Aryowirojo Ungkap Misteri Burung Hantu Tanda Kematian

Ilustrasi burung hantu di malam purnama menatap pemuda Jawa bernama Aryowirojo di tengah suasana mistis pedesaan.
Burung hantu di bawah sinar purnama, simbol antara mitos kematian dan kesadaran manusia dalam budaya Jawa. (Ilustrasi oleh AI Co-pilot/Tintanesia)

Tintanesia, Kisah Mistis

“Burung hantu bersuara tiga kali… berarti ada yang akan meninggal,” bisik seorang warga tua dengan wajah tegang.

Malam itu, di Desa Plakaran Kecamatan Jrengik Kabuapten Sampang cahaya bulan purnamanya menggantung bulat di langit. Angin bertiup lembut, membawa aroma tanah basah. Suara "hoo… hoo…" menggema dari arah kebun bambu di belakang rumah Suradi. Semua penghuni desa menutup jendela, seolah suara itu adalah panggilan dari dunia arwah.

Aryowirojo berdiri di depan surau kecil, mengenakan odeng Madura hitam yang menempel di dahinya. Pandangannya tenang, tapi hatinya bergolak.

"Tidak setiap panggilan malam berarti kematian," gumamnya. 

Namun, bisikan itu justru menuntun kenangan pada suara gurunya di Jombang dulu: "Wiro, aja nggege mongso marang tandha-tandha langit. Ora kabeh swara saka peteng iku ala. Kadhang peteng iku mung cahya sing durung ngerti dalan."

(Wiro, jangan tergesa menafsir tanda-tanda langit. Tidak semua suara dari kegelapan itu jahat. Kadang kegelapan hanyalah cahaya yang belum menemukan jalannya.)

Desa yang Diliputi Ketakutan

Keesokan paginya, pasar desa gempar. Seorang petani, Pak Karto, ditemukan meninggal di sawah. Wajahnya menghadap langit, tubuhnya kaku seolah masih menatap purnama semalam.

"Benar kata orang tua, burung hantu itu tanda kematian!" seru Bramanta, pemuda keras kepala yang memegang teguh kepercayaan leluhur.

"Jangan asal bicara!" balas Ningrat, pemuda berpendidikan yang baru pulang dari kota. 

"Burung hantu itu hewan nokturnal, aktif karena bulan terang, bukan roh pembawa maut!" jelas ningrat lagi.

Suara mereka meninggi, dan warga mulai berkumpul. Aryowirojo melangkah di antara kerumunan dengan langkah tenang."Cukup," katanya tegas. Semua orang langsung memperhatikannya.

"Kepercayaan tanpa ilmu bisa membutakan, tapi ilmu tanpa kepercayaan bisa membuat manusia kehilangan arah," tuturnya sambil lalu menoleh ke orang-orang itu. kemudian satu-persatu semua orang tidak berkerumun lagi. 

Sementara Aryowirojo kembali mengingat petuah sang guru tua, "Ngèlmu iku kelakone kanthi laku, lekas nyumurupi ora mung nganggo pinter, nanging nganggo rasa."

(Ilmu sejati dijalani dengan perbuatan, bukan sekadar pintar, tapi juga dengan rasa yang halus.)

Pertemuan dengan Bayangan Purnama

Malam berikutnya, bulan kembali bulat sempurna. Aryowirojo berjalan ke arah kebun bambu. Langkahnya mantap, napasnya teratur, seolah sedang berdzikir di antara desir angin.

Seekor burung hantu putih hinggap di dahan, menatapnya dengan mata perak berkilat.

"Kalau engkau pembawa pesan, katakan… pesan dari siapa?" ucapnya pelan sambil menatap burung hantu itu. Tiba-tiba kabut turun dari arah ladang. Di dalamnya muncul sosok samar perempuan berkerudung putih. "Mas Wiro…" bisiknya lirih, "anakku... jangan biarkan mereka saling membenci…"

Bayangan itu perlahan memudar bersama kepakan burung hantu. Hening kembali menelan malam. Aryowirojo berdiri kaku, merasakan getar halus di dadanya. Dalam keheningan itu, ia teringat wejangan yang pernah didengar dari sang guru: "Sapa kang bisa ngrungokake swara tanpa kuping, lan ningali pepadhang tanpa mripat, iku sejati wong sing wis sinau marang alam."

(Barang siapa mampu mendengar tanpa telinga dan melihat terang tanpa mata, dialah yang telah belajar dari alam sejati.)

kemudian dalam kekauan itu, dia memaksa duduk bersila dengan tangan sendakap. sesekali Aryowirojo mengatur nafasnya pelan sehingga dzikirnya semakin bersamaan dengan napasnya. setelah itu, ada cahaya masuk pada ubun-ubunnya.  

Antara Mitos dan Akal Sehat

Keesokan harinya, Aryowirojo mengumpulkan warga. Di hadapannya, Bramanta dan Ningrat masih saling berdebat.

"Burung hantu itu utusan roh!" kata Bramanta.

"Tidak! Itu hanya kebetulan biologis," sanggah Ningrat.

Aryowirojo menatap keduanya.

"Dengarkan," ujarnya tenang, "burung hantu tak membawa maut. Tapi ketakutan manusia bisa menjemput bencana."

Ia kemudian menjelaskan tentang perilaku burung hantu yang aktif saat bulan purnama karena cahaya membantu mereka berburu. Namun, di sela penjelasan ilmiah itu, suaranya berubah lembut, menirukan gurunya dulu: "Alam iku guru sing ora duwe papan sekolah. Sapa sing gelem nyinau kanthi ati, bakal weruh bedane gaib lan nyata."

(Alam adalah guru tanpa sekolah. Siapa yang mau belajar dengan hati, akan tahu bedanya yang gaib dan yang nyata.)

Ucapannya itu membuat warga terdiam. Bahkan Bramanta menunduk, seolah menyadari sesuatu.

Rahasia di Balik Jerit Malam

Beberapa malam kemudian, suara burung hantu terdengar lagi, kali ini dari arah pohon beringin di tepi pemakaman. Warga ketakutan, sebagian membakar dupa. Aryowirojo berjalan sendirian ke sana, membawa lentera kecil dan doa di bibirnya.

Di bawah beringin, ia menemukan potongan kain putih berdebu dan bulu burung hantu yang menempel. Di sana, Bramanta berdiri gemetar, "Aku cuma ingin menghentikan kematian, Wiro,” katanya. “Aku pikir sesaji bisa menenangkan roh."

Aryowirojo menatapnya dalam. “Yang harus ditenangkan bukan roh, tapi hatimu sendiri,” ujarnya lembut. 

Lalu ia teringat kembali ucapan sang guru tua di lereng pesantren: "Sing menang tanpa ngasorake, lan sing kuwat tanpa ngrebut, iku tandha wong sing wis menang marang atine dhewe."

(Yang menang tanpa merendahkan, dan kuat tanpa merebut, dialah yang telah menang atas dirinya sendiri.)

Tepat saat itu, terdengar jeritan dari desa. Seorang anak tersengat listrik, bukan karena makhluk halus, tapi karena kabel rusak. Bramatna dan Aryowirojo bergegas lari pada pusat suara. Saat menemukannya, Aryowirojo segera memberi pertolongan, menyelamatkan nyawa bocah itu. Warga tertegun. Bahkan sebagian dari mereka telah sadar, yakni, kematian yang mereka takutkan ternyata datang dari kelalaian manusia, bukan burung hantu.

Cahaya Purnama dan Kesadaran

Malam itu, burung hantu kembali muncul di atas menara surau. Suaranya lembut, seperti doa alam yang dipanjatkan dari ketinggian. Bramanta menghampiri Aryowirojo. 

"Aku salah, Wiro," katanya lirih.

Aryowirojo tersenyum, kemudian menjawab “Kesalahan adalah bagian dari perjalanan. Leluhur mengajarkan, ‘Saben pepeteng mesti ana lintang.’ Artinya, setiap gelap pasti punya bintangnya.”

Bramanta menatap langit. Burung hantu terbang perlahan ke arah purnama, meninggalkan gema hoo… hoo… yang kali ini terasa damai.

***

Kini, Desa Plakaran Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang belajar sesuatu. Yakni, mitos tak selalu harus dimusnahkan, dan ilmu tak selalu harus membantah. Keduanya bisa saling menyempurnakan.

Aryowirojo menulis dalam catatan kecilnya di surau: "Burung hantu bukan tanda kematian, tapi tanda bahwa manusia masih harus belajar mendengar bahasa malam."*

Penulis: Fau

Posting Komentar