Tiga Pengembara Ruhani Nusantara

Ilustrasi tiga tokoh spiritual Nusantara — Aryowirojo, Raden Hadiningrat, dan Aryo Helap — berjalan di jalan berkabut menuju cahaya mistis.
Ilustrasi tiga tokoh spiritual: Aryowirojo dari Sampang, Raden Hadiningrat dari Gresik, dan Aryo Helap dari pesantren gunung. Mereka menempuh perjalanan mistis menuju cahaya kebenaran. (Ilustrasi gambar dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia)

Tintanesia, Kisah Mistis

Tiga murid yang baru turun gunung dari puncak bukit seusai ditempa Kiyai Syahruzzain. Perjalanan menuju masing-masing guru tidak gampang, mereka menemui banyak masalah yang mengajari masing-masing lebih dewasa. Berikut kisahnya singkatnya.

Perjalanan Aryowirojo Menuju Kiai Manjeng di Desa Rajeh, Sampang

“Berhenti di situ, anak muda!” Suara berat menggema dari balik pepohonan yang diliputi kabut malam. Motornya mendadak dia berhentikan, seolah turut merasakan hawa aneh yang mengalir di udara. Di hadapannya, jalan setapak menuju Desa Rajeh Sampang tampak sunyi, namun tanahnya bergetar pelan seperti menyembunyikan napas makhluk tak kasatmata.

Aryowirojo turun perlahan, jubahnya tergerai ditiup angin lembab. “Siapa yang memanggil di waktu segelap ini?” tanyanya tenang, meski tangannya sudah siap merapal doa penjaga diri.

Dari kegelapan, muncul sosok renta berselendang lusuh, menenteng tongkat bambu. Wajahnya separuh tertutup kain kotor, namun mata tuanya berkilat aneh. “Tempat ini bukan untuk mereka yang membawa cahaya,” katanya, lirih tapi mengguncang dada.

Aryowirojo menatap tanpa gentar. “Jika cahaya menakuti kegelapan, maka aku justru harus melangkah ke dalamnya,” ujarnya pelan. Ia menutup mata, melantunkan Asma’ Nur Lathif, memancarkan aura lembut berwarna keemasan. Seketika, kabut hitam yang melingkupi jalan itu terurai seperti asap tersapu angin. Dari sela pepohonan, tampak bayangan hitam melengking kesakitan sebelum lenyap ke udara.

Orang tua itu menunduk, lalu menghilang bersama kabut terakhir. Hanya suara jangkrik yang tersisa, menandai malam yang kembali tenang. 

Aura Jahat di Perbatasan Rajeh

Setelah melaju berjam-jam, Aryowirojo tiba di batas Desa Rajeh. Udara di sana berat, pekat oleh energi kelam. Pohon-pohon pisang meliuk tak wajar, daun-daunnya bergetar tanpa angin. Dari kejauhan terdengar tangis samar perempuan, memanggil-manggil nama yang tak dimengerti.

Ia berhenti, lalu menggenggam tasbih batu hijau peninggalan gurunya. “Kiai Syahruzzain, bimbinglah hamba agar tidak buta oleh hawa jahat,” bisiknya lirih.

Langit mendung tiba-tiba memercik cahaya merah. Dari tanah berlumpur, muncul bayangan menyerupai tubuh manusia tanpa wajah. Mereka melingkari Aryowirojo, mengeluarkan suara mendengung.

“Makhluk tanpa nama... kembali ke asalmu!” serunya tegas. Tangan kanannya menelusuri udara, melukis huruf Ha, Nun, dan Lam dengan cahaya putih. Angin berputar cepat, menyedot seluruh bayangan itu masuk ke dalam pusaran nur yang memancar dari telapak tangannya.

Sesaat kemudian, bumi terdiam. Daun berhenti bergoyang, dan aroma wangi bunga kenanga menyelimuti udara. Desa Rajeh tampak lebih terang. Di kejauhan, terdengar suara ayam berkokok, tanda fajar mulai menyingkap malam. 

Pertolongan di Jalan Sunyi

Menjelang pagi, dia memberhentikan motornya ketika mendengar jeritan lirih. Setelah turun dari motornya, ia bergegas ke sumber suara dan menemukan dua lelaki berwajah kasar tengah menyeret seorang pemuda berpeci lusuh ke tepi jurang.

“Lepaskan! Aku hanya membawa hasil kebun untuk ibu!” teriak pemuda itu putus asa.

Salah satu perampok menamparnya keras. “Diam! Kau pikir bisa lewat jalan ini tanpa membayar upeti kami?”

Aryowirojo mendekat tanpa suara. Ketika salah satu bandit hendak menghunus pisau, ia menghentak tanah dengan kaki kananya. Seketika, tanah di bawah kaki para perampok memanas, membuat mereka menjerit sambil terhuyung. Pisau yang dipegang jatuh, dan udara bergetar oleh gema doa: “Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wa laa fis samaa...”

Kedua penjahat itu menunduk ketakutan, lalu lari terbirit-birit tanpa menoleh. Pemuda yang diselamatkan itu maju depan Aryowirojo. “Terima kasih, Tuan. Siapakah Anda?”

“Aku hanya pengembara yang sedang menunaikan janji pada guruku,” jawabnya sambil menepuk pundak sang pemuda. 

“Ingatlah, kejahatan tak akan lama berkuasa selama ada yang berani menegakkan kebenaran,” lanjut Aryowirojo. 

Pemuda itu menunduk dalam-dalam sebelum berlalu, meninggalkan jalan yang kini disinari cahaya lembut mentari pagi.

Ujian Sang Pengemis

Sore menjelang saat Aryowirojo tiba di pelataran rumah tua di ujung desa. Menurut kabar, tempat itu adalah kediaman Kiai Manjeng, ulama sepuh yang menguasai ilmu ghaib tingkat tinggi. Namun sebelum ia sempat mengetuk pintu, seorang pengemis tua datang tertatih, meminta air minum.

Aryowirojo segera menuangkan air dari botol yang dibawanya, “Silakan, Mbah. Rezeki takkan berkurang karena berbagi.”

Pengemis itu menatapnya tajam. “Kau datang untuk menimba ilmu ghaib, tapi tahukah kau apa makna ghaib itu?”

Aryowirojo tersenyum sopan. “Yang tak terlihat bukan berarti tak ada. Yang tak terdengar belum tentu hening. Ilmu ghaib hanyalah jendela menuju kesadaran hati.”

Pengemis itu terdiam lama, lalu menunduk. “Jika begitu, minumanku kuberikan padamu.” Ia menyerahkan kendi kecil berisi air bening. “Minumlah, dan lihatlah kebenaran di balik nama.”

Tanpa ragu, Aryowirojo meneguknya. Seketika pandangannya kabur, dan ketika kembali jernih. Pengemis itu telah berubah menjadi sosok berjubah putih bersorban hijau, dengan wajah bersinar tenang.

“Subhanallah…” Aryowirojo berlutut hormat. “Apakah ini...?”

“Benar,” ujar sang pria dengan senyum lembut. “Aku Kiai Manjeng.”

Pertemuan Dua Cahaya

Kiai Manjeng menatap murid barunya dengan mata penuh makna. “Kau telah melalui jalan yang dihampari kegelapan dan tetap membawa cahaya. Itu ujian pertama.”

Aryowirojo menunduk. “Hamba hanya mencoba berjalan di atas amanah guru.”

Sang Kiai mengelus janggutnya pelan. “Ilmu ghaib bukan tentang kekuatan menundukkan makhluk, tetapi kemampuan menundukkan nafsu sendiri. Kau akan belajar melihat tanpa mata, mendengar tanpa telinga, dan memahami tanpa suara. Hanya mereka yang bening hatinya yang dapat menampung rahasia langit.”

Angin sore meniup lembut daun kelapa di halaman. Suasana hening, namun penuh keagungan. Kiai Manjeng lalu menepuk bahu Aryowirojo, mengalirkan hawa sejuk seperti embun subuh.

“Mulailah dari malam ini,” katanya pelan. “Bersucilah di sumur belakang, lalu duduk di serambi timur. Bila kau benar-benar siap, cahaya ghaib akan datang menghampirimu tanpa kau memanggilnya.”

Aryowirojo menatap sang guru dengan penuh takzim. “Insya Allah, hamba siap.”

Kiai Manjeng tersenyum tipis. “Maka berjalanlah, wahai penempuh cahaya. Karena ilmu sejati bukanlah untuk dilihat orang lain, melainkan untuk menerangi hatimu sendiri.”

Perjalanan Raden Hadiningrat Menuju Mbah Janggot di Gresik Utara

“Berhenti di situ, wahai pengembara!”

Teriakan lantang memecah udara sore yang dipenuhi debu jalanan. Raden Hadiningrat menghentikan langkahnya, menatap lurus ke arah enam lelaki bersenjata golok yang berdiri melintang di jalan setapak menuju Gresik Utara. Angin laut membawa aroma asin yang bercampur bau keringat dan ketegangan.

Pemimpin perampok itu menepuk dadanya sambil menatap sombong. “Tidak ada yang boleh lewat tanpa memberi upeti di jalan ini!”

Hadiningrat menghela napas pelan. “Aku tidak membawa harta. Hanya ilmu dan niat baik,” ucapnya tenang, suaranya seolah menenangkan udara yang semula bergetar oleh ancaman.

Namun para bandit itu tak gentar. Salah satu di antara mereka melangkah maju, mengangkat pedang tinggi-tinggi. Tepat saat senjata itu hendak meluncur, Hadiningrat memejam matanya setengah detik.

“Bismillahi nurin min nurillah…”

Tanah di sekitar mereka bergetar. Hembusan angin berputar membentuk pusaran cahaya kebiruan. Para perampok terpental beberapa langkah, senjata mereka terlepas, dan tubuh-tubuh itu tergeletak lemas tanpa luka.

“Pergilah sebelum gelap,” ujar Hadiningrat lembut. “Semoga kalian menemukan jalan rezeki yang tidak mencuri ketenangan orang lain.”

Mereka menatap heran, lalu kabur tanpa menoleh. Hadiningrat kembali melangkah perlahan menuju Gresik, hatinya tetap tenang seperti air yang tak bergelombang.

Kedatangan di Desa Pesisir

Menjelang petang, Hadiningrat tiba di sebuah dusun pesisir yang ramai. Di tengah kerumunan warga, ia melihat sosok berjubah putih sedang duduk di bawah pohon kelapa. Pria itu dikelilingi orang-orang yang mengantre membawa air, batu, dan kain putih.

“Apakah itu pengobatan?” tanya Hadiningrat pada seorang warga yang berdiri di dekatnya.

“Betul, Tuan,” jawab si lelaki sambil tersenyum. “Kiai Mahfudz namanya. Beliau bisa menyembuhkan penyakit hanya dengan doa dan tetesan air laut yang dicampur pasir putih.”

Hadiningrat menatap penuh rasa ingin tahu. Di hadapannya, sang Kiai menengadahkan tangan ke langit, berzikir pelan. Setelah membaca doa, beliau meniup air dalam tempayan kecil dan menyerahkannya pada seorang ibu yang tampak lesu. Beberapa menit kemudian, wajah perempuan itu berubah cerah, nafasnya membaik, dan suaranya mulai pulih.

Fenomena itu membuat Hadiningrat terdiam. Ilmu pengobatan dengan media laut? pikirnya dalam hati. Aneh, tapi penuh makna jika bersumber dari keyakinan yang benar.

Kiai Mahfudz menatapnya dari kejauhan, seolah mengetahui isi pikirannya. Beliau tersenyum ramah dan berkata, “Silakan singgah ke langgarku malam ini, Tuan. Setiap pejalan membawa cerita, dan setiap ilmu akan menemukan saudara.”

Malam di Langgar Pantai

Langit Gresik malam itu berkilau dengan bintang yang seakan menunduk mendengar lantunan ayat-ayat suci. Di langgar kecil beratap daun rumbia, Hadiningrat duduk berdampingan dengan Kiai Mahfudz.

“Ilmu penyembuhan yang panjenengan amalkan… tampak unik,” ujar Hadiningrat sopan. “Apakah itu ajaran tarekat tertentu?”

Kiai Mahfudz tersenyum. “Air laut adalah ayat yang terhampar. Ia menyembuhkan bukan karena garamnya, melainkan karena ketaatan pada perintah Pencipta. Kami hanya membaca ayat yang tertulis pada ombak.”

Kata-kata itu membuat Hadiningrat tertegun. “Indah sekali. Setiap elemen alam menjadi pengingat bagi yang mau berpikir.”

Kiai Mahfudz mengangguk pelan. “Benar, Raden. Namun ingatlah, ilmu tanpa rendah hati akan menjadi racun. Kadang manusia lebih sakit oleh kesombongan dibanding oleh penyakit jasmani.”

Percakapan mereka berlanjut hingga malam menua. Ketika waktu tahajud tiba, Kiai Mahfudz menatap Hadiningrat dalam-dalam. “Perjalanan Tuan belum selesai. Di utara lembah, ada seorang tua berjanggut panjang yang menunggu. Namanya Mbah Janggot. Beliau tahu apa yang panjenengan cari.”

Hadiningrat menatapnya heran. “Dari mana Kiai tahu tujuanku?”

Kiai Mahfudz hanya tersenyum samar. “Orang yang membawa cahaya tidak dapat menyembunyikannya, Raden.”

Perjalanan ke Utara

Pagi berikutnya, Hadiningrat melanjutkan perjalanan menuju lembah Gresik Utara. Langit berwarna keperakan, dan aroma laut menyertai langkahnya. Jalan setapak menurun ke lembah dipenuhi kabut tipis. Sesekali terdengar suara burung alap-alap melintas cepat di atas kepala.

Saat tiba di pinggir lembah, ia melihat gubuk kayu sederhana berdiri di antara batu-batu karang. Asap tipis mengepul dari cerobong bambu. Dari dalam, terdengar suara batuk ringan disertai lantunan wirid yang lembut.

Hadiningrat melangkah perlahan, mengetuk pintu pelan. “Assalamu’alaikum warahmatullah…”

Pintu terbuka. Seorang lelaki tua dengan janggut panjang menjuntai, mengenakan sorban hijau dan mata teduh menyambutnya. “Wa’alaikumussalam, wahai tamu yang sudah dinanti.”

Hadiningrat menunduk hormat. “Apakah ini kediaman Mbah Janggot?”

“Benar,” jawabnya sambil tersenyum. “Dan aku sudah mendengar namamu dari angin timur semalam.”

Hadiningrat terkejut. “Dari angin timur?”

Mbah Janggot mengangguk. “Ya, adikku yang tinggal di pesisir mengirim kabar melalui dzikirnya.”

“Adik?” tanya Hadiningrat penuh tanda tanya.

Lelaki tua itu duduk di bangku bambu, tertawa kecil. “Kiai Mahfudz. Beliau adikku. Kami sama-sama belajar dari guru yang sama, tapi menempuh jalan berbeda. Ia menyembuhkan lewat air, aku lewat doa yang menembus urat sakit.”

Hadiningrat tersenyum takjub. “Subhanallah, ternyata dua cahaya bersaudara menebar kebaikan di Gresik.”

Wejangan di Lembah Sunyi

Mbah Janggot menatap tajam namun penuh kasih. “Raden, Kiai Syahruzzain mengirimmu untuk menuntut ilmu penyembuhan, bukan untuk menjadi tabib. Pengobatan sejati bukan mengobati tubuh, melainkan menenangkan jiwa yang gelisah.”

Beliau menepuk dada sendiri. “Sumber penyakit manusia ada di sini. Jika hati jernih, tubuh mengikuti. Doa bukan mantra, melainkan jalan untuk menyatukan kehendak makhluk dengan kehendak Tuhan.”

Hadiningrat menyimak setiap kata dengan takzim. Dalam hatinya terbit rasa syukur mendalam. Benar kata guru, ilmu sejati adalah ketundukan hati.

Mbah Janggot lalu mengambil kendi air dan menyerahkannya. “Ambillah ini. Air ini telah dibacakan tujuh puluh ayat syifa’. Minumlah dengan asma' sejati ning urip.”

Setelah itu, mereka tenggelam pada kalimat Allah yang Maha Suci.

Perjalanan Aryo Helap Menuju Pondok Pesantren

“Hentikan langkahmu! Siapa engkau sebenarnya?”

Suara keras itu memecah keheningan sore di halaman pondok pesantren tua yang berdiri di antara kebun bambu. Aryo Helap menatap sumber suara itu dengan tenang. Beberapa ustad muda berdiri berjejer di hadapannya, wajah mereka tegang dan penuh curiga.

Salah seorang di antaranya, berjubah cokelat tua, menunjuk dengan ujung tongkat. “Nama yang kau sebutkan tidak tercatat di daftar tamu pondok ini. Kami tidak menerima santri dari luar tanpa surat rekomendasi. Apalagi.." suaranya merendah namun mengandung ancaman, “..orang asing yang datang membawa tongkat bertuliskan Asma’ Rahasia.”

Hembusan angin berputar lembut di antara daun bambu. Suara gesekan ranting terdengar seperti bisikan. Aryo Helap menunduk hormat, nada bicaranya tenang. “Aku datang bukan untuk menantang, melainkan untuk menuntut ilmu. Bila dirasa tidak layak, aku rela disuruh pergi.”

Namun tatapan penuh curiga belum juga mereda. Seorang ustad lain menambahkan, “Banyak mata-mata dari aliran hitam yang menyusup belakangan ini. Mereka menyamar sebagai penuntut ilmu untuk memecah ketenangan pesantren.”

Ujaran itu disambut anggukan. Dua santri penjaga pintu menghalangi jalan masuk. Meskipun demikian, senyum di wajah Aryo Helap tidak hilang. Ia hanya membungkuk sopan, lalu melangkah perlahan menuju serambi masjid tanpa protes.

Hari-Hari di Pondok, Antara Ujian dan Kesabaran

Hari berganti, namun suasana curiga belum mereda. Santri-santri lain memperlakukan Aryo Helap dengan dingin. Ketika sedang menyapu halaman, beberapa anak muda dengan serban lusuh menertawakan caranya bekerja.

“Santri baru yang sok suci!” ejek salah seorang.

Yang lain menimpali, “Katanya dia ahli ilmu ghaib, tapi disuruh membersihkan jamban saja masih kikuk!”

Tawa mereka pecah, namun Aryo Helap tetap diam. Ia terus membersihkan lantai, mengusap setiap debu dengan hati yang lapang.

Malam harinya, di kamar sempit yang hanya beralaskan tikar pandan, ia duduk bersila sambil membaca wirid lembut. Cahaya lampu minyak menyorot wajahnya yang teduh. “Ya Allah, ajarilah hamba menahan diri, sebagaimana Engkau menahan langit agar tidak jatuh ke bumi tanpa izin-Mu,” bisiknya lirih.

Keesokan paginya, ketika para ustad mengajar kitab Nahwu di serambi utama, Aryo Helap duduk di barisan paling belakang. Salah satu guru menunjuknya tiba-tiba.

“Santri baru! Jelaskan bentuk fi’il dari daraba!”

Aryo Helap berdiri, menjawab pelan namun tegas. “Daraba, yadhribu, dharban. Bentuk fi’il madhi, mudhari’, dan mashdar, guru.”

Beberapa santri menoleh heran. Jawaban itu sempurna, bahkan nadanya seimbang. Namun ustad yang menguji justru mendengus kecil. “Kau hafal, tapi belum tentu paham makna hakikatnya,” katanya dingin.

Aryo Helap hanya tersenyum. “Ilmu hanya akan bernilai bila disertai keikhlasan, bukan sekadar hafalan.” Ucapan itu membuat suasana mendadak hening.

Pertemuan Tak Terduga

Pada hari ketujuh, kabar tersebar bahwa Kiai Syahruzzain akan datang mengunjungi pondok. Sejak subuh, para santri sibuk membersihkan halaman, sementara para ustad menyiapkan penyambutan di gerbang depan.

Ketika matahari mulai naik, tampak seorang lelaki tua bersorban putih turun dari kuda hitam. Wajahnya teduh, sorot matanya dalam menembus jiwa. Semua orang berlari menghampiri, memberi salam dengan penuh hormat.

Namun langkah Kiai Syahruzzain justru terhenti di depan Aryo Helap yang tengah menimba air di sumur. Sang guru memandangnya lama, lalu berkata lembut namun berwibawa, “Engkau sudah tiba lebih dahulu dari seharusnya, wahai muridku.”

Seluruh pandangan langsung beralih. Para ustad yang semula menuduh, kini saling berpandangan panik. Suara Kiai Syahruzzain begitu jelas menggema di halaman.

“Beliau adalah Aryo Helap,” lanjut sang Kiai. “Salah satu murid pilihan yang pernah ditempa di lembah Syahruzzain. Ilmunya tinggi, tetapi kerendahan hatinya lebih tinggi lagi.”

Wajah para pengajar berubah pucat. Mereka segera menunduk. Sementara santri-santri yang dulu mencibir kini terpaku, tak berani bicara.

Kiai Syahruzzain memutar pandangannya ke arah para ustad. “Ilmu tanpa adab hanyalah kehampaan. Kalian telah menguji seseorang yang hatinya lebih jernih daripada sumur di belakang pesantren ini.”

Suasana hening. Angin sore menyapu dedaunan, seolah turut menegur mereka yang lalai.

Ilmu yang Menembus Hati

Sejak hari itu, suasana pondok berubah. Para ustad justru belajar langsung kepada Aryo Helap. Kitab Hikam, Fathul Qorib, Tafsir Jalalain, hingga Tafsir Yasin dibaca, bukan lagi sebagai ajaran formal, melainkan perjalanan batin.

Setiap penjelasan dari Aryo Helap tidak hanya membahas makna zahir, tetapi juga rahasia di balik kalam. “Setiap huruf adalah napas rahmat,” katanya suatu malam, “dan setiap titik di huruf Ba mengandung cermin diri manusia yang menunduk kepada Sang Pencipta.”

Para santri yang mendengarkan tertegun. Tak satu pun berani berbicara, seolah setiap kalimatnya menembus dada mereka.

Di sela-sela kesibukan siang, Aryo Helap tetap menjalani tugas sebagai pelayan pondok, yakni membersihkan halaman, membantu dapur, bahkan mengobati santri yang demam dengan ramuan daun bidara. Semua dilakukan tanpa pamrih.

Ritual Malam di Puncak Gunung

Menjelang malam, ketika semua penghuni pesantren terlelap, Aryo Helap meninggalkan pondok dengan langkah ringan. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Bulan menggantung di langit, menebarkan cahaya perak di antara pepohonan.

Perjalanan menuju puncak gunung memakan waktu hampir dua jam. Di sana, di bawah batu besar yang menyerupai kubah, Kiai Syahruzzain telah menunggu.

“Duduklah, Helap,” ujar sang guru pelan. “Malam ini engkau akan menempuh latihan hakikat Al-Qur’an. Bukan untuk membaca hurufnya, tapi untuk mendengar maknanya berbicara dalam dirimu.”

Aryo Helap bersila, menunduk penuh takzim. Angin gunung berhembus lembut, membawa aroma bunga liar dan tanah lembab.

Kiai Syahruzzain mengangkat tangannya ke langit. “Al-Qur’an adalah cahaya yang turun ke hati, bukan ke mata. Siapa yang mampu menahan kesombongan, maka baginya terbukalah pintu rahasia Nur Kalamullah.”

Cahaya tipis keemasan memancar di sekitar tempat mereka duduk. Suara zikir menggema, mengisi ruang antara bumi dan langit. Aryo Helap memejamkan mata, merasakan setiap huruf suci menyatu dengan detak jantungnya.

Pagi menjelang. Saat fajar menyingsing di balik gunung, Aryo Helap membuka mata. Hatinya dipenuhi kedamaian yang sulit dilukiskan. Dari kejauhan, pondok pesantren tampak kecil di antara kabut, tetapi sinar mentari yang jatuh ke atapnya terasa begitu suci.*

Penulis: Fau

Posting Komentar