Di Musim Paceklik, Mengapa Orang Jawa-Madura Enggan Berdagang?

Pasar tradisional yang-Madura yang sepi dengan ayam jago berdiri di depan kios tertutup bernuansa mistis.
Ilustrasi pasar yang lengang di musim paceklik dengan ayam jago sebagai penanda energi rezeki dalam tradisi Jawa-Madura. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia)

Tintanesia - Ada waktu-waktu tertentu ketika pasar tampak lebih lengang, warung tidak seramai biasanya, dan beberapa lapak memilih tidak membuka pintu. Pada saat itu, sebagian masyarakat Jawa–Madura percaya bahwa musim paceklik bukan sekadar kondisi ekonomi, tetapi juga fase ketika energi rezeki sedang menurun. Keyakinan ini berasal dari cara pandang leluhur yang memadukan perhitungan waktu, tanda alam, dan batin manusia.

Sebagian orang mungkin menganggap perilaku tersebut tidak masuk akal, namun bagi masyarakat yang masih memegang teguh warisan leluhur, musim paceklik adalah masa untuk menahan diri. Ada keyakinan bahwa memulai dagang ketika energi alam tidak bersahabat dapat menyebabkan kerugian, kesialan, bahkan kebuntuan usaha. Oleh sebab itu, banyak pedagang memilih menunggu waktu yang dianggap membawa restu.

Kemudian, fenomena ini bukan hanya tentang kepercayaan spiritual, tetapi juga tentang bagaimana manusia Jawa–Madura memahami ritme hidup. Mereka percaya bahwa rezeki memiliki musimnya sendiri, sama seperti bumi yang mengenal musim hujan, panen, dan masa ketika tanah membutuhkan istirahat. Dalam keyakinan itu, waktu tidak hanya dihitung, melainkan dirasakan.

Makna Musim Paceklik dalam Tradisi Jawa–Madura

Musim paceklik bukan hanya persoalan sedikit pembeli atau krisis ekonomi. Dalam kebudayaan Jawa–Madura, paceklik adalah simbol siklus alam ketika energi rezeki sedang turun dan aktivitas ekonomi sebaiknya tidak dipaksakan. Banyak yang percaya bahwa berdagang pada waktu tersebut justru membuka peluang hambatan, kerugian, dan situasi yang sulit dipulihkan.

Sebagian pedagang memilih memanfaatkan masa tersebut untuk memperbaiki peralatan, merawat toko, membersihkan rumah, atau memperdalam laku batin. Ada keyakinan bahwa menenangkan diri ketika alam sedang tidak mendukung dapat mencegah hal yang tidak diinginkan. Dalam tradisi ini, kesabaran menjadi bagian dari strategi hidup.

Kemudian, musim paceklik sering kali dikaitkan dengan hitungan Jawa seperti Windu, Weton, dan Pasaran. Hitungan ini dipercaya mampu membaca ritme kehidupan, termasuk kapan waktu yang tepat untuk menahan diri dan kapan saatnya bergerak maju. Bagi sebagian masyarakat, mempercayai hitungan tersebut bukan sebuah ketakutan, melainkan bentuk kepatuhan pada harmoni alam.

Peran Hewan Pertanda: Ayam Jago dan Energi Dagang

Dalam beberapa komunitas Jawa–Madura, ayam jago bukan hanya hewan peliharaan, tetapi penjaga energi rumah dan usaha. Kokok ayam jago pada waktu tertentu diyakini sebagai tanda bahwa waktu baik atau buruk sedang mendekat. Ketika ayam jago berkokok dengan suara panjang sebelum fajar di musim paceklik, sebagian pedagang mempercayai hal itu sebagai pertanda rezeki belum terbuka.

Sebaliknya, suara kokok ayam yang terdengar lantang ketika matahari mulai naik sering dianggap sebagai isyarat perlahan terbukanya keberuntungan. Oleh karena itu, simbol ayam jago menjadi bagian penting dalam tradisi spiritual berdagang di Jawa–Madura. Keyakinan ini telah diwariskan turun-temurun dan tetap bertahan meskipun zaman terus berubah.

Serta, beberapa tetua meyakini bahwa ayam jago mampu merasakan energi yang tidak terlihat oleh manusia. Jika hewan tersebut tampak gelisah atau diam tidak biasa di musim paceklik, hal itu dianggap sebagai tanda agar pedagang tidak terburu membuka usaha. Kepercayaan ini menggabungkan intuisi, spiritualitas, dan pengalaman hidup masyarakat pesisir dan pedalaman.

Musim Paceklik Mengajarkan Menanti dengan Keyakinan

Bagi masyarakat Jawa–Madura, menahan diri ketika musim paceklik bukan tanda menyerah. Sebaliknya, itu bentuk penghormatan pada waktu dan energi alam. Ada keyakinan bahwa setiap ketergesaan dapat mengundang kegagalan, sedangkan kesabaran mengundang restu. Karena itu, menunggu bukan hanya tindakan fisik, tetapi laku batin.

Beberapa pedagang memanfaatkan waktu ini untuk berdoa, melakukan tirakat, membaca amalan tertentu, atau sekadar menenangkan hati. Mereka percaya bahwa rezeki bukan hanya tentang uang, tetapi tentang kesiapan mental dan spiritual. Dalam ruang sunyi tersebut, manusia Jawa–Madura belajar memahami bahwa kehidupan bukan perlombaan, melainkan perjalanan panjang.

Kemudian, ketika waktu dianggap sudah bersahabat, mereka akan membuka usaha dengan keyakinan yang lebih dalam. Keyakinan tersebut memberi keberanian untuk melangkah kembali, meskipun tantangan masih menunggu. Dalam harmoni antara manusia dan waktu, usaha dipandang bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi ritual hidup menuju kesejahteraan.

Ketika Keyakinan Menjadi Kompas Hidup

Musim paceklik dalam pandangan Jawa–Madura bukan sekadar kenyataan ekonomi, tetapi bagian dari kebijaksanaan hidup yang penuh makna. Kepercayaan pada ayam jago sebagai penjaga energi, hitungan Jawa sebagai panduan waktu, dan sikap hati-hati sebelum membuka usaha merupakan warisan budaya yang masih hidup hingga kini.

Tradisi tersebut mengajarkan bahwa keberhasilan bukan hanya tentang keberanian, tetapi juga berkaitan dengan kebijaksanaan memilih waktu. Menunggu, menghormati tanda alam, dan memulai kembali ketika hati mantap adalah sikap yang tumbuh dari pengalaman dan keyakinan. Dalam pandangan ini, rezeki selalu datang pada waktunya, sebagaimana musim selalu berganti.*

Penulis: Fau

Posting Komentar