7 Mitos Menanam Padi di Jawa yang Dipercaya Hingga Sekarang
![]() |
| Ilustrasi tradisi petani Jawa saat menanam padi. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia) |
Tintanesia - Di banyak desa di Pulau Jawa, kegiatan menanam padi bukan sekadar pekerjaan yang berkaitan dengan tanah dan air. Kegiatan itu mengandung nilai spiritual yang diwariskan turun-temurun. Para petani memandang sawah sebagai ruang hidup di mana manusia, alam, dan hal-hal tak terlihat saling terhubung.
Hingga kini, masih ada keyakinan bahwa padi bukan hanya tanaman pangan, tetapi juga simbol rezeki yang diberkahi. Karena itu, setiap tahap penanaman padi diperlakukan dengan hati-hati, seolah ada aturan halus yang tidak boleh dilanggar. Tradisi tersebut hadir bukan karena ketakutan, tetapi karena rasa hormat terhadap sumber kehidupan.
Di balik gemericik air irigasi dan langkah kaki para petani yang terbenam lumpur hangat, hidup mitos-mitos yang memberi warna dalam proses bercocok tanam.
7 Mitos Tanam Padi di Jawa
Sebagian orang menyebutnya kepercayaan lama, namun bagi banyak petani, keyakinan tersebut tetap relevan. Ada nuansa lembut dalam tradisi menanam padi ini, seolah alam sedang berbisik agar manusia berjalan pelan dan penuh kesadaran.
Nah, berikut ini adalah 7 mitos menanam padi yang masih dipercaya oleh masyarakat Jawa hingga sekarang:
1. Hari Baik Menanam Padi Menentukan Keberhasilan Panen
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, memilih hari baik adalah langkah awal sebelum bibit ditanam. Hitungan kalender Jawa digunakan untuk menentukan waktu yang dipercaya membawa keberuntungan. Hari yang tepat diyakini dapat menarik keseimbangan dan kemakmuran.
Sebagian petani masih mencari nasihat dari orang yang dianggap memahami hitungan hari. Bagi mereka, keputusan ini bukan sekadar ritme musim, tetapi juga bagian dari tata cara menghormati waktu. Karena dalam pandangan tradisi, waktu bukan hanya angka, melainkan energi yang bergerak bersama kehidupan.
2. Menanam dengan Jumlah Bibit Tertentu
Ada mitos yang menyebutkan bahwa menanam bibit padi harus dalam jumlah tertentu, seperti satu atau tiga batang dalam satu lubang. Keyakinan ini dipercaya menciptakan keselarasan antara tanaman dan tanah. Setiap jumlah dianggap memiliki makna simbolis yang berkaitan dengan keseimbangan.
Petani yang mengikuti kepercayaan ini melakukannya dengan ketelitian yang tenang. Tidak ada yang tergesa-gesa karena penanaman dianggap sebagai proses yang sakral. Melalui langkah tersebut, kegiatan bercocok tanam terasa seperti ritual yang halus dan penuh penghormatan.
3. Larangan Berbicara Kasar di Sawah
Beberapa desa di Jawa masih meyakini bahwa sawah adalah ruang yang harus dijaga kesopanannya. Ucapan kasar atau kalimat yang memuat kemarahan dipercaya dapat memengaruhi pertumbuhan padi. Kepercayaan ini membentuk atmosfer yang damai di tengah hamparan hijau.
Aturan tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi, melainkan mengingatkan bahwa rezeki membutuhkan sikap lembut. Petani menganggap sawah sebagai tempat yang mendidik kesabaran melalui waktu. Bagi mereka, ucapan memiliki energi yang mampu mempengaruhi perjalanan hidup tanaman.
4. Kehadiran Burung Tertentu Dianggap Pertanda
Burung tertentu yang muncul di sawah sering dianggap sebagai pertanda bagi para petani. Burung prenjak misalnya, dipercaya membawa tanda baik bagi keberlangsungan musim tanam. Kehadirannya dianggap sebagai pesan alam yang menyampaikan kabar.
Sebaliknya, ada burung lain yang dipercaya melambangkan peringatan agar petani lebih waspada. Keyakinan ini berasal dari hubungan panjang antara manusia dan lingkungan. Petani membaca tanda-tanda itu dengan hati, bukan sekadar pengamatan biasa.
5. Dilarang Menyapu Lantai Rumah Setelah Menanam
Salah satu mitos yang masih dipercaya adalah larangan menyapu lantai rumah setelah selesai menanam padi. Masyarakat meyakini tindakan tersebut akan “menghapus” keberuntungan yang baru saja ditanam. Simbol ini menjadi pengingat bahwa rezeki harus dijaga dengan sikap sadar.
Larangan ini juga melambangkan penghormatan terhadap usaha yang baru dilakukan. Dalam kepercayaan tersebut, rezeki tidak boleh disia-siakan atau tergesa-gesa dihapus. Ada makna halus bahwa keberuntungan perlu diberi waktu untuk menetap.
6. Sajen untuk Dewi Sri Sebagai Penjaga Padi
Dewi Sri dalam budaya Jawa dipercaya sebagai simbol kesuburan dan penjaga tanaman padi. Beberapa masyarakat masih memberikan sajen sederhana pada awal musim tanam sebagai tanda syukur. Tradisi ini bukan penyembahan, tetapi bentuk penghormatan terhadap sumber kehidupan.
Sajen sering berupa bunga, singkong rebus, atau air bersih yang ditaruh di dekat sawah. Tindakan kecil ini dianggap sebagai permohonan agar padi tumbuh dengan baik dan bebas dari gangguan. Para petani melakukannya dengan niat tulus, bukan sekadar mengikuti tradisi.
7. Tidak Boleh Marah Saat Mengikat Padi Siap Panen
Ada mitos bahwa saat padi sudah menguning dan mulai diikat, petani tidak boleh menunjukkan amarah. Energi marah dipercaya dapat memengaruhi kualitas gabah. Keyakinan ini menegaskan bahwa panen harus dilakukan dengan hati yang tenang.
Proses panen dianggap sebagai momen penutup dari siklus kehidupan tanaman. Karena itu, suasana harus penuh rasa syukur, bukan kekacauan emosi. Bagi masyarakat yang masih mempercayainya, panen adalah perayaan yang lahir dari harmoni antara manusia, alam, dan rezeki.
Tradisi dan kepercayaan dalam bercocok tanam padi adalah cermin hubungan manusia dengan alam. Mitos bukan sekadar cerita lama, tetapi kesadaran bahwa hidup memiliki irama yang lebih halus daripada apa yang terlihat. Melalui keyakinan tersebut, petani diajak menjaga sikap, waktu, dan rasa hormat terhadap sumber kehidupan.*
Penulis: Fau
