Doa Terakhir dan Kepergian Arwah Semeru

Lima pendaki berdoa di tepi Ranu Kumbolo saat cahaya kecil terangkat dari danau menuju langit pagi.
Ilustrasi momen terakhir para pendaki saat cahaya roh terangkat dari Ranu Kumbolo setelah doa mereka. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia)

Tintanesia: Kisah Mistis

Angin kembali datang sebelum subuh, namun kali ini berbeda. Tenda mereka bergetar keras seperti diterpa badai meski langit tidak menunjukkan tanda hujan. Suara gemuruh terdengar dari arah danau, seperti sesuatu bergerak dari dasar air menuju permukaan.

Ara terbangun lebih dulu. Napasnya memburu, matanya melebar seolah mendengar sesuatu yang tidak didengar orang lain.

"Di luar sana tidak normal," bisiknya.

Sebelum Jaka sempat bertanya, resleting tenda tiba-tiba bergerak sendiri. Perlahan, sangat pelan, seperti ditarik oleh tangan yang tidak terlihat. Abdullah memegang senter dengan tangan gemetar, sementara Ira dan Yanti saling menggenggam tangan.

Ketika resleting hampir terbuka, senter Abdullah menyala dan menyorot ke arah pintu.

Tidak ada siapa pun.

Namun tanah di depan tenda tampak basah seperti seseorang baru saja berdiri di sana.

Jaka akhirnya memberanikan diri membuka pintu tenda sepenuhnya. Udara dingin bercampur aroma tanah basah menyambut mereka. Kabut tipis melayang di udara, membentuk siluet samar di antara pepohonan.

Kemudian terdengar suara berat dan pelan, seolah muncul dari kabut itu sendiri.

"Belum selesai."

Semua langsung menoleh ke arah danau. Air yang semula tenang kini bergolak perlahan.

Ara menggigil. "Aku sudah mengembalikannya. Apa lagi yang dia mau?"

Tidak ada jawaban. Tetapi sesuatu muncul di permukaan air. Bukan sosok, bukan bayangan, melainkan cahaya kecil seperti kunang-kunang yang bergerak cepat mendekati mereka.

Cahaya itu berhenti tepat di depan Ara.

Jaka menahan napas. Abdullah ingin menarik Ara menjauh, tetapi cahaya itu tidak terasa mengancam. Cahaya itu justru terasa hangat dan membuat ketakutan mereka sedikit mereda.

Ara menatap cahaya itu dengan hati-hati. "Apa maksudmu? Apa yang kurang?"

Cahaya itu bergerak lagi. Kali ini menuju batu tempat gelang tadi diletakkan.

Di sana, permukaan batu kini tidak kosong. Terdapat tulisan samar seperti terukir oleh air.

Bukan dalam bahasa modern. Namun Ara seolah memahami maknanya.

"Dia tidak ingin dilupakan," ujarnya pelan.

Abdullah tertegun. "Jadi ini bukan tentang barangnya saja?"

Ara menggeleng. "Dia hilang bertahun-tahun tanpa nama, tanpa doa, tanpa siapa pun yang tahu nasibnya."

Suasana sunyi sejenak.

Lalu Yanti memberanikan diri berkata. "Kalau dia ingin dikenang... mari kita doakan dia."

Jaka menatap empat temannya dan mengangguk. "Kita lakukan dengan tenang. Dengan hormat."

Mereka duduk melingkar di dekat batu itu. Tidak ada ritual berlebihan. Tidak ada mantra aneh. Hanya ucapan sederhana dengan hati tulus.

"Semoga kamu menemukan jalan pulang."

"Semoga jiwamu tenang."

"Semoga Semeru memelukmu sebagai bagian dari sejarahnya."

Ketika doa terakhir selesai, cahaya kecil itu memancarkan kilatan lembut lalu perlahan terangkat ke langit. Kabut pelan-pelan terangkat seperti tirai yang dibuka. Air danau kembali jernih dan tenang.

Tidak ada lagi bau kemenyan. Tidak ada burung hantu. Tidak ada suara langkah seperti manusia tersesat. Hanya ketenangan.

Ara tersenyum tipis. "Dia pergi."

Jaka menarik napas lega. "Kita harus turun begitu matahari naik."

Dan itulah yang mereka lakukan. Perjalanan turun terasa jauh lebih ringan. Hutan yang tadi terasa mengawasi kini seolah hanya menemani. Udara tetap dingin, namun bukan dingin yang mengancam.

Saat tiba di pos pendakian, seorang penjaga tua menatap mereka lama sebelum memberi senyum kecil. Senyum itu bukan salam biasa. Seolah ia tahu apa yang telah terjadi.

"Kalian sudah melakukan yang benar," katanya pelan. "Gunung selalu mengembalikan apa yang pantas. Kalian memberi hal yang layak diterimanya."

Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya mengucapkan terima kasih sebelum melanjutkan perjalanan pulang.

Beberapa hari setelah kejadian itu, masing-masing dari mereka kembali ke rutinitas. Rumah, pekerjaan, kampus, dan kehidupan normal.

Namun ada satu hal yang tetap tinggal di dalam pikiran mereka. Yakni, Semeru bukan hanya gunung.

Semeru adalah tempat di mana sesuatu yang hilang bisa ditemukan dan sesuatu yang tertahan akhirnya kembali pulang.

Dan mereka tahu satu hal dengan pasti. Beberapa pendakian tidak sekadar perjalanan fisik. Beberapa adalah panggilan. Dan panggilan itu telah berakhir dengan damai.*

Penulis: Fau

Posting Komentar