Ambisi Medsos di Pesisir Timur
![]() |
| Fajar berkabut di pesisir Jawa Timur menyatukan ambisi, keheningan, dan kebijaksanaan lokal dalam satu momen. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia) |
Tintanesia: Cerpen Refleksi Tentang Makna Kehadiran
Pada mulanya, pagi di pesisir Jawa Timur seolah berjalan lebih lambat dari biasanya. Kabut tipis menggantung rendah di atas pasir basah, menutup garis laut dan langit hingga keduanya tampak menyatu dalam keheningan yang purba. Cahaya matahari muncul ragu-ragu, memantul pucat di permukaan air, sementara suara ombak terdengar pelan seolah sedang menjaga agar kesunyian tidak pecah secara gegas.
Di tengah bentangan pasir yang sunyi, Raka berdiri dengan sebuah ransel besar di punggung serta tripod hitam yang tertancap kuat. Kamera dengan lensa lebar tergantung mantap di depannya, siap menangkap setiap detik yang menurutnya bernilai secara visual. Sementara itu, di sampingnya, Dewi hanya memeluk jaket tipis sambil menatap laut tanpa sedikit pun rasa tergesa.
"Cahayanya belum pas. Kabutnya terlalu tebal," gumam Raka sambil menatap layar kamera dengan dahi berkerut.
"Justru itu yang membuatnya indah," sahut Dewi pelan sambil melirik Raka sekilas.
Sesungguhnya, Raka tidak berniat menjawab karena fokusnya sudah terlanjur tertuju pada sudut gambar, garis horizon, dan bayangan cahaya. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa baginya, melainkan sebuah target konten yang telah direncanakan secara rinci sejak lama. Namun, suasana mendadak berubah ketika ponsel di tangannya tiba-tiba kehilangan sinyal secara total.
"Tidak ada sinyal sama sekali. Kalau tidak bisa unggah sekarang, percuma," Raka menghela napas berat sambil mengguncang ponselnya dengan rasa cemas.
"Kenapa harus sekarang? Kita masih punya waktu," tanya Dewi yang tetap tenang menikmati embusan angin laut.
"Engagement tidak menunggu. Kalau telat, algoritma lewat," jawab Raka singkat dengan nada suara yang kaku.
Pasalnya tekanan itu terasa begitu nyata dalam benak mereka, bukan berasal dari alam yang sulit dijangkau, melainkan dari kecemasan digital yang terus menghitung waktu. Keindahan di depan mata kini berubah fungsi menjadi sebatas komoditas, bukan lagi sebuah pengalaman batin yang mendalam. Bersamaan dengan itu, di kejauhan, beberapa warga lokal melintas membawa jaring dan pikulan rumput, tampak tertawa ringan tanpa beban gawai.
"Ngopi dulu, Mas, Mbak?" tawar Bu Marni, penjual kopi pagi, yang menghampiri mereka dengan senyum yang tulus.
"Nanti saja, Bu," jawab Raka tanpa sedikit pun menoleh dari layar kameranya.
"Terima kasih, Bu," sahut Dewi sambil menerima secangkir kopi hangat dengan keramahan yang setara.
"Pagi di sini enaknya dinikmati pelan-pelan," Bu Marni berpesan lembut sebelum akhirnya melanjutkan langkah kaki di atas pasir.
Saat Raka hampir puas dengan pengaturan kameranya, seorang kakek melintas tepat di depan bidikan lensa. Pikulannya yang berisi rumput basah masih meneteskan air, menciptakan garis basah di atas pasir yang tadinya halus.
"Pak, bisa menepi sebentar?" kata Raka dengan nada tertahan yang menunjukkan rasa terganggu akibat interupsi tersebut.
"Oh, maaf, Nak. Kalau kameranya diturunkan sedikit, ombaknya kelihatan lebih utuh," kata kakek itu setelah berhenti sejenak dan menatap lensa kamera Raka dengan binar mata jernih.
"Maaf, Pak. Saya hanya mengejar momen," ujar Raka perlahan, mulai merasakan desakan malu yang merayap di dadanya.
"Momen itu seperti air laut, Nak. Kalau kamu genggam terlalu kuat, dia habis keluar dari sela jari. Kalau kamu biarkan tanganmu terbuka, kamu bisa merasakan dingin dan basahnya," Pak Sastro menjelaskan sambil menurunkan pikulannya ke pasir secara perlahan.
"Saya takut kehilangan momen ini, Pak. Kalau tidak saya rekam, seolah saya tidak pernah benar-benar ada di sini," aku Raka dengan suara yang terdengar lebih jujur dari sebelumnya.
"Sampeyan tetap ada di sini, meski mesin itu mati. Justru saat mesin itu menyala, pikiranmu sedang di tempat lain, mikirkan orang-orang jauh yang akan melihat foto ini. Lalu, siapa yang sedang menemani laut sekarang kalau bukan badanmu saja?" Pak Sastro terkekeh pelan, memecah ketegangan yang sempat menyelimuti.
"Itulah masalah kita sekarang, Pak. Kita lebih sibuk membuktikan hidup daripada benar-benar hidup," Dewi menyahut pelan sambil menatap hamparan laut yang tak bertepi.
"Laut ini sudah ada ribuan tahun. Dia tidak butuh divalidasi. Kadang, bukan sekadar gambar bagus yang kita cari, tapi perasaan bahwa kita ini kecil di hadapan Sang Pencipta, dan itu sudah cukup membuat kita tenang," Pak Sastro mengangguk dengan kearifan yang begitu dalam.
Bahkan, kalimat sederhana itu terasa mampu meruntuhkan ego Raka yang selama ini tersusun kokoh. Ia kemudian menurunkan tripodnya dan mematikan kamera sepenuhnya tanpa sisa ragu. Keputusan itu hadir dengan tenang, tanpa ada lagi drama kecemasan tentang algoritma yang sempat mengejarnya.
Kemudian, mereka semua duduk di pasir bersama Pak Sastro dan Bu Marni dalam lingkaran keakraban yang nyata. Kopi hangat berpindah tangan, sementara obrolan ringan mengalir mengikuti arah angin pagi yang membawa aroma tanah lembap. Tanpa perantara layar, detail kecil terasa lebih hidup. yakni semacam ada aroma laut, tekstur pasir, dan tulusnya tawa orang-orang pesisir. Raka menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu perlu diarsipkan atau dibagikan untuk diakui maknanya.
"Terima kasih, Pak," ucap Raka pelan dengan tulus saat Pak Sastro hendak beranjak pergi meninggalkan mereka.
"Pulanglah dengan hati yang penuh, Nak," jawab Pak Sastro dengan senyum lebar yang menutup pertemuan singkat itu.
Akhirnya, perjalanan itu berakhir dengan galeri kamera yang hampir kosong tanpa ada satu pun foto yang diunggah ke dunia maya. Namun, perjalanan pulang mereka terasa jauh lebih utuh dan bermakna dari biasanya.
Pesisir Jawa Timur pagi itu meninggalkan sebuah jejak yang tidak mungkin bisa diarsipkan dalam bentuk piksel digital. Sebuah pengingat abadi bahwa hidup tidak selalu perlu disaksikan oleh mata orang lain untuk menjadi bermakna. Di antara kabut dan senyum orang-orang sederhana, Raka menemukan sebuah kehadiran yang selama ini terlewatkan, yakni sebuah rasa cukup yang lahir murni tanpa bantuan lensa.
Penulis: Fau
