Kisah Pemuda Madura Tantang Pamali Rambut Terbakar, ini yang Terjadi!
![]() |
| Ilustrasi kartun yang menggambarkan kisah seorang pemuda Madura yang menantang pamali membakar rambut. (Sumber: AI Canva/Tintanesia) |
Tintanesia, Madura
Pagi itu, Samara Sajus duduk di kursi bambu di depan rumahnya. Dia berasal dari salah-satu desa Madura. Waktu itu, udara berembus lembut membawa aroma laut yang samar, bercampur dengan wangi kayu bakar dari dapur rumah tetangga. Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu, baru saja mencukur rambutnya sendiri di cermin tua peninggalan ayahnya.
“Sudah waktunya rambut ini diganti,” gumamnya dengan nada puas. Namun setelah selesai mencukur, muncul kebiasaan aneh yang jarang diperhatikan orang, yakni Samara selalu membakar serpihan rambutnya yang terpotong. Api kecil menyala di kaleng bekas, menghitamkan udara dengan bau khas rambut terbakar.
Beberapa warga yang lewat memandanginya dengan heran. Salah seorang tetua sempat menegurnya, “Jangan dibakar, Nak. Bau rambut terbakar bisa menarik sial!” Namun Samara hanya tersenyum kecil, menganggap ucapan itu sekadar mitos kampung tanpa dasar yang jelas.
Mitos Pamali Rambut Terbakar
Di Madura, ada kepercayaan lama yang diwariskan turun-temurun, yaitu membakar rambut sendiri setelah mencukur dianggap pamali. Bau yang muncul dipercaya mengundang roh penasaran yang gemar menempel pada manusia. Makhluk itu akan membawa kesialan bertubi-tubi bagi siapa pun yang menantang larangan tersebut.
Kisah pamali ini dulunya sering diceritakan oleh para orang tua di malam hari. Mereka menuturkannya dengan nada lirih agar anak-anak tak berani bermain api di dekat rambut. Namun seiring modernitas ini, kepercayaan itu perlahan terkikis. Bahkan dianggap hanya dongeng untuk menakut-nakuti.
Samara tumbuh dalam lingkungan yang memuja logika dan menertawakan takhayul. Ia tak pernah mengira bahwa hal kecil seperti membakar rambut bisa membuka pintu menuju malapetaka. Semua terasa biasa, sampai kejadian aneh mulai mengusik hidupnya.
Malam Pertama Setelah Api Itu Padam
Malam turun cepat hari itu, membawa hawa lembap yang menempel di dinding rumah. Samara berbaring di ranjang kayu sambil memandangi langit-langit yang gelap tanpa cahaya lampu. Dari arah dapur, terdengar suara letupan kecil seperti bara yang belum benar-benar padam.
“Angin apa ini?” bisiknya, mencoba mencari sumber suara. Namun ketika ia berjalan ke dapur, bara api di kaleng bekas sudah mati sepenuhnya. Yang tersisa hanyalah aroma menyengat rambut gosong yang entah mengapa tetap menggantung di udara.
Saat kembali ke kamar, lampu minyak di sudut ruangan tiba-tiba bergoyang sendiri, seolah ditiup angin. Padahal semua jendela tertutup rapat. Sejenak, bulu kuduknya meremang, tetapi dia berusaha menenangkan diri dengan keyakinan logis, mungkin hanya hembusan udara dari celah pintu.
Datangnya Kesialan Pertama
Keesokan paginya, Samara mendapati air sumur rumahnya mendadak keruh. Bau busuk menyeruak dari dasar sumur, membuat perutnya mual. “Padahal kemarin air ini jernih,” ucapnya bingung, mencoba menimba beberapa ember untuk memastikan.
Saat ia mencuci muka dengan air itu, matanya terasa perih luar biasa. Seakan ada serpihan abu halus yang menempel di kulitnya. Ia membasuh wajah berulang kali, namun sensasi panas tetap tidak hilang.
Hari berjalan lambat, disertai perasaan gelisah yang tak dapat dijelaskan. Setiap langkah terasa berat, setiap hembusan angin terdengar seperti bisikan samar. Dalam benaknya, kalimat tetua kampung kembali terngiang, “Bau rambut terbakar menarik sial, Nak.”
Bayangan di Cermin Tua
Tiga hari setelah kejadian itu, Samara kembali berdiri di depan cermin peninggalan ayahnya. Cermin itu memiliki bingkai kayu berukir naga, dan selama ini selalu ia gunakan untuk bercukur. Namun kali ini, bayangan di dalamnya tampak berbeda.
Refleksi dirinya terlihat pucat,matanyay tampak sayu, dan di belakang bahunya muncul siluet hitam yang tidak pernah ada sebelumnya. Ia memejamkan mata, lalu membukanya kembali. Bayangan itu masih di sana, menatap dengan pandangan kosong. “Siapa di belakangku?” serunya spontan.
Tak ada jawaban selain desis angin yang menembus celah jendela. Sejak malam itu, Samara menutup cermin dengan kain putih, berharap ketakutannya ikut tertutup bersama benda itu. Namun rasa was-was terus membayangi setiap malam.
Petaka di Tengah Hujan
Suatu malam hujan turun deras, disertai petir yang membelah langit. Samara baru pulang dari pasar membawa bahan makanan untuk ibunya yang sedang sakit. Ketika sampai di halaman, lampu rumah padam tiba-tiba, meninggalkan kegelapan total.
Dari balik tirai air hujan, terdengar suara langkah kaki menyeret di tanah basah. Samara menoleh cepat, tetapi tidak melihat siapa pun. “Kalau ini lelucon, hentikan!” teriaknya, berusaha menenangkan diri meski tubuhnya gemetar.
Namun langkah itu semakin dekat, lalu berhenti tepat di belakangnya. Udara di sekeliling menjadi dingin membeku, dan aroma rambut terbakar kembali tercium kuat. Petir menyambar di kejauhan, menyingkap bayangan hitam di ujung pagar rumah.
Pertemuan dengan Sesepuh
Keesokan harinya, Samara memutuskan pergi ke rumah seorang Sesepuh di desa sebelah bernama Mbah Jaring. Lelaki renta itu dikenal sebagai penjaga tradisi pamali Madura yang masih teguh menjaga warisan leluhur. “Kau telah memanggil sesuatu,” kata Mbah Jaring pelan sambil menatap mata Samara yang sembab.
Samara menjelaskan semua kejadian, dari rambut terbakar hingga bayangan di cermin. Sesepuh itu hanya mengangguk pelan sambil membakar dupa dan menaburkan bunga kering di atas tanah. “Roh penasaran sudah mencium bau tubuhmu. Ia datang karena kau menentang aturan lama,” ujar Mbah Jaring dengan nada berat.
Untuk menebus kesalahan, Samara diminta mencari sisa abu rambutnya dan menguburkannya di bawah pohon kelapa yang tidak berbuah. Ritual itu harus dilakukan sebelum tengah malam, atau roh akan benar-benar menyatu dengannya.
Ritual di Bawah Pohon Kelapa Mati
Malam itu, langit tampak kelabu tanpa bintang. Samara membawa kaleng berisi abu rambut yang tersisa, melangkah menuju pohon kelapa di belakang rumah. Angin berputar pelan, membawa desiran suara yang menyerupai bisikan manusia.
Setiap langkah terasa berat seolah tanah menarik tubuhnya ke bawah. Ia menunduk, menggali tanah dengan tangan kosong sambil membaca doa yang diajarkan Mbah Jaring. “Kembalilah ke tanah, jangan ikuti aku,” katanya lirih, menimbun abu dengan hati berdebar.
Namun sesaat setelah abu tertutup sempurna, terdengar suara tawa kecil dari arah pepohonan. Samar, namun cukup jelas untuk membuat jantungnya nyaris berhenti. Hujan turun tiba-tiba, memadamkan bara sisa dupa di tangannya.
Sejak malam itu, rumah Samara kembali tenang. Tidak ada lagi bayangan di cermin, tidak ada langkah misterius di halaman, dan air sumur mulai jernih kembali. Ia merasa lega, meski dalam hati menyimpan rasa bersalah karena pernah menantang pamali leluhur.
Beberapa hari kemudian, Mbah Jaring datang untuk memastikan semuanya telah selesai. “Ingatlah, manusia boleh belajar dari dunia, tapi jangan menertawakan yang tak terlihat,” kata Sang Sesepuh sebelum berpamitan. Samara hanya menunduk, mengucap terima kasih dengan nada tulus.
Namun di malam berikutnya, ketika angin laut kembali berembus, aroma samar rambut terbakar tercium lagi dari arah dapur.*
Baca Juga
Disclaimer: Kisah ini hanya imajinasi tintanesia. Artinya kisah ini tidak nyata, sehingga jika ada nama dan lokasi yang sama, mohon dimaklumkan.
Penulis: Fau
