Aryowirojo dan Jembatan Kecil di Ujung Senja
![]() |
| Ilustrasiustrasi Aryowirojo di jembatan senja, antara dunia manusia dan bayang gaib. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia) |
Tintanesia, Kisah Mistis
Sore itu, cahaya mentari terbelah di antara rerimbun daun mahoni di pinggir jalan Sampang. Angin membawa debu halus, menampar wajah seorang lelaki berselendang batik merah khas Madura yang berjalan perlahan dari arah terminal. Namanya Aryawirojo, putra tanah Madura yang baru pulang dari perjalanan panjang menimba ilmu di Jombang.
Dengan ikat kepala khas Madura dia melangkah tegap, namun sorot matanya teduh, seolah di balik ketenangan itu tersimpan samudra pengetahuan dan pengalaman yang sulit diukur. Dia dikenal bijak, rendah hati, serta menguasai banyak bidang. Mulai dari ilmu alam hingga rahasia gaib yang tak semua manusia berani menyentuhnya, telah mampu dia telan.
“Ilmu sejati bukan untuk menundukkan dunia, melainkan untuk menundukkan hati agar tak sombong di hadapan Sang Khalik," demikian pesan gurunya, Kiai Syahruzzain, pada malam terakhir sebelum perpisahan.
Petuah itu berputar di benaknya seperti ayat yang tak pernah berhenti berdzikir.
Mitos Lewat Jembatan Kecil Sendirian
Ketika Aryawirojo menapaki jalan tanah menuju rumahnya, langit barat mendadak temaram. Mentari belum benar-benar tenggelam, namun awan gelap melingkar di atas bukit. Dari arah timur, seberkas cahaya putih berkilat di antara rumpun bambu. Bukan kilatan petir, melainkan cahaya halus seperti isyarat yang memanggil batin.
Aryawirojo berhenti. Nafasnya tertahan, lalu matanya memejam. Dengan lirih ia membaca basmalah, mengalirkan tenang pada getar jantungnya. “Subhanallah…,” gumamnya, “ada tanda… seakan ada yang meminta pertolongan.”
Bagi orang biasa, mungkin itu hanya ilusi senja. Tapi bagi yang berilmu tentang hakikat, cahaya semacam itu adalah panggilan dari alam yang tak terjangkau nalar. Dia pun berbelok meninggalkan jalan utama, menembus setapak sempit menuju arah kilatan tadi.
Langkahnya berakhir di depan sebuah jembatan kecil yang melintasi sungai dangkal. Penduduk sekitar menyebutnya Jembatan Ujung Sunyi. Banyak kisah beredar tentang tempat itu. Konon, siapa pun yang melintasinya seorang diri saat senja, akan diganggu makhluk halus penjaga jembatan.
Namun Aryawirojo tak gentar. Ia tahu bahwa semua makhluk (Baik yang terlihat maupun tidak) adalah ciptaan Allah. Meski demikian, hatinya tetap bergetar lembut, bukan karena takut, melainkan karena rasa hormat pada rahasia Tuhan yang akan terungkap malam itu.
Bisikan di Balik Kabut
Ketika kaki kanannya menginjak papan pertama jembatan, suara gemericik air berubah lirih. Kabut tipis merayap di permukaan sungai, seolah menunggu sesuatu. Dari arah timur terdengar suara pelan seorang perempuan, seperti rintihan.
“Tolong… tolong aku…”
Aryawirojo menoleh. Suaranya tenang ketika menjawab, “Assalamualaikum, siapakah engkau?”
Tak ada balasan. Hanya desir angin yang menjawab dengan nada sendu. Ia melangkah perlahan ke tengah jembatan. Di sana, di balik kabut, tampak bayangan perempuan duduk di tepi, rambutnya panjang menutupi wajah.
“Anakku,” ujarnya lembut, “senja hampir selesai. Mengapa engkau duduk di sini sendirian?”
Perempuan itu mengangkat wajahnya perlahan. Kulitnya pucat, matanya basah, seolah menahan tangis berabad-abad. “Aku menunggu seseorang… tapi ia tak pernah datang kembali.”
Hening panjang tercipta. Lalu angin berputar, menebarkan kabut lebih tebal. Aryawirojo menunduk, bibirnya bergetar membaca ayat kursi. Ketika kalimat terakhir selesai diucapkan, sosok perempuan itu memudar, lenyap dalam sekejap seperti kabut tersapu angin.
Namun dari bawah jembatan, muncul suara gemuruh. Air berputar, menciptakan pusaran aneh. Getaran halus menjalar hingga ke telapak kakinya.
Pertarungan Batin dan Ilmu
Aryawirojo memejamkan mata sejenak, menimbang.
“Ini bukan ilusi, bukan pula permainan jin biasa. Ada roh yang terikat di tempat ini.”
Ia berdiri tegak, menengadah ke langit, lalu berseru dalam hati:
“Ya Allah, jika ini ujian-Mu, berilah hamba kekuatan untuk menegakkan kebenaran tanpa kesombongan.”
Lalu ia membaca dzikir la ilaha illallah berulang kali, menebarkan energi cahaya di sekeliling tubuhnya. Dalam sekejap, pusaran air berhenti. Tapi dari kabut, muncul sosok tinggi besar berwarna kelabu, tak berwajah, tapi memancarkan aura panas.
Suara berat menggema dari sosok itu, “Mengapa engkau mengusikku, wahai manusia yang bermain di wilayahku?”
Aryawirojo memandang lurus ke arahnya. “Aku tidak mengusik, hanya meluruskan. Kau penghuni yang lupa jalan pulang. Dunia ini milik Allah, bukan tempatmu bersemayam dengan amarah.”
Makhluk itu meraung, angin berputar kencang. Tapi langkah Aryawirojo tetap tenang. Ia mengangkat tangan kanan, membentuk lingkar cahaya dari dzikirnya, “Dengan nama Allah Yang Maha Penyayang, aku perintahkan engkau kembali ke alam asalmu. Jangan ganggu manusia yang lewat di tempat ini!”
Tiba-tiba cahaya biru menyala di sekeliling jembatan. Suara angin berhenti. Sosok kelabu itu menjerit, lalu menghilang bersama kabut yang terserap ke langit. Hanya gemericik air yang tersisa, menandakan ketenangan kembali.
Makna di Balik Sunyi
Aryawirojo berdiri lama di tengah jembatan, menatap air yang kini jernih. Malam turun perlahan, membawa bintang pertama di langit timur. Ia tersenyum kecil, lalu bergumam, “Setiap gangguan di dunia ini lahir dari ketidakseimbangan. Bila hati manusia gelap, maka alam pun bergetar dalam gelisah.”
Ia kemudian menatap bulan separuh yang menggantung di langit. Dalam diam ia teringat pesan Kiai Syahruzzain, “Ilmu tanpa dzikir adalah debu. Dzikir tanpa ilmu adalah angin. Satukan keduanya, maka engkau akan menemukan jalan kebenaran.”
Hatinya damai. Ia tahu bukan kesaktian yang menenangkan dunia, melainkan keikhlasan yang melembutkan semesta.
Ketika meninggalkan jembatan itu, bayangan kabut kembali tampak sekilas di kejauhan, namun kali ini tidak mengancam, lebih seperti salam perpisahan. Aryawirojo menunduk hormat, lalu berjalan menuju desanya.
Langkahnya perlahan, tapi pasti. Di setiap tapak, ia merasa bumi berzikir bersama napasnya. Ia tahu perjalanan hidupnya masih panjang, namun malam itu ia telah belajar satu hal. Yaitu, kekuatan sejati bukan berasal dari mantra, melainkan dari hati yang selalu memeluk kebenaran.
Dan di belakangnya, Jembatan Kecil di Ujung Sunyi tetap berdiri tenang, menyimpan kisah antara dunia yang terlihat dan dunia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mengerti makna cahaya dalam kesunyian.*
Penulis: Fau
