Penaklukan Perampok yang Punya Ilmu Waringin Sungsang

Dua pendekar melawan perampok dengan ajian Waringin Sungsang di bawah pohon beringin besar berkabut di Madura.
Ilustrasi di bawah kabut malam Madura, dua pendekar menaklukkan kegelapan ilmu hitam Waringin Sungsang, mengembalikannya pada cahaya kebenaran. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia)

Tintanesia, Kisah Mistis

"Jangan! Jangan buka pintunya!"
Suara parau itu pecah di antara kabut malam. Dua sopir truk yang hendak menyalakan mesin langsung menatap satu sama lain. Wajah pucat dan tangan gemetar sangat jelas dari mereka. Mereka baru saja memuat puluhan kardus rokok dari gudang besar milik H. Adam, saudagar kaya asal Sampang.

Dari jalan setapak di ujung kebun tembakau, muncul tiga sosok berpakaian hitam. Mata mereka tajam, sorotnya seperti bara dalam gelap. Di tangan pemimpin mereka tergenggam sebilah celurit berukir tulisan aneh berwarna kehijauan seperti berpendar.

"Toron dhulih toron. Dulih!”
("Turun cepat turun. cepat!"), Nada suaranya berat, seakan keluar dari dua dunia sekaligus.

Sopir pertama berusaha menahan getar suaranya. “Tapi... ini pesanan Surabaya, kami cuma”

Belum sempat ia lanjutkan, angin berdesir tajam. Dari telapak tangan si pemimpin perampok, muncul pusaran tipis seperti asap yang berputar ke arah truk. Seketika tubuh dua sopir itu goyah, seperti disedot tenaga mereka. Wajah keduanya pucat, mata mendadak kosong. Dalam hitungan detik, mereka roboh tanpa suara. Aji itu Waringin Sungsang.

Ilmu waringin sungsang ini paling ditakuti di jagat persilatan. Ajiannya mampu menyerap energi hidup, meninggalkan tubuh lawan lumpuh tak berdaya. Konon, hanya orang yang menempuh laku berat yang mampu menguasainya secara utuh. Namun bila disalahgunakan, ilmu itu berubah menjadi kutukan.

Dan malam itu, kutukan itu turun di tanah Sampang.

Kabar ke Rumah Aryowirojo

Keesokan paginya, H. Adam datang ke padepokan kecil di pinggir sungai. Ia datang dengan wajah muram, mengenakan sarung dan sorban putih yang tampak berdebu. Di serambi, dua sosok lelaki tengah duduk menatap air yang mengalir pelan.

"Aryowirojo... Aryo Helap..." katanya lirih. “Aku mohon pertolongan kalian.”

Aryowirojo menoleh. Wajahnya tenang, pandangan tajam namun penuh welas. “Ada apa, Nom Haji?”

H. Adam menarik napas panjang, berusaha menahan getaran suaranya. "Setiap kali aku kirim barang keluar kota, selalu dirampok. Orang bilang mereka pakai ajian Waringin Sungsang. Mobilku disergap, sopir-sopirku jatuh pingsan seperti kehilangan roh."

Aryo Helap yang sejak tadi diam, membuka suara. "Ajian itu bukan main-main. Tapi bila dipakai untuk merampok, itu artinya sudah menyimpang dari laku aslinya."

"Benar," sahut Aryowirojo. "Waringin Sungsang adalah ajian kehidupan. Ia menyerap kekuatan jahat, bukan untuk merampas kebaikan. Tapi kalau dikuasai orang yang hatinya gelap, maka yang diserap adalah kehidupan orang lain."

H. Adam menunduk. "Aku sudah lapor ke polisi. Kata mereka masih dalam penyelidikan."

Aryo Helap berdiri. "Kalau begitu, kita berangkat malam ini."

Pertempuran Pendekar Pilih Tanding

Malam turun cepat di Sampang. Jalan Gigir sepi, hanya suara jangkrik dan desir angin yang sesekali menampar dedaunan. Mobil dengan mutan tembakau melaju pelan, seolah menanti penghalang. Di ruang sopir ada sopir dan pekerja kuli angkut. Sementara Aryowirojo dan Aryo Helap ada di belakang, di atas tumpukan tembakau.

"Helap, kau rasakan getarannya?" tanya Aryowirojo sambil menatap langit. Awan bergerak aneh, seperti melingkar ke satu titik.

Aryo Helap memejamkan mata, menundukkan kepala."Energi negatifnya kuat sekali. Seperti ada pusaran di bawah tanah. Ini bukan sekadar perampok, tapi ada semacam perjanjian dengan makhluk halus."

Akhirnya mereka memberikan isyarat agar sopir memberhentikan mobil di dekat pohon beringin besar yang akar-akarnya menjulur ke tanah. Di sanalah truk-truk H. Adam selalu dirampok.

Dari kejauhan, terdengar suara tawa lirih, mirip bisikan perempuan. "Heh... dua pendekar di atas... ingin menantang maut?"

Mereka melompat dengan salto yang memukau. "Kita tak datang untuk menantang. Kami datang untuk menegakkan keadilan."

Suara itu berubah menjadi tawa keras. Kabut menebal, lalu dari balik pepohonan muncul lima orang berpakaian hitam. Di antara mereka, satu orang berdiri paling depan bermata tajam, bibirnya hitam kebiruan.

"Aku Bajraksono, pewaris ajian Waringin Sungsang!" teriaknya dengan suara menggema. "Kalian berani mengganggu wilayahku?"

Aryowirojo melangkah maju. "Kau mencuri atas nama ilmu suci. Kau bukan pewaris, kau penista."

Bajraksono mendengus. "Aku tidak peduli. Ilmu ini kupelajari dari guruku, dan siapa pun yang menghalangi, akan kubuat berlutut!"

Angin mendadak berputar cepat. Daun-daun beterbangan seperti badai kecil. Bajraksono mengangkat tangannya, lalu menekuk jari-jari dengan rapalan lirih. Tubuhnya bergetar, dan seketika di atas kepalanya muncul bayangan pohon beringin terbalik. Akar di atas, batang di bawah.

Itulah tanda Waringin Sungsang telah diaktifkan.

Aryowirojo menggerakkan tangan kanannya perlahan. "Helap, jangan gunakan kekuatan penuh dulu. Rasakan dulu sumber ajian itu."

Helap mengangguk, menancapkan tongkat ke tanah. Dari telapak tangannya, muncul sinar lembut berwarna keemasan, membentuk lingkaran di sekitarnya. Angin yang tadi berputar mulai mereda.

Namun Bajraksono tersenyum sinis. "Kau kira cahaya kecil bisa melawan kekuatan akar langit?"

Dengan cepat ia menepuk dada sendiri, dan dari telapak tangannya keluar kabut hitam yang menyebar seperti jaring laba-laba. Seketika, tubuh Helap tersentak, langkahnya goyah. Energinya seperti ditarik keluar, wajahnya pucat.

"Helap!" seru Aryowirojo.

Namun Helap mengatupkan gigi. "Aku tak selemah itu!"

Ia merapal dzikir pelan, "La haula wala quwwata illa billah..."
Seketika lingkaran emas di sekitarnya memercik cahaya yang lebih kuat. Kabut hitam itu perlahan terbakar, memudar.

Aryowirojo menatap Bajraksono. "Kau telah menyelewengkan ajian ciptaan Sunan Kalijaga. Kau tak pantas menyebutnya Waringin Sungsang."

Bajraksono mendesis. "Cukup! Lihat bagaimana ajian ini menelanmu!"

Ia meloncat tinggi, menepukkan tangan ke tanah. Dari sana muncul pusaran energi berbentuk akar beringin yang membelit Aryowirojo. Namun lelaki itu hanya menutup mata, menarik napas dalam.

"Bismillahirrahmanirrahim... ajian ingsun aji ruhaniun sing ngamainaken aji-ajine aji. ya lahu Allahu, ajinen-Madunten ajine Lillahitala," Tangan Aryowiorjo terangkat perlahan, dan dari tubuhnya keluar cahaya putih yang memanjang ke langit. Di antara cahaya itu, tertuliskan kalimat 'Allahu ya Allahumma Selamet Kabbi' dengan bahsa pegon Madura.

Akar-akar itu terbakar, lalu menguap menjadi debu.

Bajraksono mundur, matanya melebar. "Mustahil! Itu... itu cahaya dari ajian Nurul Haq!"

Aryowirojo menatapnya dengan tenang. “Bukan ajian. Itu keyakinan.”

Kekuatan Iman Vs Nafsu

Pertarungan berlanjut sengit. Helap kini sudah bangkit penuh tenaga, melompat dan menghantam dua pengikut Bajraksono dengan tenaga dalam. Tubuh mereka terhempas ke semak, pingsan.

Bajraksono berteriak marah. "Kalian belum lihat kekuatanku yang sesungguhnya!"

Ia mencabut keris kecil dari pinggangnya. Bilahnya berwarna hitam legam, berasap tipis. "Ini keris Ki Waringin, dibuat dengan tumbal darah tujuh nyawa. Sekali kutusuk, tak ada jiwa yang bisa kembali!"

Helap menyeringai. "Kalau begitu, kau belum tahu arti mati dalam kebenaran."

Ia melempar tongkatnya ke udara. Tongkat itu berputar cepat, lalu membentuk pusaran cahaya yang menembus tanah. Dari dalam pusaran itu muncul suara gemuruh seperti ombak.

Bajraksono menatap keheranan. "Apa itu?"

Helap menjawab pelan, "Itu bukan ilmu, itu doa. Energi dari bumi yang bersujud."

Kedua kekuatan itu bertemu. Dentuman keras terdengar, membuat pohon-pohon bergoyang. Kabut terbelah. Dalam cahaya yang menyilaukan, tubuh Bajraksono terpental jauh, menghantam batu besar.

Aryowirojo mendekat perlahan. "Sudahlah, hentikan. Ilmu itu tidak akan berguna bila hatimu busuk."

Namun Bajraksono justru tertawa. "Kau pikir aku akan menyerah? Aku... pewaris kekuatan langit dan bumi!"

Ia berdiri tertatih, lalu menancapkan keris ke tanah. Tiba-tiba bumi bergetar, dan dari tanah muncul bayangan hitam seperti akar beringin raksasa yang menjalar ke segala arah.

Helap melompat mundur. "Dia membuka gerbang roh!"

Aryowirojo segera menengadah ke langit, menangkupkan tangan. "Helap, baca bersama!"

Mereka berdua merapal dzikir bersamaan. Suara mereka bergema kuat, memecah udara. Akar-akar hitam itu perlahan berhenti bergerak, lalu terurai menjadi abu. Angin berhenti. Sunyi. Hening.

Tubuh Bajraksono bergetar hebat. Dari matanya menetes air mata hitam. “Aku... aku hanya ingin kuat... Aku dulu dirampok, keluargaku dibunuh. Aku ingin menuntut balas...”

Aryowirojo memegang bahunya. "Kau tersesat karena dendam. Waringin Sungsang bukan untuk itu. Ia ajian kehidupan, bukan kematian."

Bajraksono menatap kosong, lalu roboh bersimpuh. "Ajarkan aku... jalan pulang."

Aryowirojo menatap Helap, lalu mengangguk pelan. "Kita bimbing dia."

Fajar di Tanah Bangkalan
Subuh menjelang. Langit mulai merah muda. Di bawah pohon beringin yang kini hening, tiga sosok duduk bersila. Aryowirojo dan Aryo Helap membimbing Bajraksono membaca istighfar dan menghapus ikatan gelap dari tubuhnya.

H. Adam datang bersama beberapa warga. Ia terpana melihat pemandangan itu. "Subhanallah... Jadi inikah perampok yang selama ini menakuti orang?"

Aryo Helap berdiri, menepuk debu di bajunya. "Dia bukan lagi perampok. Sekarang dia saudaramu."

H. Adam menunduk. "Aku akan memaafkannya. Semoga Allah memberi ampunan."

Bajraksono menangis. "Terima kasih... Aku bersumpah akan menebus dosaku. Aku akan menjaga jalan ini agar tak lagi ada darah tumpah."

Aryowirojo tersenyum tipis. "Begitulah makna Waringin Sungsang yang sejati. Akar di atas, batang di bawah. Manusia yang kuat bukan karena berdiri di bumi, tapi karena bersandar pada yang Maha Agung yaitu Allah Swt.”

Helap menimpali, "Dan siapa pun yang bersandar pada kebenaran, tak akan tumbang oleh kejahatan."

Mereka bertiga menatap mentari yang mulai muncul di ufuk timur. Suara burung mulai terdengar, menggantikan sunyi malam yang baru saja mereka jinakkan.

Sejak hari itu, jalan Gigir tak lagi angker. Truk-truk H. Adam kembali melintas tanpa gangguan. Bajraksono membuka rumah kecil di pinggir desa, membantu orang-orang miskin dan belajar mengaji.

Banyak orang datang bertanya, "Apakah benar ada ajian Waringin Sungsang?"
Dan Aryowirojo selalu menjawab dengan tenang, "Yang benar adalah hati yang terbalik. Bila akar keyakinanmu di langit, kau tak akan tumbang di bumi."

Kisah itu pun menjadi legenda baru di tanah Madura, tentang dua pendekar yang bukan hanya menaklukkan perampok, tapi juga menyelamatkan jiwa yang tersesat oleh ajian terlarang.

Dan setiap kali angin berhembus di bawah pohon beringin tua itu, orang-orang berkata:
"Itu bukan angin biasa. Itu napas kehidupan dari ajian Waringin Sungsang yang telah kembali ke jalan terang."*

Penulis: Fau

Posting Komentar