Petualangan Lima Santri Madura Bertemu Hantu di Malam Sunyi
![]() |
| Ilustrasi lima santri berjalan di pematang sawah pada malam hari dengan suasana misteri. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot Tintanesia) |
"Aku dengar ada sesuatu di luar," bisik Yusup dengan nada menegang sambil menatap pintu langgar yang setengah terbuka. Suaranya membuat empat temannya saling berpandangan, seolah ada bayangan yang baru saja lewat di depan mereka.
Kisah Misteri Petualangan Lima Santri Madura
Penulis: FauLanggar Tonggul di Desa Bancelok selalu dipenuhi hiruk pikuk para santri. Namun, ketika malam merayap, tempat itu berubah menjadi ruang penuh keheningan yang sering memancing rasa ingin tahu. Lima santri dari Kampung Lembung, yaitu Latip, Yusup, Ikbal, Rohim, dan Kamal sudah terbiasa bermalam di sana. Rutinitas ngaji sejak siang hingga larut sering menghadirkan rasa bosan, sehingga mereka kerap mencari angin segar.
Malam itu mereka baru saja menutup kitab. Kiyai sudah masuk ke dalemnya, sementara para santri lain tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Aroma kertas kitab dan suara serangga dari luar membuat suasana semakin lengang. Dalam hening itu, Yusup mengangkat alis dan berbisik, "Bagaimana kalau kita keluar sebentar. Cuma cari angin. Tidak jauh," ucapannya terdengar seperti ajakan yang sudah lama ditunggu.
Latip mengangguk singkat. Ikbal tampak ragu tetapi ikut berdiri. Rohim menatap halaman langgar sambil mengusap pecinya. Kamal hanya meraih bungkusan kerupuk, lalu tersenyum santai. Mereka berjalanan pelan melintasi pekarangan, seperti anak kecil yang mencoba kabur dari pantauan orang tua.
Petualangan: Jejak Sunyi
Perjalanan mereka melewati jalan desa yang redup. Angin mengusap dedaunan dan suara hewan malam terdengar di kejauhan. Meski gelap mendominasi, Yusup berjalan paling depan. "Tenang saja. Kita cuma mau jalan sebentar," ujarnya sambil menoleh ke belakang.
"Sebentar itu berapa lama," tanya Ikbal dengan gelisah. Tangannya meremas ujung sarungnya seolah ada sesuatu yang mengikuti.
"Kau banyak tanya," jawab Kamal sambil mengunyah kerupuk. Bunyi renyah kerupuk seperti tanda bahwa ia tidak memikirkan apa pun selain makanan.
Rohim menggumamkan doa pendek. Ia merasa perjalanan ini terasa lebih jauh daripada biasanya. Pematang sawah sudah tampak di depan. Pohon beringin besar yang sering dibicarakan warga berdiri dengan bentuk yang mencolok. Bayangannya menjalar ke tanah seperti tangan panjang yang mencari makhluk hidup.
"Mungkin kita mestinya balik," ujar Rohim sambil menatap beringin itu. Matanya terlihat khawatir.
"Sebentar saja," jawab Yusup. Suaranya menyimpan keberanian tipis yang sebenarnya sudah mulai goyah.
Petualangan: Bayang Merah itu Mbak Kunti
Saat jam menunjuk pukul 01.30, angin bertiup lebih dingin. Dari dahan beringin, terdengar suara lirih seperti dendang lama. Mereka berhenti serentak. Mata mereka terarah pada sosok bergaun merah dengan rambut terurai yang sedang menyisir rambutnya.
Ikbal menjerit. Jeritan itu spontan dan membuat tubuhnya meringkuk di belakang Rohim. "Aku tidak kuat," ucap Ikbal sambil membaca Ayat Kursi dengan suara goyah.
Yusup mencoba bicara. "Jangan ribut. Kita perhatikan saja," katanya dengan lutut yang gemetar. Latip terpaku, seolah pikirannya terlambat memproses apa yang ada di depan mata.
Sosok itu menoleh perlahan. Wajah pucatnya menatap mereka, tetapi Kamal malah mengangkat bungkusan kerupuk. "Mbak. Mau kerupuk. Ini enak. Dari langgar," ujarnya santai sambil mengulurkan kerupuk.
Keheningan memanjang. Kuntilanak itu hanya menatap Kamal, seolah sedang bingung menghadapi tawaran yang tidak masuk akal.
"Ayo pergi," bisik Yusup. Mereka bergerak mundur, tetapi belum sempat mengambil jarak, terdengar suara tumbukan dari tengah sawah.
Petualangan: Pocong Gagal Melompat
Dua pocong tampak berlomba lompat di kejauhan. Salah satunya terpeleset dan jatuh berguling. Latip memandang santai. "Woi. Bangun. Kau bisa kotor," teriaknya tanpa menyadari bahwa itu bukan manusia.
Pocong itu mendongak. Wajah kusamnya tersinari rembulan. Temannya yang masih berdiri menghampirinya. Suaranya berdesis kesal. "Kau curang. Tidak heran jadi jatuh."
Keduanya kemudian melompat pergi seperti atlet yang sedang berlatih. Ikbal memegangi kepala. "Aku ingin pulang," ujarnya panik.
"Kita belum apa apa," jawab Yusup yang sebenarnya hampir kehilangan ketenangannya.
Kamal tertawa singkat. "Pocong-pocong ini lebih aneh dari cerita pasar malam."
Petualangan: Bayang Berbulu itu Pegang Ayam
Ketika mereka berjalan mundur ke arah semak, muncul sosok besar berbulu lebat. Genderuwo itu memegang ayam panggang. Bau daging terbakar tercium jelas. Wajahnya tampak murung seperti sedang memikirkan masalah besar.
Rohim menunduk refleks. "Jangan mendekat," katanya dengan suara lirih.
Namun, Kamal malah maju setapak. "Kalau tidak bisa disobek, sini. Aku bantu," ucapnya sambil menunjuk ayam itu. Genderuwo itu berkedip lambat. Ekspresinya tampak kesal dan ia menghilang sambil membawa ayamnya.
"Kenapa kau tawari lagi," bentak Yusup.
"Kasihan. Ayamnya keras," jawab Kamal tenang sambil kembali mengunyah.
Petualangan: Peci yang Hilang ulah Tuyul
Ketika mereka mendebat langkah berikutnya, sesuatu melompat ke pundak Yusup. Ia menepis cepat. Seekor tuyul muncul sambil cekikikan. Peci Yusup dicabut dan dilempar ke lumpur.
"Astaghfirullah. Peciku," seru Yusup sambil berlari kecil menghampiri lumpur.
"Itu tuyul. Pecimu kotor. Bagaimana nanti subuh," teriak Ikbal semakin panik.
Yusup menatap tuyul itu dengan kesal. "Kau nakal sekali. Peci ini hadiah dari Kiyai." Tuyul itu seperti kebingungan. Ia menghilang tiba tiba meninggalkan mereka dalam kebingungan yang lebih dalam.
Petualangan: Akhirnya Menuju Langgar
Suasana menjadi semakin mencekam setelah semua kejadian itu menimpa mereka dalam satu malam. Udara terasa berat dan langkah mereka semakin terburu buru. Yusup melihat jam. "Sudah jam 02.45. Kita harus lari."
"Aku tidak mau baca Nahwu sampai pagi," seru Ikbal sambil mempercepat langkah.
Latip masih tersenyum kecil membayangkan pocong yang jatuh. Rohim menggenggam pecinya. Kamal menutup bungkusan kerupuknya dengan rapi.
Sawah yang tadi terasa luas kini seakan menutup jalan mereka. Namun, tekad untuk kembali mendorong mereka berlari secepat mungkin. Setiap suara dari rerumputan membuat jantung mereka melonjak.
Sunyi Subuh
Ketika jam mendekati pukul 03.00, mereka berhasil menyelinap masuk ke dalam langgar. Napas mereka naik turun. Mereka menatap deretan santri lain yang tertidur pulas.
"Jangan ceritakan apa pun," ujar Yusup sambil menepuk bahu mereka. Kalimat itu disetujui oleh semuanya.
Mereka berbaring di tempat masing masing. Langit di luar mulai menipis warnanya. Mata mereka mulai terpejam, namun pikiran masih tertinggal di pematang sawah bersama bayang merah, pocong kembar, ayam panggang, dan peci yang hampir hilang.
Sebelum terlelap, Kamal berbisik lirih, "Kalian pikir kuntilanak itu tidak mau kerupuk karena apa."
Tidak ada yang menjawab. Namun, pertanyaan itu menggantung di udara, seakan menunggu malam berikutnya untuk menemukan jawabannya.*
