Mitos Larangan Pernikahan di Bulan Suro, Benarkah Masih Berlaku?
![]() |
| Ilustrasi pasangan Jawa dalam suasana hening Bulan Suro. Visual ini melambangkan kehati-hatian dan nilai spiritual dalam budaya pernikahan tradisional. (Sumber: AI Canva/Tintanesia) |
Tintanesia - Dalam tradisi Jawa, Bulan Suro dikenal sebagai waktu penuh kesunyian dan perenungan batin. Banyak masyarakat meyakini pada masa ini bukan momen tepat untuk menggelar pesta besar seperti pernikahan. Keyakinan itu diwariskan turun-temurun hingga sekarang, meski sebagian generasi muda mulai mempertanyakannya.
Suro merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang bertepatan dengan Muharram dalam kalender Islam. Secara spiritual, bulan ini dianggap sakral dan sering diisi dengan doa, tapa brata, upacara memandikan keris dan lainnya.
Karena nuansa religiusnya sangat kuat, pesta meriah seperti pernikahan diyakini bisa mengganggu keseimbangan suasana batin masyarakat yang tengah berintrospeksi.
Meski zaman telah berubah, larangan menikah di Bulan Suro masih dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat pedesaan. Alasan yang dikemukakan bukan semata soal kesialan, tetapi juga penghormatan terhadap nilai budaya dan kebijaksanaan leluhur. Keyakinan tersebut seolah menjadi warisan moral yang tak lekang oleh waktu.
Asal Usul Larangan Menikah Saat Bulan Suro
Sesuai hasil penelusuran Tintanesia, pandangan mengenai pantangan menikah di Bulan Suro berasal dari sistem kepercayaan Kejawen yang sarat makna simbolik. Dalam pandangan leluhur, Suro dianggap sebagai saat energi alam berada dalam fase sunyi dan hening. Mengadakan pesta besar, diyakini dapat mengundang gangguan dari kekuatan tak kasat mata yang sedang “beristirahat”.
Selain itu, tradisi keraton juga turut memengaruhi kepercayaan ini. Pada masa lalu, kalangan bangsawan biasanya menggelar ritual kerajaan di Bulan Suro, seperti kirab pusaka dan doa keselamatan. Nah, maka karena itu, rakyat biasa menghindari acara besar agar tidak dianggap menyaingi kekuatan spiritual kerajaan. Seiring berjalannya waktu, aturan tak tertulis itu berubah menjadi mitos larangan menikah.
Dalam masyarakat modern, sebagian orang menilai pantangan tersebut hanyalah bentuk nasihat agar manusia memilih waktu yang tepat sebelum mengambil keputusan besar. Bulan Suro dianggap sebagai simbol kehati-hatian, bukan kutukan yang menakutkan. Maknanya lebih kepada pengingat agar setiap langkah kehidupan dijalani dengan kesadaran dan doa.
Pandangan Agama Tentang mEnikah di bulan Suro
Dari sisi Islam, tidak ada dalil yang menyebutkan larangan menikah di bulan Muharram yang identik dengan Suro. Pernikahan justru disarankan kapan pun jika pasangan sudah siap secara lahir dan batin. Pandangan ini menegaskan bahwa bulan tidak menentukan keberkahan sebuah hubungan, melainkan niat serta kesungguhan membangun rumah tangga.
Ulama menilai bahwa larangan menikah di bulan tertentu hanyalah kebiasaan budaya yang tidak memiliki dasar teologis. Agama menempatkan kesiapan spiritual dan tanggung jawab moral di atas pertimbangan tanggal atau bulan. Karena itu, keputusan menunda pernikahan sebaiknya didasari alasan rasional, bukan semata karena takut akan mitos.
Di sisi lain, ada beberapa tokoh agama yang memiliki pandangan bahwa pada bulan Suro terjadi pembunuhan atas keluarga kanjeng nabi. Sehingga sebagian masyarakat muslim menganggap bulan Suro itu sebagai bulan duka.
Makna Modern di Balik Larangan Menikah di Bulan Suro
Bagi generasi muda, larangan menikah di Bulan Suro kini lebih sering dianggap simbol refleksi dan kesiapan emosional saja. Mereka melihat mitos tersebut bukan sebagai kutukan, tetapi termasuk nasihat agar tidak terburu-buru mengambil keputusan besar. Dalam perspektif modern, makna budaya semacam ini bisa dijadikan sarana memahami nilai kesabaran, ketenangan, dan pengendalian diri.
Perubahan pandangan ini muncul, karena masyarakat sekarang lebih rasional dalam menilai tradisi. Apalagi ada informasi yang terbuka. Yakni membuat banyak orang memahami bahwa keberhasilan pernikahan tidak ditentukan oleh waktu pelaksanaan, melainkan komitmen, komunikasi, dan saling pengertian. Pandangan tersebut memberi ruang bagi budaya lokal untuk tetap hidup tanpa menghambat perkembangan zaman.
Namun, di sejumlah daerah pedesaan, tradisi ini masih dipertahankan demi menjaga harmoni sosial. Pasalnya, menghormati mitos bukan berarti mempercayai secara mutlak, tetapi menjaga ketenangan bersama. Dengan begitu, nilai budaya tidak hilang, tetapi dimaknai kembali sesuai kehidupan modern yang lebih terbuka dan logis.
Kearifan Lokal dan Nilai Budaya Jawa
Kearifan masyarakat Jawa selalu menempatkan keseimbangan antara dunia spiritual dan kehidupan sosial. Larangan menikah di Bulan Suro bisa dilihat sebagai bentuk disiplin budaya yang mengajarkan kesadaran diri. Kebiasaan semacam itu, tentu memberi ruang bagi manusia untuk berhenti sejenak, merenungi perjalanan hidup, dan menata rencana ke depan dengan matang.
Dalam perspektif sosial, kebiasaan menunda pernikahan di Bulan Suro juga mencerminkan rasa hormat terhadap masyarakat sekitar. Waktu tersebut, sering digunakan untuk upacara adat dan ritual keselamatan bersama. Dengan tidak menggelar pesta, masyarakat menjaga ketertiban dan kekhidmatan bulan yang dianggap sakral.
Keseimbangan antara adat dan modernitas menjadi kunci bagi generasi sekarang dalam menyikapi larangan semacam ini. Menghargai kepercayaan nenek moyang tidak harus berarti menghambat kemajuan berpikir. Justru dari sana, nilai-nilai luhur bisa diteruskan dengan cara yang lebih relevan, tanpa menghilangkan makna spiritual yang terkandung di dalamnya.
Menikah di Bulan Suro ini Sebuah Ketakutan?
Pada akhirnya, keputusan untuk menikah di Bulan Suro atau menundanya adalah hak pribadi setiap pasangan. Sebagian memilih menyesuaikan dengan jadwal keluarga, sementara yang lain ingin menghormati budaya dengan menunggu bulan berikutnya. Kedua pilihan sama-sama sah selama dilandasi niat baik dan pertimbangan matang.
Tradisi tidak selalu harus dipertentangkan dengan modernitas. Justru ketika keduanya berjalan berdampingan, lahirlah harmoni antara kepercayaan lama dan logika baru. Dengan memahami makna di balik larangan tersebut, masyarakat bisa menjaga warisan budaya tanpa kehilangan kebebasan berpikir.
Menikah di bulan apa pun sejatinya bergantung pada kesiapan mental, spiritual, dan finansial. Doa yang tulus dan restu keluarga jauh lebih penting daripada tanggal di kalender. Karena itu, mitos larangan menikah di Bulan Suro sebaiknya dimaknai sebagai ajakan untuk lebih bijak, bukan sekadar pantangan menakutkan.
Baca Cerpen Mistis
Catatan Tintanesia Notes: Di balik setiap larangan, selalu ada filosofi yang membentuk jati diri Nusantara. Mitos bukan sekadar dongeng pengantar malam, melainkan penanda bahwa masyarakat kita pernah sangat dekat dengan alam dan nilai spiritual. Setiap pantangan membawa pesan tentang kehati-hatian, keseimbangan, dan penghormatan terhadap kekuatan yang lebih besar.*
Penulis: Fau
