Ujian Menyembuhkan Hadiningrat
Tintanesia, Kisah Mistis
“Jika engkau ingin menolong manusia, maka sembuhkan dulu bagian dirimu yang masih ingin dipuji.”
Suara parau itu menggema dari balik kabut pagi. Di halaman padepokan yang sunyi, Hadiningrat berdiri tegap di hadapan seorang tua berjubah putih dengan janggut panjang keperakan. Mata Mbah Janggot memancarkan ketenangan yang menembus hati, namun sorotnya juga menyimpan ketegasan yang sulit dijelaskan.
“Raden,” katanya lirih namun tajam, “ilmu yang kau bawa dari perjalananmu panjang dan dalam. Tapi sebelum engkau menurunkan pengobatan kepada manusia, kau harus melewati tiga ujian.”
Hadiningrat menunduk hormat. “Guru, bukan karena aku ingin diuji, tetapi karena aku ingin mengenal batas antara kehendakku dan kehendak Tuhan.”
Mbah Janggot mengangguk perlahan. “Maka bersiaplah. Ujian pertama dimulai saat matahari terbit.”
Mentari baru muncul di balik bukit saat seekor kuda berlari kencang ke arah padepokan. Dari atasnya turun seorang lelaki muda dengan wajah panik. Di pelukannya, seorang perempuan pingsan, tubuhnya gemetar, bibirnya membiru.
“Guru! Tolonglah istri hamba,” serunya, suaranya pecah menahan tangis. “Ia mendadak dingin, matanya memutih, dan para tabib tak berani menyentuhnya.”
Mbah Janggot menatap Hadiningrat. “Inilah ujian pertamamu. Sembuhkanlah perempuan itu dengan caramu.”
Hadiningrat mendekati perempuan tersebut. Diletakkan tubuhnya di atas tikar pandan, kemudian ia memeriksa nadi dan nafas sangat pasien. Kulitnya dingin, seperti tubuh yang ditinggalkan ruhnya. Namun, Hadiningrat tahu bahwa kematian sejati hanya milik Allah.
Ia memejamkan mata, melafalkan Bismillahirrahmanirrahim dengan suara lirih. Tangannya terangkat, menelusuri udara di atas tubuh perempuan itu. Lalu dia mengambil air dalam kendi, membaca Al-Fatihah dan Ayat Kursi, meniupkannya perlahan.
Namun tak ada perubahan. Wajah perempuan itu tetap pucat.
Mbah Janggot berjalan mendekat. “Apakah kau yakin air itu yang menyembuhkan?”
Hadiningrat menatapnya ragu. “Air hanyalah media, Guru. Yang menyembuhkan hanyalah izin Allah.”
“Lalu mengapa engkau fokus pada caranya, bukan pada hatimu?”
Hadiningrat tertegun. Ia sadar, selama ini pikirannya masih terikat pada teknik doa yang benar, ayat yang tepat, cara meniupkan air yang sesuai. Namun ada yang ia lupa, yakni doa tanpa keikhlasan hanyalah kata-kata kosong.
Ia letakkan kendi itu, lalu bersujud di samping perempuan itu. “Ya Allah,” bisiknya, “jika Engkau berkehendak, hidupkanlah jasad ini agar menjadi saksi kasih-Mu. Bukan karena ilmunya Hadiningrat, tapi karena rahmat-Mu yang tak terhingga.”
Hening. Angin berhenti berdesir. Dalam diam itu, terdengar batuk kecil. Perempuan itu mengerjap, lalu membuka mata perlahan.
Hadiningrat meneteskan air mata. Lelaki muda itu menjerit gembira, mencium tangan Mbah Janggot, lalu sujud di kaki Hadiningrat. Namun Mbah Janggot segera menegurnya, “Jangan bersujud pada manusia, Nak. Dia hanyalah perantara.”
Mbah Janggot menatap Hadiningrat dalam-dalam. “Ujian pertama, lulus. Engkau telah menundukkan rasa ingin berkuasa dalam dirimu.”
Sore hari, Mbah Janggot memanggilnya ke tepi laut. Ombak menggulung lembut, langit memerah. Di sana duduk seorang nelayan tua dengan wajah legam dan mata kosong. Ia memegangi jaring robek di pangkuannya.
“Nelayan ini,” kata Mbah Janggot, “kehilangan anaknya di laut. Sejak hari itu, ia tak mau bicara. Tubuhnya sehat, tapi jiwanya lumpuh. Ujian keduamu, Raden, sembuhkan orang yang tidak ingin disembuhkan.”
Hadiningrat menatap lelaki itu. Tak ada luka di tubuhnya, hanya kehampaan di wajahnya.
Ia duduk di sebelahnya. Lama keduanya diam. Hanya suara ombak dan camar yang terbang rendah.
“Pak,” ujar Hadiningrat perlahan, “laut ini bukan musuhmu. Ia hanya jalan yang dipilih Tuhan untuk memanggil anakmu pulang.”
Lelaki itu tak bergerak.
Hadiningrat melanjutkan, “Anakmu tidak tenggelam. Ia berpindah tempat, dari dunia ke keabadian. Setiap kali ombak datang, itu tandanya ia menyapamu.”
Air mata jatuh di pipi tua itu. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, “Aku tak sanggup melupakan.”
Hadiningrat menatap lembut. “Jangan lupakan. Tapi jangan biarkan kenangan itu jadi rantai yang mengikatmu. Jadikan ia doa.”
Lelaki itu menggenggam jaringnya erat, lalu berkata pelan, “Aku ingin pulang.”
Mbah Janggot yang sejak tadi diam, tersenyum. “Ujian kedua selesai. Kau tidak mengubah takdirnya, tapi kau mengembalikan ruhnya pada kehidupan.”
Hadiningrat menunduk. “Guru, apakah semua penyembuhan seperti itu, yaitu, membangunkan jiwa, bukan menyentuh tubuh?”
Mbah Janggot menjawab tenang, “Ya, Raden. Sakit fisik hanyalah pintu menuju luka yang lebih dalam. Pengobatan sejati bukan pada tubuh, melainkan pada kesadaran manusia tentang makna hidup.”
Malam itu, di ruang meditasi, Mbah Janggot menyalakan pelita kecil. Cahayanya menari di dinding bambu. “Sekarang, ujian terakhir,” katanya. “Dan kali ini, engkau akan berhadapan dengan dirimu sendiri.”
Hadiningrat mengangkat wajah. “Dengan diriku, Guru?”
“Benar. Dalam ujian ini, tak ada pasien. Kau yang akan diuji, bukan tubuhmu, tapi hatimu.”
Ia menepuk lantai bambu. “Duduklah di sana, tutup matamu, dan dengarkan suara hatimu sampai engkau mendengar apa yang kau takutkan.”
Hadiningrat menuruti. Ia duduk bersila, menutup mata. Hening perlahan menelan ruang. Suara jangkrik lenyap, angin berhenti, bahkan detak jantungnya terasa jauh.
Tiba-tiba dari dalam pikirannya muncul bisikan, “Kau ingin disembah, Raden. Kau ingin dikenal sebagai penyembuh besar. Ilmumu bukan lagi ibadah, tapi keinginan untuk diakui.”
Bisikan itu keras, menusuk. Ia berusaha menepisnya, tapi suara itu semakin jelas. “Kau mengaku rendah hati, tapi diam-diam engkau ingin dunia tahu bahwa engkau murid para wali.”
Keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia gemetar. Lalu ia teringat wajah-wajah orang yang pernah ia tolong, ucapan terima kasih mereka, rasa bangga yang diam-diam ia nikmati.
“Benarkah aku ikhlas?” pikirnya. “Ataukah aku hanya menutupi kesombongan dengan doa?”
Hatinya terguncang. Ia hampir menyerah, tapi suara Mbah Janggot terdengar lembut di luar pikirannya, “Hadiningrat, jangan melawan bisikan itu. Dengarkan, pahami, lalu lepaskan.”
Ia menarik napas dalam. “Ya Allah,” bisiknya, “jika ada kesombongan dalam hatiku, keluarkanlah ia seperti Engkau mengeluarkan racun dari tubuh yang sakit.”
Air matanya jatuh. Dalam tangis itu, dadanya terasa ringan. Cahaya pelita seolah merasuk ke dalam kesadarannya. Ia melihat dirinya sendiri berdiri di tengah padang luas, lalu berlutut, dan berserah.
Ketika ia membuka mata, fajar telah menyingsing. Mbah Janggot masih duduk di tempat yang sama, senyum tenang di wajahnya.
“Ujian ketiga selesai,” kata sang guru. “Engkau kini tahu bahwa penyembuh terbesar adalah yang mampu menyembuhkan dirinya dari cinta dunia.”
Hadiningrat menunduk, suaranya bergetar, “Guru, kini aku mengerti. Ilmu pengobatan bukanlah cara menyembuhkan orang lain, tapi jalan untuk menundukkan hati sendiri.”
Hari berganti. Udara lembah Gresik Utara terasa segar. Burung-burung camar terbang di atas lautan. Mbah Janggot berjalan berdampingan dengan Hadiningrat menuju pelabuhan kecil tempat perahu nelayan bersandar.
“Raden,” ujar Mbah Janggot perlahan, “jalanmu setelah ini panjang. Engkau akan menemui orang-orang yang sakit bukan karena penyakit, tapi karena kehilangan arah hidup. Jangan ajari mereka ayat-ayat untuk menyembuhkan tubuh. Ajarkan mereka cara mencintai Tuhan dengan sabar.”
Hadiningrat mengangguk. “Apakah aku sudah layak disebut tabib ruhani, Guru?”
Mbah Janggot tersenyum, matanya lembut. “Belum. Karena penyembuh sejati tak pernah menyebut dirinya penyembuh.”
Hadiningrat terdiam. Kalimat itu menembus jantungnya lebih dalam daripada doa mana pun.
Mbah Janggot melanjutkan, “Kau telah belajar dari Kiai Mahfudz tentang air yang menyucikan, dan kini kau belajar dariku tentang hati yang menundukkan. Kelak, ilmu ini bukan untuk kebesaranmu, melainkan untuk melanjutkan rahmat Tuhan di bumi.”
Hadiningrat mencium tangan gurunya. “Guru, aku takut tidak mampu menjaga ilmu ini.”
“Tak perlu takut,” jawab Mbah Janggot lembut. “Selama kau ingat bahwa kesembuhan sejati datang dari-Nya, maka kau tak akan tergelincir.”
Keduanya berdiri menghadap laut. Ombak memantulkan cahaya mentari pagi. Seekor camar melintas, menandai keheningan yang indah.
Hadiningrat menatap cakrawala, lalu berkata lirih, “Guru, andai semua penyakit adalah pesan dari Tuhan, maka biarlah aku menjadi pembaca yang sabar.”
Mbah Janggot mengangguk. “Itulah hakikat penyembuh, Raden. Bukan menghapus rasa sakit, tapi membantu manusia membaca makna di baliknya.”
Hari itu Hadiningrat meninggalkan padepokan Mbah Janggot dengan hati lapang. Ia berjalan melintasi padang rumput yang masih diselimuti embun. Di pundaknya tergantung tas kulit lusuh berisi kitab doa dan segenggam garam laut dari Gresik, sebuah simbol dari guru pertamanya, Kiai Mahfudz.
Kini ujian sebenarnya akan dilaksanakan, yakni, hidup ditengah masyarakat hingga gurunya (Mbah Janggot) datang menjemputnya.*
Penulis: Fau
