Misteri Pohon Besar yang Menolak Ditebang di Sampang

Pohon besar misterius di tepi jalan desa Buker dengan akar melingkar dan aura magis menjelang senja.
Pohon Aeng, pohon raksasa berusia ratusan tahun di Desa Buker yang diyakini warga menolak untuk ditebang karena menyimpan misteri gaib dan keseimbangan alam. (Sumber: AI Co-pilot/Tintanesia)

Tintanesia, Kisah Mistis

Suara mesin alat ukur bergaung di sepanjang jalan beraspal menuju Dusun Tamaser Desa Buker Kabupaten Sampang. Di tengah hiruk pikuk para pekerja proyek, beberapa warga berdiri berkerumun di bawah terik matahari, menatap gusar ke arah Pohon Aeng, pohon besar berusia ratusan tahun yang menjulang di pinggir sungai kecil.

“Jangan kalian sentuh batang itu!” teriak ibu Saripah, seorang perempuan tua berkerudung lusuh, dengan nada gemetar namun tegas.
“Kalian tak tahu, banyak yang celaka gara-gara pohon itu!” imbuhnya.

Seorang petugas proyek yang mengenakan helm putih menoleh dengan nada mengejek dia bilang “Bu, ini proyek pemerintah. Pohon itu harus ditebang supaya jalan bisa diperlebar. Lagipula, cuma mitos.”

“Bilang saja kalian tak percaya,” timpal Halim, pemuda desa yang berdiri di samping Saripah.
“Tapi yang pernah mencoba menebangnya, semua kena musibah! Kalian mau nyusul?” kata dia.

Dari seberang jalan, Darlan, kepala dusun yang juga ketua panitia lokal proyek, mencoba menengahi. “Sudahlah, jangan ribut! Ini demi pembangunan. Kita harus maju, jangan terbelenggu ketakutan.”

Namun seruan itu justru memancing keributan baru.
“Pak Kasun bicara gampang, rumah jenengan jauh dari sini!” sahut Halim dengan nada tinggi. “Kami yang tinggal di sekitar sini, kami yang ngerasain!”

Beberapa warga bersahutan, sebagian mendukung Lurah, sebagian memaki keras. Suasana memanas.

Seorang pria berjaket proyek, Sahwan, maju mendekat sambil membawa gergaji mesin di tangan. “Kalau kalian semua takut, biar saya saja yang tebang! Lihat nanti, tak ada apa-apa.”

Makcik Saripah menjerit. “Jangan, Nak! Demi Allah, jangan kau mulai!”

Tapi Sahwan sudah menyalakan mesin. Suara ngengggggg memekakkan telinga, burung-burung beterbangan dari dahan. Gergaji baru menyentuh kulit batang setebal lengannya, tiba-tiba percikan api muncul dari rantai besi. Mesin bergetar hebat, lalu mati total.

“Lho?! Kenapa ini?” Sahwan menatap bingung, mencoba menyalakan ulang, tapi gagal.

Halim melangkah maju, menatap tajam. “Sudah kubilang, jangan dipaksa.”

Belum sempat Sahwan menjawab, batang gergaji tiba-tiba panas, seolah terbakar dari dalam. Ia terpekik, menjatuhkan alat itu, lalu terduduk dengan wajah pucat.

“Air! Cepat ambil air!” seru Darlan panik.

Beberapa warga berlari ke sungai. Namun sebelum air sampai, Sahwan menggigil hebat. Matanya terpejam, bibirnya bergetar tanpa suara.

“Naudzubillah… tubuhnya dingin!” bisik ibu Saripah sambil memegangi tangan Sahwan yang membeku.

Warga berhamburan mundur. Suara bisik-bisik memenuhi udara.

“Ini pasti peringatan dari penghuni pohon…”
“Katanya dulu di situ ada makam tua…”
“Jangan-jangan penunggunya marah…”

Darlan berusaha tegar, tapi keringat dingin menetes di pelipisnya. “Semua bubar dulu! Kita hentikan sementara. Besok kita rapatkan ulang dengan pihak kabupaten.”

Namun belum juga orang-orang beranjak, Pak Juri, kepala desa Buker, datang tergesa dari arah motor dinasnya. “Apa yang terjadi di sini? Kenapa proyek berhenti?”

Halim menjawab dengan nada kesal, “Kami sudah bilang dari awal, Lurah! Pohon Aeng tidak bisa ditebang. Sekarang lihat sendiri, orangmu tumbang sebelum batangnya roboh!”

Pak Lurah menatap tubuh Sahwan yang masih terbaring lemas. Suasana berubah hening.

Seseorang berbisik dari belakang, “Mungkin sudah waktunya kita panggil orang yang mengerti hal seperti ini.”

Lurah Juri menoleh, wajahnya menegang. “Kau maksud siapa?”

Ibu Saripah menjawab lirih, “Siapa lagi kalau bukan Aryowirojo dari Plakaran. Hanya dia yang bisa bicara dengan yang tak tampak.”

Halim mengangguk pelan. “Benar, Lurah. Kalau tak ingin proyek ini jadi kuburan, panggil dia segera.”

Lurah Juri terdiam lama, menatap batang besar yang seolah memandang balik dari balik dedaunan. Daun-daunnya bergoyang pelan, tapi udara siang terasa berhenti berembus.

Suara sungai di sampingnya tiba-tiba terdengar seperti bisikan: “Jangan sentuh akar kami…”

Pak Lurah menelan ludah. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Besok pagi aku akan mengundang Aryowirojo.”

Baca Juga

Kedatangan R. Aryowirojo

Sore itu, langit berwarna jingga tua ketika Aryowirojo tiba di Tamaser. Seperti biasa, dia memakai pakaian sederhana. Baju seperti kebanyakan masyarakat mengenakan. Hanya saja ada kain kain batik Madura yang dililit rapi. Wajahnya tenang, sorot matanya teduh, dan setiap ucapannya mengandung wibawa yang sulit dijelaskan dengan logika biasa.

Kepala desa menyambut dengan penuh hormat.
“Terima kasih sudah datang, Ra (Sebutan Gus dalam bahasa Madura)” ucapnya sambil menunduk, kemudian mengimbuhkan, “Warga kami resah. Pohon di pinggir jalan itu hendak ditebang untuk proyek, tapi selalu ada kejadian aneh.”

Aryowirojo tersenyum lembut. “Bawalah saya ke sana setelah Magrib. Kita lihat apa yang sebenarnya terjadi.”

Setelah menunaikan salat berjamaah di musala kecil, rombongan menuju lokasi. Hanya lampu senter dan cahaya bulan yang menerangi jalan setapak. Udara di sekitar pohon terasa berbeda. Agak lebih berat, seolah mengandung getaran halus yang menekan dada.

Begitu berdiri di hadapan Pohon Aeng, Aryowirojo menatap lama tanpa berkata-kata. Tangannya menyentuh batang kasar yang berlumut, lalu berbisik pelan membaca ayat Kursi. Angin malam tiba-tiba berembus kuat, dedaunan bergemerisik seperti menyahut bacaan itu.

“Subhanallah…” desah kepala desa lirih. “Apakah pohon ini benar-benar berpenunggu, Ra?”

Aryowirojo menggeleng pelan. “Setiap makhluk diciptakan berpasangan. Ada yang terlihat, ada pula yang tidak. Tetapi jangan buru-buru menyalahkan alam gaib. Mari kita pahami dulu secara ilmiah dan spiritual.”

Dialog Dua Dunia

Keesokan harinya, Aryowirojo meminta izin melakukan pengamatan lebih dekat. Dia membawa peralatan sederhana. Yakni berupa kompas, alat ukur tanah, dan sebuah botol kecil berisi air zamzam. Bersamanya turut serta seorang pemuda desa bernama Ghulam, lulusan teknik lingkungan yang baru pulang dari Surabaya.

Ghulam menatap penuh rasa ingin tahu. “Ra, saya pernah mempelajari tentang electrostatic field dan fenomena ion negatif di sekitar pohon besar. Bisa jadi medan listrik alami dari akar dan mineral di tanah menciptakan efek aneh.”

Aryowirojo tersenyum tipis. "Ilmu pengetahuan membantu kita membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan. Namun, jangan lupakan bahwa setiap fenomena alam tetap berada dalam kehendak-Nya."

Pemuda itu mengangguk, “Berarti Lora tidak menolak penjelasan ilmiah?”

“Tidak. Justru ilmu harus berjalan beriring dengan iman. Tanpa keseimbangan, manusia akan mudah tersesat pada kesombongan.”

Ketika mereka menggali tanah di sekitar akar, muncul aroma harum menyerupai dupa. Ghulam kaget, tapi Aryowirojo tetap tenang. Ia meneteskan air zamzam ke tanah tersebut, kemudian berucap doa. Seketika aroma itu lenyap.

“Ra… wangi itu seperti dari bunga kenanga,” bisik Ghulam.

“Itu tanda keberadaan makhluk halus. Tapi mereka tidak jahat. Hanya menjaga tempat ini sejak lama,” jawab Aryowirojo.
“Yang kita perlukan adalah izin, bukan perlawanan," imbuhnya menjelaskan.

Musyawarah dan Keangkuhan

Beberapa hari kemudian, pihak proyek datang membawa alat berat. Mandor proyek bernama Rais bersikeras menebang pohon tanpa menunggu keputusan warga.

“Ini perintah kabupaten! Kalau jalan tidak diperlebar, anggaran bisa hangus!” katanya keras.

Kepala desa mencoba menenangkan, “Tapi, Pak Rais, pohon ini bukan sembarang pohon. Sudah banyak kejadian aneh.”

“Dongeng!” seru Rais, “Kita hidup di zaman modern, jangan percaya takhayul.”

Aryowirojo yang duduk di bale-bale kayu menatapnya tenang. “Tuan Rais, logika manusia tak selalu mampu menembus semua rahasia bumi. Kadang, sesuatu yang tampak mistis sebenarnya hanya menunggu kita menghormatinya.”

Namun Rais tak menghiraukan. “Saya hanya tahu pekerjaan harus selesai tepat waktu.”

Tanpa mengindahkan peringatan siapa pun, Rais memerintahkan operator ekskavator untuk memulai penebangan. Baru saja gigi besi alat itu menyentuh batang pohon, mesin mendadak mati. Dicoba dihidupkan lagi, tetap tak mau menyala.

Beberapa pekerja mulai berbisik cemas. Tiba-tiba, angin berputar hebat di sekitar lokasi. Debu dan daun beterbangan. Dari sela batang terdengar suara bergemuruh seperti rintihan.

Rais pucat. “Apa yang terjadi?”

Aryowirojo berdiri dan mengangkat tangannya. “Bacalah istighfar. Semua berhenti!”

Mereka serentak diam. Suara angin perlahan mereda. Hanya tersisa desiran lirih yang terdengar seperti tangisan jauh di dalam batang pohon.

Malam Wahyu Alam

Malam itu, Aryowirojo bermeditasi di dekat sungai. Ghulam ikut menemaninya, duduk bersila dengan hati berdebar. Langit mendung, kilat sesekali memancar tanpa suara.

Dalam keheningan, Aryowirojo menutup mata dan membaca dzikir. Hawa di sekeliling terasa kian dingin. Tiba-tiba muncul kilatan cahaya lembut dari arah pohon, membentuk bayangan samar menyerupai sosok perempuan tua berpakaian putih.

Ghulam spontan mundur. Namun Aryowirojo tetap duduk tegak, menatap lembut sosok itu.

“Assalamu’alaikum…” ucap Aryowirojo dengan nada rendah.

Sosok tersebut membalas dengan bisikan halus, “Wa’alaikum salam, hamba Allah yang berhati bersih. Mengapa kalian ingin melukai rumah kami?”

“Kami tidak bermaksud merusak,” jawab Aryowirojo. “Hanya ingin memperluas jalan agar masyarakat mudah bepergian.”

“Tempat ini suci. Di bawah akar pohon tersimpan makam dua wali tua yang dulu menjaga desa ini. Jika pohon ini tumbang, keseimbangan tanah akan rusak. Air sungai akan surut,” jelas sang makhluk.

Aryowirojo mengangguk penuh hormat. “Kami akan menjaga amanah itu. Tetapi tolong berikan tanda agar manusia lain memahami tanpa ketakutan.”

Sosok itu tersenyum tipis sebelum menghilang bersama cahaya lembut. Angin berhembus pelan membawa aroma bunga kenanga yang menenangkan.

Baca Juga

Penemuan Ilmiah

Keesokan paginya, Ghulam melakukan pengeboran tanah di sisi sungai. Hasilnya mengejutkan. Di kedalaman tiga meter, ditemukan dua batu nisan tua beraksara Arab kuno. Di dekatnya mengalir mata air kecil yang terhubung ke aliran sungai utama.

Ghulam menunjukkan hasil itu kepada kepala desa, "Lora benar. Di bawah pohon ini ada sumber air purba. Kalau ditebang, sistem air tanah bisa runtuh,”

Kepala desa menatap takjub. “Berarti bukan hanya soal mistik, tapi juga keseimbangan alam?”

Aryowirojo menjawab tenang, “Mistik dan alam bukan dua hal terpisah. Keduanya bagian dari ciptaan Tuhan. Pohon ini menolak ditebang karena menjaga kehidupan.”

Berita itu segera menyebar. Pemerintah kabupaten akhirnya memutuskan mengubah jalur proyek agar tidak melewati pohon tersebut. Sebagai gantinya, lokasi itu dijadikan taman kecil bernama Taman Warisan Alam Tamaser.

Rahasia yang Ditinggalkan

Beberapa minggu kemudian, Ghulam mendatangi Aryowirojo yang hendak pulang ke Plakaran. “Ra, saya masih heran. Mengapa hanya orang tertentu yang bisa berkomunikasi dengan makhluk tak kasatmata?”

Aryowirojo menatap pemuda itu dengan senyum teduh, lalu menjawab “Karena sebagian manusia sibuk mendengar dunia, sementara sebagian kecil mendengar hati. Yang terakhir itulah yang mampu menangkap bisikan alam.”

“Apakah saya bisa belajar mendengarnya?”

“Bisa. Tapi syaratnya satu. Bersihkan niat, tundukkan ego. Ilmu tanpa ketundukan hanya akan menumbuhkan kesombongan. Sementara kesombongan menutup pintu cahaya.”

Ghulam menunduk dalam. Kata-kata itu menancap di hatinya lebih dalam daripada teori mana pun yang ia pelajari di kampus.

Sebelum berpisah, Aryowirojo sempat menatap Pohon Aeng sekali lagi. Daun-daunnya bergoyang perlahan, seolah melambai perpisahan. Dari kejauhan, cahaya matahari menembus sela cabang, membentuk siluet menyerupai bentuk dua orang berdoa.*

Penulis: Fau

Posting Komentar