Janji Terlarang di Bulan Suro

Makani berdiri di depan rumah Jawa kuno pada malam bulan Suro, dihantui bayangan perempuan berkerudung putih di bawah cahaya bulan purnama.
Ilustrasi Makani berdiri di depan rumah Jawa kuno pada malam bulan Suro, diselimuti suasana mistis dan bayangan perempuan berkerudung putih. (Gambar di AI Canva/Tintanesia)

Tintanesia, Jatim

Malam itu, langit Surabaya tampak murung, seolah menyimpan rahasia yang enggan dibuka. Hujan rintik turun pelan di atas kap mobil sport milik Makani, pengusaha muda yang dikenal sombong dan penuh percaya diri. Di usia tiga puluh tahun, ia memiliki segalanya. Mulai dari uang, nama, dan kehormatan di dunia bisnis dia punya, kecuali satu hal yang selalu ia abaikan yakni kepercayaan terhadap hal-hal gaib dan pamali.

Bagi Makani, mitos hanyalah cerita orang tua kampung yang tak mengenal logika. Ia tumbuh dalam keluarga modern yang menertawakan hal-hal semacam itu. Maka, ketika tunangannya, Raras, meminta agar mereka menunda pernikahan karena bertepatan dengan bulan Suro, Makani hanya tertawa.

“Raras, kita hidup di abad dua puluh satu, bukan di hutan mitos!” katanya sambil menyalakan rokok.

“Kalau semua orang takut menikah di bulan Suro, lantas apa bedanya kita dengan mereka?” imbuhnya. Raras menunduk. Wajahnya pucat, tapi bukan karena takut pada Makani, tetapi pada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Hal itu karena ia berasal dari keluarga Jawa kuno di daerah Ponorogo, tempat kepercayaan terhadap bulan Suro dijaga seperti warisan suci.

“Makani, Suro itu bulan sakral. Orang tua bilang, menikah di bulan itu bisa membawa kesialan atau… kehilangan,” bisiknya lirih.
“Kehilangan apa?”
“Seseorang yang paling kau cintai," sangkal Makani.

Makani tersenyum sinis. “Kehilangan uang mungkin iya. Tapi cinta? Aku tak percaya hal konyol begitu.”

Janji yang Menantang Langit

Tanggal pernikahan pun tetap ditetapkan. 1 Suro, bertepatan dengan malam Jumat Kliwon.

Raras menangis semalaman, tapi Makani tak menggubris. Ia hanya ingin membuktikan bahwa takdir ada di tangan manusia, bukan diatur oleh bulan dan pamali.

Pagi itu, suasana di gedung pernikahan tampak aneh. Angin berhembus dingin meski matahari terik. Seorang penabuh gamelan tiba-tiba pingsan, sementara lilin di meja tamu padam sendiri. Beberapa tamu saling berbisik, sebagian dari mereka menolak duduk di barisan depan.

Makani hanya menganggapnya kebetulan. Ia tetap berjalan dengan jas hitam mahal, senyum sinis di wajahnya. Di pelaminan, Raras gemetar. Tangannya dingin seperti es.

Namun, ketika penghulu mulai membaca akad, suara mikrofon mendadak serak. Listrik padam. Dalam gelap, terdengar suara perempuan. Bukan dari pengeras suara, tapi entah dari mana. “Janji di bulan Suro takkan restu bumi dan langit…”

Jeritan tamu memecah ruangan. Beberapa lampu gantung berayun seolah digoyang angin kencang, padahal semua jendela tertutup. Raras pingsan di tempat, sementara Makani berusaha menenangkan semua orang. Ia tetap bersikeras melanjutkan akad begitu listrik menyala kembali.

Namun saat penghulu membuka kitab nikah, halaman-halamannya berterbangan ke udara, seperti ditiup kekuatan tak terlihat. Dari luar, suara gong gamelan terdengar berdentang sendiri.

Hari itu, pernikahan batal.

Bayangan di Cermin

Sejak malam itu, hidup Makani tak pernah sama. Di rumah mewahnya, kaca besar di ruang tamu selalu memantulkan bayangan perempuan berkerudung putih. Setiap kali malam Jumat tiba, suara gamelan terdengar samar dari kejauhan.

Makani mengira itu hanya halusinasi karena stres, tapi tubuhnya perlahan melemah. Bisnisnya merosot, sopir angkot pribadinya tiba-tiba mengundurkan diri karena “tak kuat melihat bayangan di kaca spion”.

Ia mencari bantuan paranormal bernama Husna, teman lama ayahnya. Kyai itu dikenal bijak, tenang, dan dihormati warga sekitar.

“Nak Makani,” ucap Husna dengan suara berat.  Kemudian lanjut menjelaskan, “kau telah menantang waktu yang tak boleh disentuh manusia. Bulan Suro bukan sekadar penanggalan, tapi gerbang antara dunia manusia dan dunia yang tak kasat mata.”

“Saya cuma ingin menikah, mbah. Apa salah saya?”

“Salahmu bukan menikah, tapi menepati janji di waktu terlarang. Janji adalah sesuatu yang hidup. Saat diucapkan di bulan Suro, ia bisa menjadi kutukan.”

Makani menatap lantai, lidahnya kelu. Ia teringat janji yang diucapkannya seminggu sebelum pernikahan:

“Raras, meski bumi runtuh, aku akan tetap menikah denganmu di bulan Suro.”

Cinta yang Berubah Jadi Azab

Seminggu kemudian, Raras datang menjenguk. Wajahnya pucat pasi, matanya sembab. Ia berkata bahwa sejak malam gagal nikah itu, ia sering bermimpi berdiri di pelaminan yang dikelilingi air. Setiap kali ia melangkah ke arah Makani, bayangan dirinya lenyap ke dasar kolam.

“Makani, aku takut… ada yang memanggil namamu di mimpiku,” katanya. Makani sambil mengkerut menjawab, “Jangan omong kosong, Raras. Aku sudah capek dengan semua ini.”

“Kau belum percaya juga?” tanya Raras memastikan. Makani tambah mengkerut, “Aku percaya hanya pada diriku sendiri."

Tiba-tiba, kaca di belakang mereka retak sendiri. Retakannya membentuk pola seperti huruf Jawa kuno, bentuk yang kemudian dikenali oleh paranormal yang diundang makani sebelumnya. Menurut paranormal itu, semacam aksara pengikat janji arwah.

“Dia sudah menagih,” ujar Husna saat diperlihatkan kaca itu. “Satu di antara kalian harus menebus janji.”

Malamnya, Makani duduk sendirian di teras rumah. Angin membawa aroma bunga kenanga. Dari jauh terdengar suara perempuan tertawa lirih. makani mencoba berdiri, tapi kakinya berat. Dari taman, bayangan putih muncul berwujud Raras, namun wajahnya tampak lain. Lebih tenang, tapi kosong.

“Makani,” suara itu lembut tapi menusuk, “kau pernah berjanji akan menikah di bulan Suro. Kini aku datang menagih…”

Makani mundur, tapi tubuhnya membeku. Bayangan itu mendekat, menatap dalam ke matanya, lalu berbisik,

“Cinta yang menentang takdir akan dibayar dengan jiwa.”

Keesokan paginya, warga menemukan Makani tergeletak di kursi taman, matanya terbuka menatap langit. Di tangannya tergenggam cincin emas. Cincin yang dulu hendak disematkan pada jari Raras.

Akhir Janji

Sejak kejadian itu, rumah Makani ditinggalkan. Orang-orang yang melintas di depan gerbangnya sering mendengar gamelan samar dari dalam, meski tak ada siapa pun di sana.

Sementara Husna menuliskan kisahnya dalam catatan harian dengan dua kalimat penutup:

“Setiap janji yang diucapkan di bulan Suro membawa dua kemungkinan. Yaitu berkah bagi yang ikhlas, atau kutukan bagi yang menantang.”

Dan di Ponorogo, setiap kali bulan Suro tiba, orang-orang masih berbisik, “Jangan menantang waktu, karena waktu pun bisa mencintai… dan membalas.”*

Baca Juga

Disclaimer: Kisah ini hanya imajinasi Tintanesia yang mencoba mendeskripsikan dampak pasangan menikah di bulan Suro sesuai kepercayaan masyarakat melalui cerpen. Sehingga apabila ada nama, yang tokoh yang sama, mohon dimaklumi.

Penulis: Fau

Posting Komentar