseorang yang sedang melawan sesuatu yang mengancam nyawa.

"Dia semakin dekat! Jangan mendekati aku!" teriak Ara.

Jaka akhirnya berhasil meraih tubuh Ara dan menjatuhkannya ke tanah. Pisau terlepas dari genggaman dan jatuh beberapa meter dari mereka.

Setelah beberapa detik teriakannya memuncak, Ara tiba-tiba terdiam. Tubuhnya lunglai, lalu jatuh dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Ketika Ara akhirnya membuka mata, dia terlihat bingung.

"Ada apa? Kenapa semua terlihat panik?"

Jaka menatapnya dengan cemas. "Kamu tidak ingat apa pun?"

Ara menggeleng pelan. Ekspresinya berubah semakin takut karena dia tidak tahu apa yang baru saja dialaminya.

Yanti memeluk bahunya. "Kamu menakutkan sekali. Kamu seperti orang lain."

Abdullah memandang ke arah danau. Kabut semakin tebal. Air tenang itu kini tampak gelap seolah menyembunyikan sesuatu.

Bau kemenyan kembali muncul. Kali ini aromanya terasa lebih pekat dan menusuk hidung. Bahkan tidak ada yang bisa menyangkalnya lagi.

"Kalian mencium itu?" tanya Jaka pelan.

Semua menjawab dengan anggukan takut.

Angin kembali berembus dan membawa suara seperti bisikan. Suara burung hantu terdengar lagi. Namun kali ini suaranya jauh lebih dekat.

Tenda mereka tiba-tiba bergerak seperti ada sesuatu menyentuh bagian luarnya. Abdullah menyalakan senter. Namun sebelum cahaya diarahkan ke arah suara, terdengar langkah menyeret dari sisi luar. Langkah itu perlahan mendekati area mereka duduk.

Langkah itu berhenti tepat di belakang Jaka.

Dengan wajah pucat, Jaka menoleh perlahan.

Tidak ada yang terlihat.

Namun aroma kemenyan bercampur bau lumpur basah semakin kuat.

"Aku rasa gunung ini tidak hanya menyambut pendaki," ucap Abdullah dengan suara gemetar.

Jaka menatap danau yang terselimuti kabut tebal. "Aku pikir gunung ini sedang meminta sesuatu dari kita."

Kelima sahabat itu saling mendekat. Udara menjadi berat seperti menekan dada mereka.

Langit tampak diam. Namun dalam diam itu, sesuatu yang tidak terlihat sedang mendekat. Seolah ada sesuatu yang sudah lama menunggu.* 

Penulis: Fau

Posting Komentar