Aryowirojo dan Aryo Helap Salah Lawan
![]() |
| Ilustrasi di atas kereta kuda sederhana, tiga pendekar sakti dan satu gadis menempuh perjalanan menuju makam para wali. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia) |
Tintanesia, Kisah Mistis
“Lepaskan gadis itu, manusia rendah!” Suara lantang itu menggema di antara gudang tua pelabuhan Gresik. Lampu-lampu jalan berkelip samar, membentuk bayang panjang di aspal basah. Empat pria bertubuh kekar tersentak, berhenti menyeret seorang perempuan muda yang menangis di sudut gelap.
Sosok berjas hitam berdiri tegas di bawah tiang lampu. Tatapannya dingin, langkahnya mantap. Dialah Raden Hadiningrat, lelaki berwajah tenang namun memancarkan wibawa yang membuat para bandit gemetar.
“Siapa kau, sok jadi pahlawan?” bentak salah satu dari mereka sambil menghunus pisau lipat.
Hadiningrat tidak menjawab. Ia hanya menegakkan tubuhnya, menarik napas dalam. Ujung jarinya bergerak pelan, seperti menggambar sesuatu di udara. Seketika, angin berputar. Debu dan pasir beterbangan. Dalam sekejap, ketiga bandit terhempas tanpa sempat melihat dari mana datangnya tenaga itu.
Salah satu dari mereka tersisa mematung. Tangannya gemetar, lalu berlari terbirit-birit. Di belakangnya, perempuan itu jatuh tersungkur, menangis lega.
Namun suasana malam yang semula hening kembali bergetar. Dari atap gedung seberang, dua sosok melayang turun secepat kilat. Gerak mereka ringan, tetapi jejak langkahnya membuat tanah bergetar pelan.
“Kau pikir kami tak melihat apa yang kau perbuat, orang asing?” suara bariton yang lembut namun tegas terdengar.
Raden Hadiningrat menatap dua sosok itu. Yang pertama mengenakan jubah abu-abu panjang dengan sorban hitam di bahu. Tatapan matanya teduh, namun tajam. Dialah Aryowirojo, pendekar sakti yang dikenal karena kebijaksanaan dan ilmu tinggi. Di sisinya berdiri Aryo Helap, tubuhnya lebih ramping, tapi aura ketenangannya tak kalah kuat.
Tanpa memberi waktu, Aryo Helap mengangkat tangan. “Maaf, wahai lelaki. Kami tak punya urusan pribadi. Tapi kami tak bisa diam melihatmu melukai orang di tempat gelap.”
Sebelum Hadiningrat sempat menjelaskan, Aryo Helap sudah melangkah cepat. Tangannya bergetar, mengeluarkan pancaran cahaya biru. Jurus Sabetan Pancasona melesat, menghantam dinding tempat Hadiningrat berdiri.
Hadiningrat terlonjak, tapi cepat menangkis dengan jurus Jengkar 12, teknik rahasia dari aliran langit putih. Tabrakan dua tenaga dalam itu membuat udara bergetar seperti guntur pecah di dada bumi.
Aryowirojo maju satu langkah. “Berhentilah melawan, sebelum aku ikut turun tangan.”
Namun Hadiningrat tersenyum tipis. “Aku hanya menolong. Tapi tampaknya dua pendekar muda ingin menguji kesaktian.”
Ia mengangkat tangan kanan. Seketika, cahaya merah muda berputar membentuk pusaran di sekelilingnya. Itu Aji gelap ngampar!
Benturan tenaga dalam berikutnya membuat mobil-mobil di parkiran terguling. Lampu-lampu padam seketika. Gresik, malam itu, seperti kembali ke masa silam.
Benturan Tiga Cahaya
Aryowirojo mengubah posisi kuda-kuda. Kedua matanya berkilat memantulkan sinar rembulan. “Jurusmu… tidak asing.”
Hadiningrat menatap tajam. “Kau juga memakai teknik yang sama.”
Gerakan mereka berhenti bersamaan. Hening menyelimuti udara. Bahkan suara jangkrik seolah menunggu kelanjutan duel ini.
Aryo Helap maju, wajahnya sedikit ragu. “Apakah kau… murid dari Kiai Syahruzzain?”
Hadiningrat tersentak kecil. “Tidak. Tapi guruku, Kiai Syarifuddin, adalah kakak seperguruannya.”
Keheningan berubah menjadi ketakjuban. Aryowirojo menurunkan tangan.
“Astaghfirullah…ghi' Tongghãl ghuru.” ujar Aryowirojo dalam bahasa Madura yang artinya (Astaghfirullah.. Masih dari guru yang sama).
Senyum pelan muncul di wajah Hadiningrat. “Mungkin inilah sebabnya jurus kita serupa.”
Perempuan yang sejak tadi bersembunyi di balik pilar perlahan mendekat. “Maafkan aku, Tuan. Kalian salah paham karena aku berteriak minta tolong.”
Aryo Helap menatapnya lembut. “Jelaskan semuanya, Nona.”
Gadis itu bercerita singkat. Yakni ia baru pulang kerja dari kawasan pelabuhan, dicegat oleh segerombolan bandit. Raden Hadiningrat datang menolong, dan teriakannya rupanya juga didengar oleh Aryowirojo dan Aryo Helap yang tengah melintas setelah menunaikan salat Isya di masjid tua dekat situ.
Semua mata saling bertemu dalam senyum penuh pengertian. Malam yang tegang berangsur damai.
Kesepakatan di Bawah Langit Gresik
“Sudahlah, jangan disesali,” kata Aryowirojo lembut. “Yang penting, niat kita semua sama: menegakkan kebenaran.”
Hadiningrat mengangguk. “Benar. Dan semoga tidak ada lagi kesalahpahaman semacam ini.”
Aryo Helap, yang sejak tadi menatap arah utara, tiba-tiba berkata, “Kami hendak ke Makam Sunan Drajat besok pagi. Setelah itu, menuju Sunan Bonang, baru ke Jombang, menemui guru kami, Kiai Syahruzzain.”
Hadiningrat tampak terkejut. “Ah… kebetulan sekali. Aku juga berniat menemui beliau. Belakangan ini aku sering bermimpi aneh, seolah Kiai Syahruzzain memanggilku lewat mimpi. Mungkin ada pertanda.”
“Berarti kita satu tujuan,” sahut Aryowirojo sambil tersenyum. “Tapi sebelum itu, gadis ini harus diantar pulang.”
Gadis itu menunduk hormat. “Namaku Raras, rumahku di Camplung Panceng.”
“Baiklah,” ucap Hadiningrat. “Aku punya mobil Pajero, kita bisa berangkat sekarang.”
Namun Aryo Helap tiba-tiba mengangkat tangan. “Sebentar!” katanya dengan nada bersemangat. “Bagaimana kalau kita beli kereta kuda saja? Perjalanan jadi lebih santai. Kita bisa berhenti kapan pun, mengopi, menghisap rokok, dan berdiskusi.”
Aryowirojo tertawa kecil. “Kau memang selalu punya ide unik.”
Hadiningrat ikut tertawa. “Kalau begitu, aku yang bayar kudanya.”
Malam itu mereka bertiga berangkat ke pasar hewan kecil di pinggir kota. Seekor kuda jantan coklat dengan bulu berkilau dan kereta kuda agak memanjang menjadi pilihan mereka.
Perjalanan Tiga Pendekar dan Satu Gadis
Angin subuh Gresik berhembus lembut saat roda kereta kayu berderit perlahan di jalanan desa. Cahaya jingga mulai merekah dari timur, menembus sela pepohonan kelapa.
Aryowirojo duduk di belakang, mengaduk kopi dalam cangkir logam. “Kau tahu, Helap,” katanya pelan, “ilmu pengetahuan modern tak bisa dipisahkan dari spiritualitas. Alam semesta ini bukan sekadar materi. Semua punya ruh.”
Aryo Helap mengangguk sambil memegang kendali kuda. “Aku setuju. Bahkan Einstein pun mengakui bahwa di balik keteraturan alam, ada kekuatan yang tak terjelaskan.”
Hadiningrat menimpali, “Itulah sebabnya, para ulama dahulu mengajarkan ilmu alam dan ilmu batin bersamaan. Mereka menyelami rahasia ciptaan, bukan hanya memandangnya.”
Raras mendengarkan dengan mata berbinar. “Kalian seperti bicara dari masa lalu… tapi dengan cara yang sangat menenangkan.”
“Karena ilmu sejati tak lekang oleh waktu,” jawab Aryowirojo.
Kereta mereka melewati persawahan luas. Di kejauhan tampak kubah masjid tua dan menara Sunan Giri berdiri megah di punggung bukit. Setiap melewati makam wali, mereka berhenti sejenak, membaca doa, dan menundukkan kepala penuh hormat.
Di sepanjang perjalanan menuju Sunan Drajat, mereka berdiskusi tentang ayat-ayat alam, perbedaan antara pengetahuan manusia dan hikmah ketuhanan, juga tentang bagaimana menjaga niat agar ilmu tidak berubah menjadi kesombongan.
Hadiningrat beberapa kali bercerita tentang masa mudanya di pesantren Kiai Syarifuddin, yaitu, tentang malam-malam ketika ia diajari menundukkan nafsu melalui zikir panjang di bawah pohon sawo tua. Aryowirojo dan Aryo Helap mendengarkan dengan khusyuk, saling melengkapi cerita dengan kisah dari Syahruzzain.
Ziarah dan Petunjuk Gaib
Mereka lepas landas ke Sunan Drajat setelah mengantar Raras ke Camplung Panceng. Angin laut membawa aroma garam dan bunga melati.
Tiba-tiba, Hadiningrat membuka mata, wajahnya berubah serius. “Aku mendengar bisikan…” katanya lirih.
Aryowirojo menatapnya. “Dari siapa?”
“Seseorang menyebut nama Kiai Syahruzzain. Ia berkata: datanglah sebelum rembulan purnama ketiga, karena badai ilmu akan turun di Jombang.”
Mereka terdiam. Angin berhenti berhembus. Bahkan dedaunan pun seolah membeku.
Aryo Helap menarik napas panjang. “Berarti kita harus segera menuju ke Makam Kanjeng Sunan Bonang, lalu ke Jombang.”
Hadiningrat mengangguk. “Tapi hati-hati. Mimpi ini bukan sekadar pertanda. Ada sesuatu besar menanti.”
Menuju Sunan Bonang
Perjalanan dari Lamongan menuju Tuban berlangsung dua hari. Mereka melewati desa-desa kecil, berbincang dengan petani, berdakwah ringan di mushala, bahkan menolong orang-orang yang kesulitan di jalan.
Di malam kedua, ketika kereta berhenti di tepi pantai, Aryowirojo menatap langit bertabur bintang. “Kau tahu, Helap,” katanya lembut, “kadang manusia mengira musuhnya berada di luar. Padahal sering kali musuh sejati ada di dalam dirinya sendiri.”
Aryo Helap tersenyum. “Dan itulah kesalahan kita malam itu. Kita terlalu cepat menilai.”
Hadiningrat menunduk, mengamini. “Namun kesalahan yang diakui, menjadi jembatan menuju hikmah.”
Pertemuan Tiga Saudara Ilmu
Akhirnya, menjelang fajar ketiga, mereka tiba di Makam Sunan Bonang. Udara pagi di Tuban terasa sakral. Burung-burung menari di atas pepohonan kamboja.
Ketiganya menunduk lama. Dalam keheningan itu, Aryowirojo berdoa: “Ya Allah, lindungilah perjalanan kami menuju Jombang. Jadikan setiap langkah kami cahaya yang menerangi hati.”
Hadiningrat kemudian menatap dua saudara seperguruannya. “Setelah ini, aku tak lagi berjalan sendiri. Mari kita melangkah bersama menuju sang guru.”
Aryo Helap tersenyum lebar. “Dan semoga tak ada lagi salah paham yang memisahkan kita.”
Aryowirojo menatap ke timur, di mana mentari mulai terbit. “Lihatlah cahaya itu… seperti tanda bahwa ilmu, bila dijalankan dengan ikhlas, akan selalu membawa terang.”
Kereta kuda pun kembali bergerak perlahan, meninggalkan jejak roda di pasir lembut pantai. Di atasnya, tiga pendekar melanjutkan perjalanan spiritual. Yakni menuju guru, menuju ilmu, dan menuju cahaya kebenaran.
Saat sampai ke wilayah jombang, mereka dihadang oleh seorang berpakaian serba hitam dengan caping petani. Orang itu menghentakkan kaki ke tanah. Secara tiba-tiba, kereta berhenti. Ketika pendekar dalam kereta saling pandang.
"Tampaknya kali ini, kita akan mengeluarkan ajian hingga tuntas," kata Aryo Helap memecah lamunan mereka.*
Penulis: Fau
Disclaimer: Kisah di atas hanya fiktif atau hanya imajinasi penulis. Sehingga apabila ada kesamaan tokoh dan latar, Tintanesia memohon untuk dimaklumi.
