Pertempuran Terakhir di Lembah Gelap
![]() |
| Ilustrasi tiga pendekar cahaya melawan aliran hitam di Lembah Gelap. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia) |
Tintanesia, Kisah Mistis
“Langit di atas Gunung Lawang itu… hitam, Raden. Seolah menunggu darah manusia.” Suara itu keluar dari bibir Aryo Helap, parau namun dalam. Obor di tangannya bergetar tertiup angin dingin. Di sebelahnya, Raden Hadiningrat berdiri tegap, bersorban putih, menatap kabut yang menutup lembah seperti kain kafan.
“Waktunya sudah tiba, Aryo. Kegelapan itu menunggu kita.” Dari sisi kanan, Aryowirojo mengangguk perlahan sambil meraba gagang keris yang tergantung di pinggangnya. Sekilas petir menyambar langit, memperlihatkan bayangan tiga sosok pendekar berdiri sejajar di puncak bukit. Malam itu bukan malam biasa, tetapi malam akhir perjalanan mereka.
Panggilan dari Kiai Syahruzzain
Beberapa malam sebelumnya, di tengah keheningan dzikir, ketiganya yang berasa di tempat berbeda mendengar suara batin yang lama tak terdengar. Suara Kiai Syahruzzain, guru mereka, bergema di dalam hati masing-masing, begitu lembut tapi menggetarkan jiwa, “Anak-anakku… di Lembah Gelap, aliran hitam telah bangkit kembali. Mereka menyeru iblis untuk menyesatkan umat. Pergilah kalian bertiga, sebelum semuanya binasa.”
Suara itu tak hanya terdengar di telinga, melainkan bergetar hingga ke dasar dada. Tanpa perlu banyak bicara, ketiganya tahu, tugas terakhir telah datang. Pagi berikutnya mereka berangkat, membawa doa, ilmu, dan keyakinan, menuju arah timur ke lembah yang tak pernah tersentuh cahaya matahari.
Desa yang Membeku dalam Ketakutan
Desa Lawangwetan yang mereka tuju tampak seperti negeri tanpa kehidupan. Rumah-rumah berdiri tanpa cahaya. Pintu tertutup, jendela terkunci. Angin membawa aroma anyir bercampur belerang. Seekor ayam berkokok di tengah malam, pertanda buruk bagi orang Jawa yang masih memahami isyarat alam.
Raden Hadiningrat berjongkok, mencium tanah. “Bau ini bukan alami. Ini tanah yang dioles darah dan abu dupa. Mereka membuat perjanjian di sini,” ujarnya pelan.
“Benar,” sahut Aryo Helap, matanya tajam memandangi arah utara. “Aku bisa merasakan hawa makhluk halus yang dipanggil paksa. Mereka belum sepenuhnya terikat.”
“Dan itu berarti,” sambung Aryowirojo, “ritualnya belum selesai.”
Dari ujung jalan muncul seorang kakek dengan tongkat bambu. Wajahnya tirus, matanya sayu. “Kalian bertiga… murid Syahruzzain, bukan?”
“Benar, Mbah. Kami datang karena panggilan beliau,” sahut salah satu dari mereka.
“Kalau begitu cepatlah. Di balik bukit utara ada gua tua. Di sanalah mereka menyalakan api iblis.”
Menuju Gua Pengikat Roh
Perjalanan menuju gua terasa aneh. Pepohonan bergerak sendiri, seolah hidup. Suara-suara samar terdengar dari balik semak. Ada ratapan, tawa, bahkan lantunan doa terbalik. Langit meneteskan gerimis halus yang beraroma belerang.
“Aryo, jangan lengah,” ucap Raden Hadiningrat, matanya menyipit.
“Aku tak pernah lengah, Raden. Hanya bersiap jika cahaya padam,” jawab Aryo Helap lirih.
Aryowirojo menarik napas panjang, “Kegelapan tidak datang dari luar, tapi dari hati yang lupa kepada Tuhan.”
Ketiganya melangkah semakin dalam, hingga akhirnya terlihat mulut gua besar, dari dalamnya keluar nyala api hijau kebiruan yang menari di udara.
Di tengah gua, tiga orang berpakaian hitam duduk bersila mengitari lingkaran api. Tengkorak-tengkorak kecil tergantung di atas kepala mereka. Seekor ular raksasa melingkar di tengah, sisiknya berkilau seperti besi panas.
“Mereka bukan manusia biasa,” gumam Aryowirojo.
“Dan ular itu penjaga perjanjian setan,” tambah Aryo Helap, menggenggam pedang berhulu gading.
“Kita tak punya waktu lagi.” kata Raden Hadiningrat tegas.
Pertempuran Cahaya dan Kegelapan
Ledakan pertama mengguncang gua ketika Aryo Helap meluncurkan jurus Angkasa Pamungkas. Cahaya biru dari pedangnya menghantam tanah, menghapus sebagian lingkaran ritual. Salah satu pemuja iblis menjerit, namun dua lainnya menangkis dengan cambuk api.
“Kalian pikir cahaya bisa mengalahkan darah setan? Kami telah berjanji pada penguasa hitam!” teriak salah satu dari mereka.
“Janji kalian hanya membawa neraka!” balas Raden Hadiningrat lantang.
Dari tangannya memancar sinar putih membentuk kaligrafi Laa Ilaaha Illallaah. Sinar itu menembus dada para pemuja, namun ular penjaga justru semakin marah. Ia menjerit panjang, lalu melompat, menghantam dinding gua hingga batu beterbangan.
Tiba-tiba, dari balik asap, muncul sosok tinggi dengan mata merah, membawa tongkat bertengkorak. Dialah Si Mata Hitam, pemimpin aliran sesat yang selama ini diburu. “Kalian murid Syahruzzain? Sudah seharusnya kalian menyusul gurumu ke tanah!” Ia menghentakkan tongkat ke tanah. Dari bumi, muncul wajah-wajah manusia menjerit, berubah menjadi asap hitam yang menggulung ke arah mereka bertiga.
Doa yang Menggetarkan Langit
Raden Hadiningrat berdiri tegak di tengah pusaran asap. Suaranya bergetar namun mantap, “Yaa Rabb, kuatkan hamba-Mu dalam kebenaran. Jangan biarkan cahaya-Mu padam.”
Langit gua mendadak terbuka. Angin berhenti berembus. Api padam seketika. Cahaya putih turun dari atas, menyelimuti tubuh mereka bertiga.
Suara Kiai Syahruzzain menggema lembut di udara:
“Raden Hadiningrat, Aryo Helap, Aryowirojo… ini ujian terakhir. Satukan iman, satukan niat. Karena cahaya sejati lahir dari kesatuan hati.”
Ketiganya memejamkan mata. Aryo Helap menurunkan pedang, Aryowirojo mengangkat keris Naga Kembar, dan Raden Hadiningrat merapatkan tangan, membentuk mudra doa. Dari tubuh mereka keluar tiga sinar putih, biru, dan emas, bersatu membentuk pusaran raksasa yang berputar di udara.
“Allahu Akbar!”
Pusaran cahaya itu meledak, menghantam Si Mata Hitam beserta pengikutnya. Jeritan mereka memekakkan telinga, tubuh meleleh, tongkat tengkoraknya hancur menjadi abu. Si ular raksasa menjerit terakhir kalinya sebelum tubuhnya runtuh menjadi debu.
Lembah yang Kembali Bernapas
Pagi menyapa perlahan. Kabut yang menyelimuti desa mulai sirna. Burung-burung berkicau, dan aroma tanah basah menggantikan bau belerang. Penduduk keluar dari rumah, menatap tiga sosok pendekar berdiri di tengah jalan dengan wajah letih namun tenang.
Seorang ibu mendekat sambil membawa kendi air. “Nak, apakah semua ini sudah berakhir?”
“Sudah, Bu. Tapi jangan berhenti berdoa. Karena hanya dzikir yang menjaga dunia dari gelap.” jawab Raden Hadiningrat lembut.
Dari kejauhan, sinar matahari pertama memantul di kubah pesantren tua. Seolah alam bersujud dalam diam, menyaksikan kemenangan cahaya atas kegelapan.
Pesan Terakhir dari Kiai Syahruzzain
Malam itu, mereka bertiga kembali ke pesantren. Di serambi, Kiai Syahruzzain telah menunggu dengan jubah putihnya yang berkilau diterpa sinar bulan. “Kalian telah menuntaskan amanat terakhir, anak-anakku.”
Ketiganya menunduk dalam.
“Kiai, apakah kegelapan akan bangkit lagi?” tanya Aryowirojo.
“Selama manusia masih memiliki nafsu, bayangan takkan pernah hilang. Tapi jangan khawatir, selagi ada hati yang berdzikir, cahaya takkan padam.”
Mereka bertiga duduk bersama sang guru hingga fajar. Tidak ada lagi bicara tentang perang, hanya zikir lembut yang menyatu dengan suara jangkrik malam.
TAMAT
Penulis: Fau
