Berburu Keranda Bergerak

Tiga santri kaget melihat keranda bambu bergerak di pemakaman Desa Bancelok.
Ilustrasi keranda makam yang bergerak sendiri saat tiga santri mencari jangkrik di malam hari. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia)

Tintanesia, Kisah Mistis

Di sebuah malam yang tenang di Desa Bancelok Kecamatan Jrengik Kabupaten Sampang, bulan tampak separuh dan menggantung di langit seperti mata yang mengintip malu. Angin sawah berhembus lembut, membawa aroma lumpur dan daun padi muda.

Malam itu, Samsul, santri yang terkenal lucu, pemberani, dan suka bersosial, sedang duduk di beranda Surau Tonggul, tempat ia dan teman-temannya biasa bermalam selepas mengaji.

“Sul, jangkrik banyak keluar kalau malam, apalagi abis Isyak begini,” bisik Rifa’i, salah satu temannya yang selalu penuh ide aneh.

“Ah, ide bagus. Tapi jangan cuma ngomong, ayo buktiin. Lumayan buat umpan burung besok,” sahut Samsul sambil menepuk pundaknya.

Siroj, teman satu lagi, mengangguk dengan semangat yang sedikit ragu. “Yang penting jangan jauh-jauh dari kampung, ya.”

Mereka bertiga berangkat selepas Isyak, membawa senter HP Android dan botol plastik yang sudah dilubangi sebelumnya. Langkah mereka menembus jalan kecil di antara petakan sawah yang lembab. Suara kodok dan jangkrik bersahut-sahutan, menjadi musik pengiring petualangan kecil malam itu.

Jam di HP Samsul sudah menunjukkan pukul 00.00. Namun semangat mereka belum padam. Mereka terus menyusuri jalan setapak yang mulai diselimuti kabut tipis.

“Eh, denger itu,” kata Rifa’i tiba-tiba sambil menunduk. Suara krik-krik-krik terdengar jelas dari arah pemakaman umum di tengah sawah.

Samsul menyorotkan lampu HP-nya ke arah suara itu. Di bawah pohon beringin tua, tampak satu jangkrik besar melompat ke balik nisan.

“Aha, jackpot!” seru Samsul setengah berbisik. Mereka pun melangkah pelan ke arah pemakaman.

Namun, baru beberapa langkah mendekat, suara kayu berderak keras terdengar dari sudut makam. Kreeeet... kreeet... thung!

Rifa’i langsung berhenti. “Kau denger itu, Sul?”

“Denger,” jawab Samsul, matanya menyipit menatap ke arah sumber suara.

Cahaya senter HP-nya menyapu satu keranda bambu yang tergeletak di dekat pohon. Awalnya diam, namun beberapa detik kemudian keranda itu bergerak sendiri! Mula-mula perlahan, lalu makin cepat. Agak bergeser, berguncang, bahkan sempat berputar sedikit.

Siroj langsung menjatuhkan plastiknya. “Allahu Akbar! Itu keranda hidup!”

Samsul sempat menelan ludah. Dadanya berdebar, tapi rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takut.

“Jangan dekat, Sul!” seru Rifa’i.

Namun Samsul malah mendekat dengan hati-hati. “Kita santri, masa kalah sama keranda?” ujarnya, mencoba menenangkan diri sendiri.

Langkahnya semakin mendekat, dan setiap kali ia maju, keranda itu bergerak makin liar. Bambu-bambunya bergemeretak, seperti ada sesuatu yang menendang-nendang dari dalam.

Cahaya HP bergetar karena tangannya mulai gemetar. Nafasnya pendek. Tapi ia tetap melangkah.

Ketika jarak tinggal dua langkah, keranda itu tiba-tiba melompat sedikit ke samping! Samsul sontak meloncat mundur, hampir terjatuh ke nisan di belakangnya. Rifa’i dan Siroj menjerit bersamaan. “Sudah! Ayo balik!”

Namun Samsul tak tahan rasa penasarannya. Dia pun mengambil sebatang ranting dan mencongkel sedikit penutup keranda itu. Saat cahaya HP menembus sela-sela bambu, ia melihat sesuatu yang bergerak cepat di dalamnya. Ada lima bayangan kecil berlarian kesana kemari.

Ia mendekatkan lampu, dan mendadak tertawa keras. “Hahaha! Astaghfirullah! Cuma tikus-tikus sawah!” teriaknya.

Rifa’i dan Siroj yang sudah lari beberapa langkah berhenti.
“Tikus?”
“Iya! Lima ekor, gede-gede! Mungkin mereka kejebak di dalam, jadi bikin keranda goyang sendiri!”

Mereka semua terdiam sebentar, lalu tertawa lega. Rasa tegang berubah menjadi tawa yang meledak di tengah malam sunyi.

Mereka akhirnya memutuskan pulang ke surau. “Udah cukup petualangannya, jangkrik kalah sama keranda,” celetuk Siroj sambil tertawa.
“Besok aku ceritain ke teman-teman lainnya, biar tahu siapa santri paling berani,” sambung Samsul dengan gaya sok bangga.

Namun baru beberapa menit berjalan di jalan pematang, suasana kembali berubah. Udara mendadak dingin. Kabut menebal. Di depan, sekitar sepuluh meter, terdengar suara langkah pelan dari arah tikungan.

Dari kegelapan muncul seorang ibu-ibu berkerudung hitam, mengenakan kebaya Madura tempo dulu. Tangannya menenteng kendi, dan langkahnya lambat tapi pasti.

Samsul menghentikan langkah. “Ibu siapa tuh malam-malam begini?” gumamnya.

Ibu itu mendekat tanpa menoleh sedikit pun. Cahaya HP mereka menyorot wajahnya yang pucat, namun ekspresinya datar, nyaris tak bernyawa. Siroj berbisik pelan, “Sul... kakinya...” Samsul melirik, dan darahnya serasa berhenti mengalir saat melihat kaki ibu itu tak menyentuh tanah!

“Lariiiiiiiiii!” teriak Rifa’i sekeras-kerasnya.

Tanpa aba-aba, ketiganya berlari sekencang mungkin melewati jalan setapak berlumpur. HP Samsul sempat terjatuh, tapi ia tak berani berhenti untuk memungutnya. Nafas mereka memburu, langkahnya seperti tak menyentuh tanah, hanya ingin sampai ke surau secepatnya.

Begitu tiba di Surau Tonggul, mereka langsung menutup pintu dan duduk terengah-engah. Samsul menatap kedua temannya, wajahnya masih pucat tapi bibirnya berusaha tersenyum. “Kalau besok aku bilang, jangan percaya keranda hidup, percaya aja sama ibu melayang itu,” katanya dengan nada bercanda.

Rifa’i menatapnya lemas. “Sudah, Sul, mulai besok jangkrik biar nyari sendiri aja.”

Sementara Siroj hanya mengangguk sambil memegangi dadanya. Namun malam itu, ketiganya tak bisa tidur. Setiap desiran angin dari celah papan surau membuat mereka saling pandang, memastikan tak ada lagi “ibu” yang berdiri di depan jendela.

Keesokan paginya, warga sempat heboh karena ada yang menemukan HP Samsul di jalan dekat pemakaman, masih menyala, namun layar terkunci. Samsul menjemputnya dengan senyum getir, lalu meletakkannya di saku.

“Kalau ada yang nanya,” katanya sambil tersenyum pada dua temannya, “Bilang aja HP-ku ditinggal waktu... berburu jangkrik.”

Mereka bertiga tertawa kecil, mencoba menghapus rasa takut yang masih tersisa. Namun setiap kali melewati makam itu, tak ada satu pun yang berani menoleh ke arah keranda bambu yang kini tampak diam... tapi entah kenapa, setiap malam, selalu terdengar suara tikus berlari di dalamnya.*

Penulis: Fau

Disclaimer: Kisah ini hanya imajinasi penulis, sehingga apabila ada nama dan layar yang sama, Tintanesia memohon untuk dimaklumi.

Posting Komentar