Kisah Inspiratif Djuanda, Indonesia Jadi Negara Kepulauan Berdaulat Penuh
![]() |
| Figur Djuanda di uang lima puluh ribu rupiah mengingatkan perjuangan menyatukan laut Nusantara Indonesia modern. (Tintanesia) |
Tintanesia - Di balik hamparan laut yang membentang luas, Indonesia menyimpan kisah panjang tentang upaya menyatukan ruang darat dan perairan. Kesadaran itu tidak lahir secara instan, melainkan tumbuh melalui pergulatan pemikiran, kebijakan, serta diplomasi yang berlapis. Dari proses inilah laut perlahan dipahami bukan sebagai pemisah, melainkan sebagai simpul persatuan.
Meski sejak awal kemerdekaan wilayah kepulauan telah menjadi identitas geografis, pengakuan hukum internasional belum sepenuhnya berpihak. Laut masih dipandang sebagai ruang bebas yang memisahkan pulau demi pulau. Pada titik inilah gagasan Djuanda Kartawidjaja dan perjuangan hukum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja menemukan relevansi sejarahnya.
Indonesia dan Visi Negara Kepulauan
Berangkat dari realitas geografis, Indonesia sesungguhnya tumbuh sebagai satu kesatuan alamiah antara darat dan laut. Gugusan pulau yang saling terhubung menciptakan ruang hidup yang tidak terpisahkan. Kesadaran ini kemudian melahirkan visi negara kepulauan yang berdaulat.
Latar Sejarah Wilayah Laut Indonesia
Pada masa awal kemerdekaan, pengaturan wilayah laut masih terikat pada warisan kolonial. Ordonansi Laut Teritorial 1939 membatasi kedaulatan laut hanya sejauh tiga mil dari garis pantai. Akibatnya, perairan di antara pulau-pulau berada di luar kendali negara.
Kondisi tersebut menimbulkan persoalan serius bagi keutuhan wilayah. Jalur laut antarpulau menjadi ruang bebas yang rawan dimasuki kepentingan asing. Situasi ini dipandang bertentangan dengan semangat persatuan nasional yang sedang dibangun.
Dari kegelisahan itulah kesadaran politik dan geografis berkembang. Wilayah perairan mulai dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari tanah air. Pemikiran ini kemudian menjadi fondasi perubahan besar dalam kebijakan maritim.
Djuanda Kartawidjaja dan Deklarasi Bersejarah
Dalam lanskap politik Indonesia, Ir. Djuanda Kartawidjaja dikenal sebagai figur teknokrat yang tenang dan visioner. Pengalaman panjang di pemerintahan membentuk cara pandangnya yang sistematis. Posisi sebagai Perdana Menteri menjadi ruang strategis untuk merumuskan gagasan kebangsaan.
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957
Pada 13 Desember 1957, sebuah pernyataan penting disampaikan kepada dunia. Deklarasi Djuanda menegaskan bahwa perairan di sekitar dan di antara pulau merupakan bagian kedaulatan negara. Pandangan ini mengubah cara memandang laut Nusantara.
Melalui deklarasi tersebut, lebar laut teritorial ditetapkan menjadi dua belas mil laut. Pengukuran dilakukan dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titik terluar pulau. Pendekatan ini mempertegas kesatuan wilayah nasional.
Lebih dari sekadar kebijakan teknis, deklarasi ini memuat pesan politik yang kuat. Keutuhan wilayah ditempatkan sebagai prinsip utama negara. Dunia internasional pun mulai mencermati arah baru kebijakan Indonesia.
Dampak Awal terhadap Politik dan Keamanan
Seiring penerapan kebijakan baru, pengelolaan wilayah laut mengalami perubahan signifikan. Jalur pelayaran antarpulau kini berada dalam pengawasan negara. Integrasi keamanan maritim menjadi lebih terarah.
Namun, penerimaan internasional tidak datang dengan mudah. Sejumlah negara mempertanyakan konsep tersebut karena belum dikenal dalam hukum laut global. Tantangan ini menuntut argumentasi hukum yang kokoh.
Dari situ, kebutuhan akan pendekatan akademik semakin terasa. Perjuangan tidak cukup dilakukan di dalam negeri. Arena internasional menjadi panggung utama pembuktian gagasan.
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Perjuangan Hukum Laut
Di tengah dinamika tersebut, nama Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja tampil sebagai pemikir kunci. Keahlian di bidang hukum internasional memberinya otoritas akademik yang kuat. Kontribusinya menjadikan konsep negara kepulauan memiliki legitimasi ilmiah.
Peran sebagai Konseptor dan Akademisi
Sebagai akademisi, Prof. Mochtar terlibat aktif dalam perumusan dasar hukum negara kepulauan. Pemikiran teoritis dipadukan dengan kebutuhan praktis negara. Pendekatan ini memperkuat posisi Deklarasi Djuanda.
Latar belakang sebagai dosen hukum internasional memperluas sudut pandangnya. Diskursus global dijadikan rujukan dalam menyusun argumen nasional. Ilmu pengetahuan berfungsi sebagai alat perjuangan kedaulatan.
Dari ruang kelas hingga meja perundingan, gagasan tersebut disuarakan secara konsisten. Konsep archipelagic state diperkenalkan sebagai solusi adil bagi negara kepulauan. Upaya ini membuka jalan dialog internasional.
Diplomasi Panjang di Forum Internasional
Ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, Prof. Mochtar memimpin diplomasi maritim Indonesia. Perjuangan dilakukan melalui forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Proses ini berlangsung selama lebih dari dua dekade.
Setiap perundingan menghadirkan dinamika dan perdebatan panjang. Kepentingan negara besar dan kecil saling berhadapan. Indonesia tetap konsisten memperjuangkan pengakuan konsep negara kepulauan.
Pendekatan persuasif berbasis hukum perlahan membuahkan hasil. Dukungan internasional mulai menguat. Posisi Indonesia semakin diperhitungkan.
Pengakuan dalam UNCLOS 1982
Puncak perjuangan tercapai pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982 di Jamaika. Konsep negara kepulauan resmi diakui dalam hukum internasional. Pengakuan ini menjadi tonggak sejarah maritim nasional.
Melalui konvensi tersebut, kedaulatan atas perairan kepulauan disahkan. Hak berdaulat atas Zona Ekonomi Eksklusif sejauh dua ratus mil juga diperoleh. Posisi strategis Indonesia semakin kokoh.
Keberhasilan ini mencerminkan pentingnya ketekunan diplomasi. Hukum internasional menjadi sarana memperjuangkan kepentingan nasional. Sejarah mencatat hasil dari konsistensi panjang.
Nilai Strategis Konsep Negara Kepulauan
Lebih jauh, konsep negara kepulauan mengubah cara pandang terhadap laut. Perairan tidak lagi dilihat sebagai batas pemisah. Laut ditempatkan sebagai ruang hidup bersama.
Nilai strategisnya mencakup dimensi ekonomi dan keamanan. Sumber daya laut dapat dikelola secara berdaulat. Jalur pelayaran nasional terlindungi secara hukum.
Pada saat yang sama, identitas maritim memperoleh penguatan. Budaya bahari menemukan legitimasi politik. Indonesia tampil sebagai negara kepulauan yang utuh.
Hari Nusantara sebagai Penanda Sejarah
Sebagai penanda sejarah, Hari Nusantara diperingati setiap 13 Desember. Tanggal ini merujuk pada lahirnya Deklarasi Djuanda. Maknanya melampaui seremoni tahunan.
Penetapan Resmi oleh Negara
Melalui Keputusan Presiden Nomor 126 Tahun 2001, Hari Nusantara ditetapkan secara resmi. Penetapan ini dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Negara menegaskan pentingnya warisan maritim.
Peringatan tersebut menjadi ruang refleksi kolektif. Sejarah perjuangan hukum laut dikenang lintas generasi. Kesadaran maritim diperkuat melalui pendidikan publik.
Momentum ini juga menjaga kesinambungan nilai kebangsaan. Identitas kepulauan diwariskan secara berkelanjutan. Sejarah tetap hidup dalam ingatan nasional.
Makna Sosial dan Budaya
Pada ranah sosial, Hari Nusantara menegaskan laut sebagai pemersatu bangsa. Identitas kepulauan dirayakan dalam berbagai bentuk ekspresi budaya. Kesadaran maritim tumbuh dari akar sosial.
Peringatan ini mendorong pemahaman hukum laut di tingkat masyarakat. Kedaulatan maritim tidak hanya menjadi wacana elite. Kesadaran kolektif menjadi fondasi pertahanan nasional.
Nilai persatuan menjadi pesan utama yang diwariskan. Laut dan darat dipahami sebagai satu kesatuan. Semangat ini tetap relevan di tengah arus globalisasi.
Pada akhirnya, kisah Djuanda Kartawidjaja dan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja menunjukkan pertemuan antara visi politik dan ketajaman hukum. Gagasan besar tidak berdiri sendiri, melainkan diperjuangkan melalui jalan panjang yang beradab. Dari proses itulah kedaulatan maritim Indonesia memperoleh pengakuan dunia.
Hari Nusantara kemudian hadir sebagai pengingat kolektif. Nilai ketekunan, konsistensi, dan kecermatan tercermin dalam sejarah tersebut. Kisah ini menyimpan pelajaran universal tentang pentingnya memperjuangkan identitas melalui pengetahuan dan diplomasi.*
Penulis: Fau
