Aryowirojo dan Ujian Berat dari Sang Guru Sufi

Ilustrasi Aryowirojo menghadapi ujian spiritual dari Kiai Manjeng di tengah kabut lembah.
Ilustrasi Aryowirojo menempuh ujian berat dari sang guru sufi Kiai Manjeng di lembah sunyi. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia)

Tintanesia, Kisah Mistis

“Diam, jangan bergerak!”

Suara Kiyai Manjeng menggema laksana petir di tengah langit subuh yang muram. Aryowirojo menahan napas. Di hadapannya, sebilah pedang pusaka melayang, bergetar di udara, menatapnya dengan kilau aneh seperti mata makhluk hidup. Udara di sekitar pondok tua itu terasa berat, seolah bumi sendiri menanti keputusan sang murid.

Kiyai Manjeng berdiri di ambang pintu, jubahnya berkibar tertiup angin lembah. “Jika engkau benar-benar siap menjadi penerus cahaya, tahan pedang itu dengan tanganmu, tanpa rasa takut dan tanpa niat melukai.”

Aryowirojo menunduk, menarik napas panjang. Jantungnya berdentum keras. Pedang yang melayang itu bukan besi biasa, tetapi sajam itu menyimpan hawa panas dan dingin dalam waktu bersamaan, seperti api dan es yang bersatu. Dalam hati, dia berdoa lirih, “Ya Allah, jika ini ujian dari-Mu, jadikanlah hatiku sebening cermin yang tak memantulkan selain nur-Mu.”

Tangannya terulur pelan. Begitu jari-jarinya menyentuh bilah pedang, cahaya keemasan memancar. Seketika itu pula, pedang berhenti bergetar dan jatuh perlahan, seolah kehilangan nyawa. Aryowirojo menangkapnya dengan tenang, lalu menunduk hormat.

Kiai Manjeng tersenyum samar. “Ujian pertama telah kau lalui. Pedang itu bukan untuk membunuh, melainkan menguji apakah kau mampu menaklukkan api dalam dirimu," gumamnya dalam hati.

Ujian Kedua: Bayangan yang Menyamar

Malam berikutnya, langit diselimuti kabut tipis. Pondok Kiai Manjeng tampak lengang. Ketika ayam jantan belum sempat berkokok, Aryowirojo dikejutkan oleh suara langkah di belakang biliknya.

“Siapa di luar sana?” tanyanya, berdiri dengan tenang.

Dari balik pintu muncul sosok dirinya sendiri. Ya, wajahnya, tubuhnya, bahkan pakaian yang sama persis. Bayangan itu tersenyum licik. “Engkau mencari kesempurnaan, tapi di hatimu masih tersimpan rasa ingin dipuji. Bukankah engkau menolong orang agar disebut orang suci?”

Aryowirojo terdiam. Ucapan itu menancap dalam. “Aku berbuat karena Allah,” jawabnya mantap.

Bayangan itu tertawa serak. “Kalau benar demikian, mengapa hatimu terasa hangat saat orang memujimu?”

Sejenak, Aryowirojo merasakan dadanya sesak. Kata-kata itu seperti anak panah yang menembus dinding keikhlasan. Kemudian dia menutup mata, menarik napas, lalu membaca dzikir dalam hati. Perlahan, bayangan di depannya mulai pudar, berubah menjadi kabut tipis yang terserap ke tanah.

Dari kejauhan terdengar suara Kiai Manjeng, tenang namun tajam, “Musuh terbesar bukan jin, bukan iblis, melainkan dirimu sendiri. Bayangan itu hanya wujud dari keangkuhan yang masih bersembunyi di dasar jiwamu.”

Aryowirojo menunduk. Air matanya jatuh membasahi tanah yang dingin. “Ampuni hamba yang belum suci sepenuhnya, Guru.”

Ujian Ketiga: Suara dari Dalam Sumur

Beberapa hari kemudian, Kiai Manjeng membawa Aryowirojo ke tengah hutan di balik bukit Rajeh. Di sana berdiri sebuah sumur tua tanpa tali dan tanpa timba. Airnya hitam berkilau seperti kaca, memantulkan bayangan bulan yang separuh tenggelam.

“Dengarkan suara yang keluar dari dalam sumur ini,” ujar Kiai Manjeng. “Namun ingat, jangan menjawab apa pun yang kau dengar.”

Aryowirojo mengangguk. Ia duduk bersila di tepi sumur, memejamkan mata. Hening. Lalu perlahan, terdengar bisikan lembut, nyaris seperti suara ibunya semasa hidup.

“Anakku, pulanglah. Kau sudah cukup menderita. Rumahmu menunggu. Aku rindu...”

Dadanya bergetar. Suara itu begitu nyata. Aroma bunga melati bahkan tercium samar, persis seperti di rumah lamanya. Bibirnya hampir bergerak, namun di detik itu ia ingat pesan gurunya, jangan menjawab.

Bisikan berubah menjadi jeritan. “Kau durhaka! Aku ibumu! Jawab aku, Aryowirojo!”

Peluh dingin mengucur. Ia merapatkan mata, membaca ayat Kursi berulang-ulang. Suara itu lenyap, digantikan oleh gemericik air yang tenang.

Kiai Manjeng mendekat. “Sumur itu menampung gema masa lalu. Jika engkau bicara, maka arwah masa lalumu akan menarikmu kembali ke sana. Kau telah memilih jalan para pencari sejati, yakni, meninggalkan segala keterikatan agar tak diperbudak rindu.”

Ujian Keempat: Cahaya di Tengah Gelap

Pada malam ke-tujuh, Aryowirojo diminta berdiam di ruangan tanpa lampu. Hanya selembar tikar dan kitab kecil di depannya.

“Di tempat gelap ini,” pesan Kiai Manjeng, “kau akan melihat apa yang tak terlihat. Jangan takut bila cahaya datang, dan jangan percaya bila kegelapan menjanjikan damai.”

Jam demi jam berlalu. Udara makin dingin, napas berubah kabur. Tiba-tiba, dari sudut ruangan muncul cahaya kecil seukuran kelereng, berkilau bagai kunang-kunang. Cahaya itu menari, membesar, dan berubah menjadi wujud manusia berwajah tenang.

“Aryowirojo,” katanya lembut. “Aku malaikat penjagamu. Guru-mu menyembunyikan kebenaran. Bergabunglah denganku, dan kau akan tahu rahasia alam semesta.”

Hatinya bergetar. Aura sosok itu begitu menenangkan. Namun sesuatu terasa janggal, yaitu, cahaya di sekelilingnya terlalu panas, seolah membakar nurani. Aryowirojo segera merendahkan kepala, mengucap la ilaha illallah. Cahaya itu bergetar hebat lalu pecah menjadi abu halus.

Kiai Manjeng membuka pintu, cahaya fajar menyusup masuk. “Itulah godaan tertinggi, tipu daya yang membungkus diri dengan kebenaran. Kau telah memadamkan api yang meniru cahaya.”

Ujian Kelima: Nafas di Balik Angin

Hari berganti minggu. Ujian terakhir tiba ketika angin timur berembus membawa aroma garam laut. Kiai Manjeng berkata, “Kini, kau harus melewati jurang antara dunia nyata dan batin. Turunlah ke lembah itu dan temukan suara angin yang berhenti. Bila kau mendengarnya, kembalilah.”

Aryowirojo menuruni lembah yang tertutup kabut. Di sana, angin berputar liar seperti naga. Suaranya mendesing, memukul pohon hingga patah. Ia berdiri di tengah pusaran itu, menutup mata, menenangkan napas.

Dalam keheningan batin, ia menyadari: suara angin sejati adalah diam. Maka ia duduk, mengatur napas, menyatu dengan alam. Tak lama kemudian, badai reda. Daun-daun yang berjatuhan berhenti di udara, menggantung hening.

Ketika ia membuka mata, Kiai Manjeng sudah berdiri di puncak bukit. “Engkau telah menemukan inti dari seluruh perjalanan, Aryowirojo. Ilmu bukan untuk berkuasa, melainkan untuk mendengar suara Tuhan di balik diam.”

Kalam Murid dan Guru

Beberapa hari kemudian, pondok itu kembali sunyi. Aryowirojo membantu menyiapkan air wudu, membersihkan halaman, dan merawat taman kecil di belakang rumah. Tak ada lagi ujian, tak ada lagi bisikan gaib.

Suatu sore, Kiai Manjeng duduk di serambi. “Wirojo,” katanya lembut, “setiap ujian yang kau hadapi hanyalah cermin. Engkau tidak sedang diuji olehku, tapi oleh dirimu sendiri. Aku hanya saksi perjalananmu menuju keheningan.”

Aryowirojo menunduk. “Guru, aku masih jauh dari sempurna.”

Kiai Manjeng tersenyum. “Kesempurnaan bukanlah tujuan, melainkan kesadaran bahwa manusia tidak pernah benar-benar sempurna. Dan ketika kau menyadari itu, di situlah cahaya sejati menyala.”

Senja merambat turun. Burung-burung kembali ke sarang, sementara embusan angin membawa aroma tanah basah. Aryowirojo memejamkan mata, merasakan kedamaian yang tak lagi bergantung pada dunia. Dalam hening itu, ia tahu, bahwa perjalanan belum selesai, namun kini ia berjalan bukan karena ingin mencapai sesuatu, melainkan karena telah menemukan makna di setiap langkah.*

Penulis: Fau

Posting Komentar