Pamali Menolak Lamaran Pria: Kisah Karma dan Larangan Adat di Madura
![]() |
| Ilustrasi Jani, gadis Madura yang menolak lamaran pria sederhana, menggambarkan pamali yang membawa kesunyian dan penyesalan. (Sumber: AI Canva/Tintanesia) |
Tintanesia, Madura
Di sebuah desa di pesisir Madura, hiduplah seorang perempuan bernama Jani. Dia adalah seseorang yang dielu-elukan sebagai gadis paling cantik di kampungnya. Kulitnya seputih kelapa muda, rambut hitamnya tergerai indah setiap kali angin laut meniupnya. Tatapannya lembut, tapi di balik itu tersimpan rasa percaya diri yang tinggi, bahkan sedikit angkuh.
Saat berusia dua puluh lima tahun Jani menjadi buah bibir. Banyak pemuda datang membawa pinangan, tapi hampir semuanya ditolak dengan alasan yang terdengar manis di luar, padahal menusuk di dalam. Hingga suatu hari, seorang pemuda sederhana dari desa sebelah datang bersama keluarganya. Namanya Rio.
Rio bukan pria tampan. Wajahnya gelap, tubuhnya kurus, dan bajunya sederhana. Namun tutur katanya sopan, dan semua orang mengenalnya sebagai pekerja keras. Dengan niat tulus, dia datang melamar Jani.
Bukannya diterima, Rio justru direndahkan. Sehingga kalimat perempuan angkuh ini mengabadi dibenaknya.
“Maaf, aku tidak bisa menerima lamaran ini. Aku ingin menikah dengan seseorang yang bisa membuatku bangga di depan orang lain," jawabnya saat ditanya oleh orang tua Rio.
"Lagian hitam kayak aspal, malah ngelamar aku," imbuhnya dengan nada kecil namun tetap didengar oleh Rio yang hanya menunduk. Orang tua rio meneteskan air mata, sementara keluarga Jani merasa malu atas sikap putri mereka. Sejak hari itu, desas-desus pun mulai beredar.
Pamali Dianggap Tak Masuk Akal
Orang-orang tua di desa mulai berbisik, “Pamali menolak lamaran dengan sombong, nanti jodoh susah datang.” Tapi Jani tak menggubris. Baginya, hidup di zaman modern tak perlu takut pada pamali. Tak hanya iu, iah bahkan menertawakan orang-orang yang masih percaya pada hal semacam itu.
Namun malam setelah penolakan itu, Jani bermimpi aneh. Dalam mimpinya, seorang perempuan tua berkerudung hitam menatapnya dari jauh. Wajahnya pucat, dan dari bibirnya keluar bisikan pelan, “Kau sudah menolak takdirmu sendiri.”
Jani terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuh. Mimpi itu terasa terlalu nyata, tapi dia berusaha mengabaikannya, seolah-olah meyakinkan diri bahwa semua hanyalah kebetulan. Tetapi sejak malam itu, segala hal yang berhubungan dengan cinta seolah tak lagi berpihak padanya.
Cinta Tak Lagi Datang
Beberapa tahun berlalu, dan Jani jatuh cinta. Seorang lelaki dari kota datang bekerja di desa itu. Ia tampan, sopan, dan pandai berbicara. Katakanlah pemuda ini semacam yang dulu Jani impikan. Singkatnya mereka dekat, bahkan sudah membicarakan rencana pernikahan. Namun seminggu sebelum hari lamaran, lelaki itu pergi tanpa kabar.
Orang-orang bilang, lelaki itu sudah punya kekasih di kota. Jani hancur. Ia menangis setiap malam, mencoba mencari jawaban, tapi yang datang hanya mimpi lama, yakni sosok perempuan tua dengan tatapan kosong.
Waktu berjalan. Dua kali lagi Jani menjalin hubungan, dua-duanya gagal di tengah jalan. Kadang karena alasan yang tak masuk akal. Yakni, orang tua calon tak setuju, atau tiba-tiba calon suami berubah sikap. Setiap kegagalan selalu menyisakan pertanyaan yang sama di hatinya, yaitu, Apakah pamali itu benar adanya?
Tekanan Mental
Di desa kecil, status perempuan tak menikah menjadi bahan pembicaraan tak berkesudahan. Setiap kali ada pesta pernikahan, Jani duduk di barisan tamu paling belakang. Bisikan-bisikan kecil sering terdengar dari arah kanan dan kiri.
“Kasihan, padahal cantik.”
“Dulu banyak yang melamar, tapi dia pilih-pilih.”
Jani belajar tersenyum pada cibiran itu, meski hatinya menjerit. Ia mulai jarang keluar rumah, lebih memilih menghabiskan waktu di kebun belakang rumah atau menemani ibunya menenun. Dalam kesunyian itu, ia sering berbicara dengan dirinya sendiri, seolah mencoba menghibur hati yang semakin rapuh.
Malam-malamnya kembali dihantui mimpi lama. Bayangan perempuan berselendang hitam terus muncul, menatapnya dalam diam. Kali ini tanpa berkata apa pun, hanya menatap dengan mata kosong penuh amarah.
Keangkuhan dan Cermin
Suatu pagi, saat menyiapkan air untuk mandi, Jani menatap cermin tua di kamarnya. Wajahnya masih cantik, tapi tak lagi bercahaya. Di balik keindahan itu ada lelah dan kesepian yang menahun. Ia bergumam pelan, “Mungkin memang aku yang salah.”
Pikiran itu terus berputar. Ia mulai menyadari bahwa dulu ia menolak Rio bukan karena tidak cinta, melainkan karena malu pada pandangan orang lain. Jani takut dicemooh karena menikah dengan pria sederhana. Tapi kini, setiap kali mengingat Rio, hatinya justru terasa hangat.
Rio memang bukan pria tampan, tapi ia satu-satunya yang datang dengan niat tulus. Sementara semua pria setelahnya datang membawa janji, tapi pergi tanpa kejelasan. Di situlah Jani memahami makna sebenarnya dari “menolak takdir.”
Jauh di Mata di Rasa
Usia Jani kini empat puluh tahunan. Rambutnya mulai diselimuti uban halus, namun wajahnya tetap memancarkan keanggunan. Ia tak lagi menyesali masa lalu, meski setiap kali melihat pasangan muda berjalan bergandengan, ada sedikit sesak di dadanya.
Ia kini lebih banyak mengajar anak-anak mengaji di surau desa. Banyak gadis muda datang kepadanya untuk meminta nasihat. Setiap kali ada yang bercerita tentang lamaran, Jani hanya tersenyum dan berkata lembut,
“Kalau ada lelaki datang dengan niat baik, jangan remehkan dia. Wajah bisa berubah, tapi ketulusan tidak.”
Orang-orang kini menghormatinya bukan karena kecantikannya, melainkan karena kebijaksanaannya. Ia tidak lagi dikejar bayangan perempuan tua dalam mimpi. Mungkin karena ia sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
***
Jauh di Mata di Rasa
Usia Jani kini empat puluh tahunan. Rambutnya mulai diselimuti uban halus, namun wajahnya tetap memancarkan keanggunan. Ia tak lagi menyesali masa lalu, meski setiap kali melihat pasangan muda berjalan bergandengan, ada sedikit sesak di dadanya.
Ia kini lebih banyak mengajar anak-anak mengaji di surau desa. Banyak gadis muda datang kepadanya untuk meminta nasihat. Setiap kali ada yang bercerita tentang lamaran, Jani hanya tersenyum dan berkata lembut,
“Kalau ada lelaki datang dengan niat baik, jangan remehkan dia. Wajah bisa berubah, tapi ketulusan tidak.”
Orang-orang kini menghormatinya bukan karena kecantikannya, melainkan karena kebijaksanaannya. Ia tidak lagi dikejar bayangan perempuan tua dalam mimpi. Mungkin karena ia sudah berdamai dengan dirinya sendiri.
Namun, di balik damainya Jani, ada bisikan sunyi yang tetap mengikat nasibnya.
Di desa itu, desas-desus beredar bahwa penolakan Jani yang dilandasi keangkuhan telah menciptakan simpul batin yang sulit terurai. Bukan karena sihir yang dipesan, melainkan karena amarah tulus yang diderita ibunda Rio. Mereka percaya, energi sakit hati dari orang yang direndahkan dapat menjadi sumpah batin yang dilepaskan ke alam semesta, mengikat siapa pun yang menjadi penyebabnya.
Rio, yang kini sukses di Jakarta, juga seolah terikat pada masa lalu. Ia tak pernah kembali dan tak pernah serius mencari pendamping, seolah bayangan penghinaan yang pernah menimpa keluarganya ikut menahan langkah hidupnya. Kutukan sunyi itu bukanlah sihir berbayar, melainkan hukum sebab-akibat dari sebuah keangkuhan yang menolak ketulusan. Jani akhirnya menemukan kedamaian, namun ia harus menjalani takdir sunyi sebagai harga dari pelajarannya.
Disclaimer: Kisah ini hanya karangan Tintansia. Artinya cerita di atas bukan fakta, sehingga apabila ada kesamaan nama tokoh dan karakter mohon agar dimaklumi.
Penulis: Fau
