Lawan Santet Brojo, Aryowirojo Terpental

Aryowirojo melakukan ritual dzikir bercahaya biru untuk melawan santet Brojo yang menyerang petani Majidun di rumah kayu Madura.
Ilustrasi adegan mistis Aryo Helap menggunakan ilmu Peccot Sebuh untuk mengusir racun gaib Brojo yang menyerang petani Madura. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia)

Tintanesia, Kisah Mistis

Langit Torjun malam itu tampak lebih muram dari biasanya. Awan hitam menggantung pekat di atas Desa Dejeh, seolah menutup pandangan bulan dari mata manusia. Di tengah sunyi, terdengar teriakan parau dari dalam rumah kayu milik Majidun, seorang petani sederhana yang beberapa minggu terakhir hidupnya berubah menjadi neraka.

Tubuh Majidun menggeliat di atas tikar pandan, perutnya membesar seolah menelan bola kelapa. Nafasnya tersengal, kulitnya pucat, sementara urat di lehernya menegang seperti tali busur yang hendak putus. Istrinya, Halimah, duduk di samping dengan mata sembab.

"Dukun itu sudah datang, Minah," bisik salah satu tetangga yang menjaga di luar rumah.
"Katanya dia bisa mengusir santet dari jauh," imbuh tetangga itu berada didekat Halimah.

Halimah berdiri cepat, lalu membungkuk hormat kepada lelaki tua berjubah hitam yang baru saja melangkah masuk. Wajah lelaki itu berkerut dalam, sorot matanya tajam seperti mata burung hantu. Di tangan kanannya tergenggam seikat daun pandan dan sebotol minyak zaitun.

"Ceritakan padaku sejak kapan sakit ini menyerang," suaranya dalam, berat, dan penuh keyakinan.

"Sudah tiga minggu, Ki,” jawab Halimah terbata. "Dokter bilang suamiku sehat, tapi perutnya terus membesar, dan setiap malam ada bau busuk seperti bangkai keluar dari mulutnya."

Dukun itu menatap tajam tubuh Majidun, lalu menarik napas panjang. "Ini bukan penyakit manusia biasa. Ada tangan jahat yang bekerja di baliknya."

Ia menaburkan garam di sekeliling tubuh Majidun, membaca mantra yang hanya terdengar seperti gumaman dalam bahasa tak dikenal. Namun belum sempat ritual selesai, tubuhnya bergetar keras. Matanya melotot, dan dari mulutnya keluar darah pekat berwarna hitam. Ia mundur tiga langkah, lalu jatuh tersungkur di lantai.

"Astaghfirullah!" teriak para tetangga.

Halimah menjerit histeris. "Ki! Apa yang terjadi?"

Dengan suara lirih penuh getir, sang dukun menjawab, "Kekuatan yang merasuk dalam tubuh suamimu bukan main-main. Ini bukan santet dari manusia biasa. Ini racun gaib dari Brojo, pengamal ilmu hitam yang dulu diusir dari Dusun Talango. Kalian harus berhati-hati. Aku tak sanggup melawannya."

Setelah malam itu, tiga dukun lain datang silih berganti. Namun hasilnya sama. Setiap yang mencoba menyentuh tubuh Majidun, justru jatuh pingsan atau muntah darah. Desa Dejeh diguncang ketakutan. Anak-anak dilarang keluar malam, ayam berkokok tak tentu waktu, dan angin berputar aneh di halaman setiap kali senja tiba.

Dalam keputusasaan, Halimah akhirnya berlutut di hadapan Kiai Ahmad, tetua kampung. “Tolong, Kiai… kami tak sanggup lagi.”

Kiai Ahmad menatap iba, lalu berbisik lirih, "Kirimlah utusan ke Desa Plakaran. Panggil Aryowirojo. Hanya dia yang bisa menandingi ilmu Brojo."

Datangnya Sang Penuntun

Tiga hari kemudian, menjelang Subuh, dari arah barat tampak seorang pemuda berpeci hitam menunggang kuda putih. Wajahnya tenang, jubahnya bersih tanpa cela meski debu jalan melekat di sekeliling. Itulah Aryowirojo, sosok yang namanya sering disebut dengan rasa hormat bercampur kagum di pelosok Madura.

Ketika tiba di rumah Majidun, ia menatap tubuh sang petani dengan mata teduh. "Sakit ini bukan hanya karena santet, tapi juga karena ikatan batin yang dilukai," ucapnya pelan.

Para warga saling berpandangan. "Maksudnya, Kang Aryo?" tanya Kiai Ahmad penasaran.

"Brojo tidak hanya menyerang jasad. Dia merusak hubungan antara ruh dan raga. Ini sihir tingkat tinggi. Yakni gabungan antara amalan salah satu agama tua dan ilmu gelap Jawa Timur bagian barat." jawabnya.

Halimah menunduk menangis. "Apa suamiku masih bisa diselamatkan?"

"InsyaAllah," jawab Aryowirojo mantap. "Selama napas masih berhembus, pertolongan Allah masih terbuka."

Ia lalu duduk bersila, membaca ayat kursi perlahan, diiringi dzikir lembut. Udara di dalam rumah berubah dingin. Minyak lampu bergoyang tanpa angin. Di luar, terdengar suara lolongan panjang seperti serigala lapar.

Namun tak lama, tubuh Aryowirojo mendadak terpental kuat ke belakang. Tubuhnya menghantam dinding bambu hingga roboh. Darah segar menetes dari sudut bibirnya. Semua orang menjerit panik.

"Kakang Aryo" seru Kiai Ahmad sambil berlari mendekat.

Aryowirojo pingsan, napasnya berat. Warga berusaha menolong, tapi tubuhnya terasa sangat panas seperti bara api. Dalam ketidakberdayaan, mereka hanya bisa menunggu.

Tiga hari tiga malam berlalu.

Pertemuan di Alam Ruh

Dalam keadaan tak sadar itu, Aryowirojo merasa berdiri di hamparan padang putih yang sunyi. Tak ada bayangan, tak ada arah. Hanya cahaya lembut yang memancar dari kejauhan. Dari sinar itu, muncul sosok berjubah hijau, berjanggut putih, wajahnya meneduhkan, yakni Kiyai Syahruzzain, gurunya.

"Anak muridku," ucapnya dengan suara seperti angin. "Engkau tergesa-gesa menantang Brojo tanpa perhitungan. Ilmunya kini tak lagi duniawi."

Aryowirojo menunduk. "Guru. Aku hanya tak tega melihat rakyat sengsara."

Syahruzzain tersenyum lembut. "Kasihmu besar, tapi kekuatanmu belum sempurna. Untuk menundukkan racun hitam Brojo, engkau harus menyatu dengan ilmu Peccot Sebuh. Namun bukan aku yang mengajarkan. Adik seperguruanmu, Aryo Helap telah menguasainya. Ia akan datang dari Jombang, membawa kunci penawar."

"Apa itu Peccot Sebuh, Guru?" tanya Aryowirojo.

"Itulah ilmu kependekaran yang menggabungkan ilmu agama, fisika energi, dan kesadaran ruhani. Peccot Sebuh tak menyerang dengan amarah, tapi dengan keseimbangan. Ketika tubuhmu selaras dengan dzikir, maka racun gaib akan kembali ke asalnya tanpa kau hentakkan sedikit pun."

Cahaya semakin terang, dan suara Syahruzzain perlahan menghilang. "Ingat, Aryo. Kekuatan sejati bukan pada tanganmu, tapi pada ketundukan hatimu kepada Sang Pencipta."

Lalu semuanya gelap.

Bangkitnya Sang Penempuh

Tiga hari kemudian, menjelang waktu Asar, mata Aryowirojo terbuka. Nafasnya ringan, wajahnya berseri. Warga desa bersyukur, mereka merasa seperti menyaksikan keajaiban.

Namun lelaki itu hanya berkata pelan, "Aku harus memanggil adikku, Aryo Helap."

Beberapa hari kemudian, sosok berambut gondrong rapi datang menunggang motor tua. Di punggungnya tergantung tas kulit lusuh, dan di pinggangnya tergantung tasbih kayu cendana. Dialah Aryo Helap, adik seperguruan yang terkenal pendiam namun berwibawa.

Di hadapan Aryowirojo, ia menunduk hormat. "Guru menitip salam. Beliau tahu Kakang belum menyempurnakan Peccot Sebuh."

Aryowirojo tersenyum. "Lalu apa wejangan guru padamu?"

Helap menatap langit sore. "Beliau berkata, 'Hadapi Brojo bukan dengan tandingan, tapi dengan penyerahan.' Ilmu Peccot Sebuh bukan untuk menyerang, melainkan memutus simpul antara kebencian dan energi jahat."

Mereka berdua sepakat untuk pulang ke Desa Plakaran, beristirahat dan mempersiapkan diri. Sebelum pergi, Aryowirojo berpamitan kepada Kiai Ahmad dan keluarga Majidun. "Berikan waktu seminggu. Kami akan kembali dengan izin Allah."

Di Rumah Plakaran

Rumah kayu sederhana di tepi sawah itu menjadi saksi pertemuan dua murid Kiyai Syahruzzain. Malam itu mereka duduk di serambi, ditemani suara jangkrik dan aroma kopi hitam.

"Aku menempuh perjalanan panjang dari Jombang ke Madura," tutur Aryo Helap sambil menatap lampu teplok. "Di sepanjang jalan, ada hal aneh yang mengikutiku."

"Aneh bagaimana?" tanya Aryowirojo.

"Ketika melintasi Jembatan Suramadu, udara berubah dingin. Di kaca spion, aku melihat bayangan perempuan tua berjalan di belakang motorku. Tapi ketika menoleh, tak ada siapa pun. Lalu di perbatasan Bangkalan, seekor burung gagak menatapku tanpa berkedip selama lima belas menit."

Aryowirojo mengangguk. "Brojo tahu engkau menuju ke sini. Ia sedang menguji nyali, bukan kekuatan."

Helap tersenyum tipis. "Kalau begitu, kita uji ketabahannya."

Malam itu mereka berdua berzikir bersama. Bukan hanya untuk mempersiapkan diri secara batin, tapi juga menata pola energi tubuh. Aryo Helap menjelaskan, "Setiap bacaan dzikir memancarkan frekuensi elektromagnetik halus. Gelombang itu bisa menetralkan medan negatif dari santet. Inilah alasan mengapa ilmu agama dan sains tidak bertentangan. DIkarenakan keduanya berjalan di jalur yang sama, hanya berbeda bahasa."

Aryowirojo mendengarkan dengan khusyuk. "Maka benar kata guru kita: ilmu tanpa iman hanyalah debu, iman tanpa ilmu hanyalah cahaya tanpa arah."

Kembali ke Torjun

Seminggu berlalu. Keduanya kembali ke rumah Majidun. Desa tampak lebih sunyi, namun suasana di dalam rumah itu masih menegangkan.

Di ruang tengah, duduk seorang lelaki berusia enam puluh tahun berjubah putih. Sorot matanya tenang, namun auranya kuat. Begitu melihat Aryowirojo dan Helap, ia tersenyum lega.

“Alhamdulillah, kalian datang juga,” ucapnya. “Aku sahabat Kiyai Syahruzzain. Beliau memintaku menjaga Majidun hingga kalian siap.”

Aryowirojo menunduk hormat. “Terima kasih, Kiyai. Tanpa penjagaanmu, mungkin rumah ini sudah hancur.”

Kiai Subroto tersenyum tipis. “Brojo tak hanya menyerang Majidun. Dia sedang menguji dunia gaib Madura. Jika kalian gagal, akan banyak nyawa jadi korban.”

Malam itu, ketiganya melakukan shalat tahajud berjamaah. Setelah salam terakhir, Aryo Helap duduk bersila, memejamkan mata. Di atas lantai, telapak tangannya memancarkan cahaya biru lembut.

“Ini Peccot Sebuh,” bisiknya. “Perpaduan antara energi zikir dan niat suci. Ketika aku menyentuh perut Majidun, jangan ada yang berbicara.”

Suasana hening.

Ketika tangan Helap menyentuh tubuh Majidun, terdengar desisan tajam seperti besi terbakar. Perut Majidun berguncang hebat. Dari mulutnya keluar asap hitam pekat yang berputar seperti pusaran angin. Lalu dari tengah pusaran itu, muncul bayangan wajah Brojo, menjerit marah.

“Berani sekali kalian melawan aku!” suaranya menggema, berat dan getir.

Aryowirojo berdiri tegak, menatap tajam, seolah menyerang, “Ilmu tanpa iman adalah kehancuran. Kembalilah ke asalmu, Brojo. Dunia ini bukan tempat bagi dendam!”

Bayangan itu tertawa nyaring. Namun tiba-tiba, cahaya dari tasbih Helap meledak terang. Asap hitam itu berputar semakin cepat lalu menghilang bersama angin yang berhembus keluar jendela.

Majidun membuka mata perlahan. Wajahnya kini tenang, perutnya kempis seperti semula. Tangis bahagia pecah di seluruh rumah.

Setelah semuanya usai, Kiai Subroto menatap Aryowirojo dan Helap dengan bangga. “Kalian bukan hanya menundukkan Brojo, tapi juga menegakkan keseimbangan antara ilmu dan iman.”

Aryowirojo tersenyum. “Santet hanya bisa tumbuh di hati yang gelap. Selama cahaya dzikir tetap hidup, kegelapan tak punya tempat untuk tinggal.”

Helap menimpali, “Dan selama manusia berpikir dengan akal dan hati sekaligus, maka tidak ada kejahatan yang benar-benar menang.”

Malam itu, Torjun kembali tenang. Angin berhembus lembut membawa aroma tanah basah. Di langit, bintang berkilau seperti mata-mata kecil yang tersenyum menyaksikan kemenangan cahaya atas kegelapan.

Namun di balik semua ketenangan itu, jauh di perbukitan selatan, sosok berjubah hitam berdiri menatap ke arah utara. Bibirnya berkomat-kamit, menahan amarah yang belum padam.

“Pertarungan ini belum selesai, Aryowirojo…” gumamnya dingin.*

Penulis: Fau

Disclaimer: Kisah ini hanya imajinasi Tintanesia. Maka itu, apabila ada nama dan tempat sama dengan yang ada dalam kisah, Redaksi memohon untuk dimaklumi. Terimakasih.

Posting Komentar