Kisah Uang Rp100 Ribu Hilang Misterius di Surabaya
![]() |
| Ilustrasi suasana mistis Desa Gempar saat Aryowirojo menyelidiki misteri hilangnya uang Rp100 ribu yang dikaitkan dengan mitos tuyul. (Sumber Ilustrasi: Ai Co-pilot/Tintanesia) |
Tintanesia, Kisah hilangnya uang Rp100 ribu secara misterius di Surabaya
Malam di Desa Gempar (salah satu desa di Surabaya) terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut turun perlahan, menutupi jalanan tanah yang masih basah oleh sisa hujan sore tadi. Dari kejauhan, terdengar gonggongan anjing bersahutan, seolah menyuarakan kegelisahan yang tak tampak. Warga desa mulai membicarakan hal aneh yang terjadi dalam beberapa hari terakhir, yakni, uang kertas Rp100 ribu menghilang secara misterius di sejumlah rumah.
Awalnya, peristiwa Rp100 ribu mengulang secara misterius ini dianggap sepele. Siapa yang peduli dengan selembar uang hilang? Namun ketika kejadian itu menimpa beberapa orang sekaligus, bisik-bisik mulai menyebar. Ada yang berkata uang itu diambil maling, ada pula yang meyakini makhluk halus sedang bermain. Tetapi, setelah beberapa warga menyebut nama Darsono, cerita itu berubah menjadi gosip yang beracun.
Kekayaan yang Tiba-Tiba
Darsono dikenal sebagai lelaki miskin yang hidup dari hasil buruh tani. Rumahnya kecil, berdinding papan rapuh, dengan atap bocor di sana-sini. Dia kerap terlihat menunduk setiap kali berpapasan dengan warga lain. Halnya itu menjadi kebiasaannya yang lahir dari rendah diri karena kemiskinan.
Namun beberapa bulan terakhir, keadaan Darsono berubah drastis. Rumah reotnya diperbaiki hingga tampak megah, motor baru terparkir di halamannya, dan anak-anaknya kini bersekolah di kota. Semua itu terjadi begitu cepat, tanpa ada yang tahu sumber uangnya.
Tak ada yang tahu bahwa Darsono pernah menolong seorang pengusaha kaya raya yang nyaris dirampok di jalan lintas Surabaya. Atas jasanya, Darsono diberikan uang sebesar enam miliar rupiah. Karena trauma pada sikap warga yang dulu enggan menolong, ia memilih merahasiakan hal itu.
Namun kerahasiaan justru melahirkan kecurigaan. Di desa kecil seperti Gempar, perubahan mendadak lebih cepat melahirkan prasangka daripada rasa syukur.
Lidah Lebih Tajam dari Belati
Salah satu yang paling nyaring menebar kabar adalah Sahab, lelaki pengangguran yang hidupnya penuh iri. Dia dikenal sebagai sumber segala desas-desus, mulutnya tak pernah lelah mengumbar kebelakang rang lain.
Suatu sore di warung kopi dekat mushala, Sahab berbicara dengan nada penuh kepastian, “Coba pikir, dari mana Darsono dapat uang sebanyak itu? Rumah baru, motor baru, semua serba cepat. Jangan-jangan dia pelihara tuyul!”
Beberapa warga yang sedang menyeruput kopi menatap heran. Namun, seperti biasa, rasa penasaran mengalahkan logika.
“Aku juga dengar,” sahut Parjo, seorang tukang ojek. “Katanya setiap malam ada suara langkah kecil di dekat dapurnya.”
Sahab tersenyum miring. “Itu bukan tikus. Itu makhluk kecil yang suka mengambil uang seratus ribu dari rumah orang. Tuyul itu!”
Sejak percakapan itu, nama Darsono menjadi bahan omongan di setiap sudut desa. Orang-orang yang sebelumnya memujinya karena dermawan, kini memandangnya dengan kecurigaan. Bahkan, anak-anak kecil mulai takut melewati rumahnya saat malam tiba.
Kabar Sampai ke Plakaran
Dari kejauhan, di Desa Plakaran Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang, Aryowirojo sedang duduk di serambi rumahnya. Pemuda berwajah teduh itu, memandang langit malam yang dihiasi bulan separuh. Hatinya terusik oleh kabar yang dibawa temannya dari Sebrang (Desa Gempar), tentang fitnah yang mulai menggerogoti desa.
Aryowirojo dikenal bukan hanya karena ilmunya, tapi juga karena kemampuannya menembus batas yang tak kasat mata. Dia bijak, rendah hati, dan berpengetahuan luas tentang ilmu agama, sekaligus peka terhadap hal-hal gaib. Ia tahu, di balik gosip kecil bisa tersimpan dosa besar yang menular lebih cepat daripada penyakit.
Tanpa banyak bicara, ia memutuskan untuk menyeberang ke Desa Gempar.
Pertemuan di Bawah Pohon Waru
Pagi berikutnya, warga dikejutkan oleh kedatangan Aryowirojo. Pakaiannya sederhana, namun auranya memancarkan wibawa yang sulit dijelaskan. Ia berjalan santai, menyapa warga satu per satu, hingga akhirnya berhenti di depan warung kopi tempat Sahab biasa duduk.
“Assalamualaikum,” ucapnya pelan namun dalam.
“Waalaikumussalam,” jawab beberapa orang, sedikit gugup.
Aryowirojo menatap mereka dengan senyum tipis. “Aku mendengar desamu sedang dirundung prasangka. Benarkah kalian menuduh seseorang memelihara tuyul tanpa bukti?”
Sahab yang sedang menyalakan rokok menatapnya sekilas, lalu berkata, “Kami cuma curiga, kisanak. Uang orang-orang hilang, dan yang kaya mendadak hanya Darsono.”
Aryowirojo menatap dalam mata Sahab, lalu bertutur, “Kadang yang paling keras menuduh, justru sedang menutupi dosanya sendiri.”
Kalimat itu membuat semua terdiam.
Baca Juga
Ujian di Tengah Malam
Malam hari, Aryowirojo datang ke rumah Darsono. Lelaki itu tampak terkejut, lalu segera menunduk hormat.
“Saya sudah mendengar semuanya,” ujar Aryowirojo. “Jangan takut, kebenaran akan menemukan jalannya.”
Mereka berbincang lama di bawah lampu minyak. Dari tutur Darsono, segalanya masuk akal. Ia memang menerima rezeki besar sebagai hadiah atas kebaikan, bukan karena pesugihan.
Aryowirojo tersenyum. “Kalau begitu, biar malam ini alam yang bicara.”
Menjelang tengah malam, Aryowirojo berdiri di halaman rumah itu. Ia menancapkan tongkat kecil, membaca ayat suci dengan nada lembut namun berwibawa. Angin berhenti berembus, udara menjadi hening seperti berhenti bernafas.
Lalu, sesuatu bergerak di kegelapan. Bayangan kecil setinggi lutut manusia melintas cepat, berlari ke arah utara, tepat menuju rumah Sahab.
Aryowirojo menunduk pelan. “Subhanallah… yang kalian tuduh suci, ternyata yang menuduhlah yang berdosa.”
Pagi yang Mengungkap Segalanya
Pagi itu, seluruh warga berkumpul di balai desa atas undangan Aryowirojo. Wajah-wajah penasaran memenuhi halaman. Sahab datang paling akhir, dengan langkah gugup namun berusaha tenang.
“Warga Gempar,” ujar Aryowirojo lantang. “Malam tadi aku melihat sesuatu yang tak seharusnya kalian abaikan. Kalian menuduh Darsono tanpa bukti, padahal makhluk kecil yang kalian sebut tuyul, justru bersarang di rumah Sahab.”
Tiba-tiba, angin bertiup kencang. Dari bawah kaki Sahab muncul bayangan kecil berwarna abu-abu, membawa uang Rp100 ribu lusuh yang kemudian terjatuh di tanah. Warga berteriak kaget. Sahab pucat, tubuhnya bergetar hebat.
“Tidak! Itu bukan punyaku!” teriaknya putus asa.
Namun makhluk itu menatapnya dengan mata besar, lalu menghilang ke tanah meninggalkan aroma anyir menyengat.
Aryowirojo menatap Sahab dalam-dalam. “Fitnahmu telah menelanjangi dirimu sendiri. Lidahmu menjeratmu, dan kini kau menanggung aib yang kau tanam.”
Sahab terjatuh berlutut, menangis keras di hadapan semua orang.
Karma yang Tak Bisa Dihindari
Sejak hari itu, Sahab menjadi bahan pembicaraan. Rumahnya sunyi, tidak ada lagi yang mau mendekat. Ia jatuh sakit, tubuhnya kurus dan sering berbicara sendiri di malam hari. Kadang terdengar suara lirihnya memohon ampun, kadang suara tangisnya memecah sunyi.
Darsono, meski pernah difitnah, datang menjenguk. Ia membawakan bubur dan air putih, lalu duduk di sisi tempat tidur Sahab.
“Saya sudah memaafkanmu,” ucapnya lembut. “Semoga hatimu diberi ketenangan sebelum semuanya terlambat.”
Sahab menatapnya dengan air mata berlinang. “Aku iri padamu, Darsono. Aku ingin sepertimu, tapi hatiku busuk oleh dengki.”
Darsono menepuk pundaknya. “Kekayaan sejati bukan pada harta, tapi pada hati yang lapang.”
Beberapa hari kemudian, Sahab ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Wajahnya menegang, namun di bibirnya masih terlihat sisa senyum, seakan ia menyesali segala yang telah terjadi.
Pesan dari Sebrang
Saat fajar menyingsing, Aryowirojo berdiri di tepi sawah, memandangi langit yang perlahan berubah jingga. Warga yang lewat menunduk hormat padanya.
Salah satu pemuda bertanya, “Kisanak, apakah tuyul itu masih ada di sekitar sini?”
Aryowirojo tersenyum samar. “Makhluk itu hanya datang pada orang yang hatinya gelap. Jika hatimu terang, mereka tak akan berani mendekat," kabarnya pada warga itu.
Ia menatap matahari yang mulai naik, lalu berucap pelan, “Yang perlu kalian takutkan bukan tuyul, melainkan lidah manusia yang tega mencuri kehormatan orang lain.”
***
Setelah kejadian itu terungkap, Desa Gempar kembali tenang. Fitnah berhenti, dan warga mulai belajar menahan ucapan sebelum bicara. Nama Sahab menjadi pelajaran bagi generasi muda, sedangkan Darsono tetap hidup sederhana tanpa dendam.
Dan di kejauhan, di Desa Plakaran, Aryowirojo tersenyum lega, menatap kabut pagi yang perlahan memudar. Ia tahu, kebenaran tidak perlu dibela dengan amarah, cukup dengan ketenangan dan doa.*
Disclaimer: Kisah uang Rp100 ribu hilang di Surabaya ini hanyalah fiktif, sehingga apabila ada kesamaan tempat dan nama tokoh Tintanesia memohon untuk dimaklumi.
Penulis: Fau
