Penempa Asma’ Pendekar

Ilustrasi tiga pendekar sakti Jawa—Raden Hadiningrat, Aryowirojo, dan Aryo Helap—bertarung melawan sosok misterius bercaping hitam di jalan berkabut dengan pancaran energi mistik berwarna emas, biru, dan hijau.
Ilustrasi pertarungan Raden Hadiningrat, Aryowirojo, dan Aryo Helap melawan sosok misterius bercaping hitam di batas Jombang. Ini adegan awal kisah “Penempa Asma’ Pendekar”. (Ilustrasi gambar dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia.)

Tintanesia, Kisah Mistis

“Tahan langkahmu, Raden Hadiningrat!” Suara berat itu meluncur bagai petir dari kegelapan. Bayangan berkerudung caping hitam, berdiri tegak di tengah jalan tanah yang basah oleh embun malam. Kereta kuda mereka mendadak berhenti. Kuda-kuda meringkik, udara bergetar, dan cahaya bulan terpantul di sebilah keris berukir rajah kuno yang digenggam sosok misterius itu.

Aryowirojo menurunkan langkah dari kereta, matanya tajam menelisik setiap gerak. Di sisi lain, Aryo Helap sudah bersiaga dengan tangan kanan menyalurkan hawa putih yang menari lembut di sela jari.

Sementata Raden Hadiningrat, dengan napas tenang, menatap ke depan tanpa gentar. “Siapakah engkau yang menghadang perjalanan orang yang menuju ziarah?” tanyanya lembut namun berwibawa.

Bayangan itu tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu menghentakkan ujung tongkatnya ke tanah. Seketika udara bergetar, daun-daun beterbangan, dan dari balik kegelapan muncul lingkar cahaya berwarna ungu pekat. Angin menyalak, dan dari pusaran itu muncul bayangan buram, menyerupai harimau bertanduk dua.

Aryo Helap bergerak pertama. Satu hentakan kakinya membelah tanah, lalu tangan kirinya menorehkan garis cahaya membentuk perisai doa. “Bismillah al-‘Azhim...” gumamnya pelan. Benturan pertama terjadi. Suara dentumannya seperti petir menyambar langit. Tenaga dalam dua arah itu bertemu, menimbulkan gelombang yang membuat pepohonan bergetar hingga dedaunan luruh.

Raden Hadiningrat segera menyilangkan kedua tangannya, menyalurkan tenaga suci dari Asma’ul Qudus yang ia pelajari dari guru lamanya. Tubuhnya bersinar lembut, bukan karena kemarahan, melainkan kasih yang memancar dari hati yang berserah. Bayangan harimau itu hancur perlahan, menguap menjadi kabut. Namun sosok bercaping hitam masih berdiri, kali ini menatap mereka dengan mata bening penuh wibawa.

“Cukup.”
Suaranya berubah, tenang dan dalam. “Aku Kiai Syahruzzain.” kalimat itu muncul dari sosok berjubah hitam.

Tiga pendekar itu segera menunduk, menyadari siapa yang mereka hadapi. Raden Hadiningrat melangkah maju, menangkup kedua tangannya di dada sebagai tanda hormat. “Maafkan kami, Kiyai. Kami tak tahu bahwa yang menanti di batas Jombang adalah panjenengan.”

Kiai Syahruzzain tersenyum samar, kemudian berucap, “ujian kecil diperlukan sebelum ilmu diturunkan. Hanya hati yang jernih yang mampu menahan benturan cahaya tanpa menjadi buta.”

Dia menatap ketiganya satu per satu. “Mari, kita ke Kepadepon. Sudah tiba waktunya kalian ditempa, bukan hanya oleh ilmu, tetapi oleh takdir.”

Ke Padepokan Tua

Perjalanan menuju ke padepokan berlangsung sunyi. Hanya derap kuda dan suara jangkrik mengisi udara. Tempat itu terletak di lembah kecil, diapit dua bukit, dengan sebuah surau tua beratap rumbia di tengahnya. Di sana, lampu minyak menyala redup, menebarkan aroma kayu gaharu yang menenangkan.

Setibanya di dalam, Kiai Syahruzzain duduk bersila di hadapan tungku tanah liat yang menyala lembut. Tiga pendekar itu ikut duduk menghadap beliau, menunggu wejangan.

Kiai Syahruzzain menatap nyala api, lalu bersuara pelan namun menggema di dada, “Anak-anakku, ilmu sejati bukan di tangan, bukan pula di kepala. Ia bersemayam di hati yang tunduk. Siapa yang menempanya dengan kesombongan, akan membakar dirinya sendiri. Namun siapa yang menempanya dengan dzikir, ia akan menjadi cahaya di kegelapan.”

Aryowirojo menunduk khusyuk. Dari wajahnya memancar ketenangan seorang yang siap menerima beban besar. Kiai Syahruzzain kemudian memandangnya dalam-dalam.
“Wirojo, engkau bukan lagi murid biasa. Waktumu tiba untuk sowan kepada Kiai Manjeng di Desa Rajeh, Sampang. Di sana, engkau akan menimba ilmu Ghaib Khusus, ilmu yang hanya bisa diterima mereka yang mampu melihat tanpa mata.”

Aryowirojo menatap dengan rasa hormat. “Apakah itu ilmu tabir, Kiyai?”
“Bukan tabir semata,” jawab sang guru. “Itu ilmu yang mengajarkanmu mendengar doa pepohonan dan memahami isyarat langit. Kiyai Manjeng akan menuntunmu, tetapi hatimu sendiri yang akan menjadi kitabnya.”

Kiai Syahruzzain kemudian menatap Aryo Helap. “Engkau, Helap, harus menetap di Jombang sementara. Di sinilah dirimu akan dibentuk menjadi pendekar pilih tanding. Akan ada santri-santri yang memerlukan bimbinganmu, dan dalam membimbing mereka, engkau akan mengenal kekuatan sabar.”
Aryo Helap mengangguk, “Sabar adalah separuh dari ilmu, Kiai.”
Kiai Syahruzzain tersenyum, “Benar. Dan separuh lainnya adalah kasih.”

Lalu pandangannya beralih pada Raden Hadiningrat. “Sedangkan engkau, Raden, mesti menemui Mbah Janggot di lembah daerah Gresik utara. Ia bukan ulama biasa. Ia penempa Asma’, pembentuk energi kalimat suci menjadi daya penyembuh. Dari dialah engkau akan belajar bagaimana mengobati luka dengan lafaz dan menundukkan racun dengan doa. Itu jalanmu sebagai tabib jiwa.”

Raden Hadiningrat menunduk dalam. “Perintah akan hamba laksanakan.”

Wejangan di Bawah Cahaya Api

Kiai Syahruzzain menambah kayu pada tungku, lalu berkata lirih, “Tiga tahun lagi, badai ilmu akan datang. Para pendekar dari aliran hitam akan muncul membawa kebencian dan tipu daya. Mereka bukan sekadar manusia berilmu, tapi ruh-ruh keserakahan yang menjelma dalam tubuh manusia. Mereka akan berusaha menodai keseimbangan bumi Nusantara.”

Ketiganya terdiam. Hanya bunyi kayu terbakar yang terdengar.

“Karena itu,” lanjut beliau, “setiap dari kalian harus memperdalam ilmu bukan untuk berperang, tapi untuk menegakkan cahaya. Ketika gelap datang. Ingat, cahaya sejati tidak menyerang, namun hanya menerangi.”

Kata-kata itu bagai gemuruh yang menggugah jiwa. Aryowirojo menatap api dan melihat bayangan masa depan seperti desa-desa terbakar, manusia berlari ketakutan, dan langit memerah. Tapi di balik itu, ia juga melihat sinar kecil di tengah kegelapan, sinar yang berasal dari hati orang beriman.

Kiai Syahruzzain menoleh pada mereka dan berujar, “Ilmu adalah amanah. Barang siapa menyalahgunakannya, niscaya akan disesatkan oleh kebanggaan. Maka tempa diri kalian bukan untuk kuasa, tapi untuk melindungi mereka yang tak berdaya.”

Aryo Helap berkata lirih, “Bagaimana kami mengenali pendekar dari aliran hitam itu kelak, Kiai?”
“Tidak dari pakaian, tidak dari ucapannya. Tapi dari hawa yang ia tebarkan. Jika engkau merasa hatimu gelisah tanpa sebab di hadapan seseorang, berhati-hatilah. Kegelapan mengenakan wajah kebajikan untuk menipu.”

Raden Hadiningrat menatap Kiai Syahruzzain dengan kerendahan hati. “Apakah kami bertiga akan dipertemukan kembali setelah masa itu tiba?”
Kiai Syahruzzain menatapnya lembut, “Takdir akan mempertemukan mereka yang tulus. Tetapi ingat, jalan cahaya selalu berliku. Jangan mencari sahabat dengan mata, temuilah mereka dengan hati.”

Malam Penempaan

Malam itu, tiga pendekar menjalani ritual penempaan Asma’. Kiai Syahruzzain menyiapkan kendi tanah berisi air zamzam, sepotong batu hitam dari Mekah, dan selembar kain putih bertuliskan kalimat tauhid. Mereka diminta duduk bersila, membaca dzikir tanpa suara, membiarkan nama-nama suci Allah berputar di dalam dada.

Angin berhenti berhembus. Udara menjadi bening. Dari tubuh masing-masing muncul sinar halus berwarna berbeda. Yaitu emas dari Hadiningrat, biru muda dari Aryowirojo, dan hijau zamrud dari Aryo Helap. Kiai Syahruzzain menatap mereka dengan bangga.
“Ketiga warna ini akan menjadi perisai bumi. Jika kelak kalian berpisah, ketahuilah bahwa warna-warna itu akan bersatu kembali ketika bumi memanggilnya.”

Suara gemuruh kecil terdengar, lalu api tungku tiba-tiba padam, meninggalkan kehangatan yang menyusup sampai ke tulang.

“Mulai malam ini,” kata sang Kiai, “kalian bukan sekadar pendekar, tapi penjaga keseimbangan. Asma yang kalian bawa akan hidup di dalam doa setiap makhluk yang tertindas.”

Fajar di Padepokan

Ketika fajar menyingkap tirai malam, tiga pendekar itu bersiap meninggalkan padepokan. Burung-burung berkicau, kabut menggantung di atas rumput, dan cahaya matahari pertama menyentuh wajah mereka dengan lembut.

Kiai Syahruzzain berdiri di depan surau, tongkat kayunya bersandar di bahu. “Pergilah, anak-anakku. Setiap langkah adalah doa. Jika kalian merasa dunia terlalu berat, kembalilah ke tempat ini. Padepokan tua ini akan selalu terbuka bagi mereka yang menempuh jalan terang.”

Aryowirojo menunduk dalam-dalam. “Restumu, Kiyai, menjadi kekuatan kami.”
Aryo Helap menyalami tangan gurunya dengan penuh takzim. “Doakan agar kami tetap berada di jalan yang lurus.”
Raden Hadiningrat menatap lembut, “Dan semoga ilmu ini menjadi rahmat, bukan beban.”

Kiai Syahruzzain tersenyum, “Ilmu hanya menjadi beban jika hati sombong yang memanggulnya.”

Mereka pun berpamitan. Tiga arah ditempuh. Raden Hadiningrat menuju utara ke lembah Mbah Janggot, Aryowirojo menyeberang laut ke Sampang, dan Aryo Helap menetap di Jombang untuk melatih para santri muda. Langit pagi menyinari langkah mereka, bagai restu yang dikirim dari langit.*

Penulis: Fau

Disclaimer: Kisah di atas hanya fiktif, sehingga apabila ada nama yang sama dengan para pemba, Tintanesia memohon untuk dimaklumi.

Posting Komentar