Berikut 10 Pamali yang Masih Dipercaya oleh Gen Z
![]() |
| Ilustrasi Gen Z yang masih Percaya dengan Pamali. (Ilustrasi dibuat dengan AI Co-pilot/Tintanesia) |
Tintanesia - Di tengah dunia yang serba digital ini, ternyata pamali masih berbisik di hati sebagian anak muda. Gen Z yang dikenal rasional, ternyata tak sepenuhnya meninggalkan mitos warisan leluhur. Pasalnya di sela tren dan teknologi, ada ruang kecil untuk rasa takut pada hal-hal tak terlihat. Diketahui larangan-larangan itu, diwariskan turun-temurun dari generasi sebelumnya.
Perlu diketahui, pamali bukan hanya tentang sial atau keberuntungan, tetapi tentang keselarasan antara manusia dan alam sekitarnya. Di balik kata “jangan” ternyata tersimpan pesan moral, bahkan peringatan spiritual yang lembut. Dalam pandangan masyarakat Nusantara, pamali adalah tanda tak tertulis agar manusia tak melupakan keseimbangan hidup.
Asal-Usul dan Latar Budaya Pamali
Sekilas, istilah pamali berasal dari bahasa Sunda yang berarti “pantangan” atau “tidak baik dilakukan.” Dalam tradisi Jawa, konsep serupa dikenal dengan “larangan” atau “pantangan hidup.” Fungsinya bukan sekadar menakuti, melainkan mendidik lewat simbol dan rasa hormat terhadap alam gaib serta norma sosial.
Pamali diyakini lahir dari kearifan leluhur yang ingin menanamkan sopan santun tanpa paksaan. Larangan itu, menjadi bentuk komunikasi halus antara manusia dan alam roh. Karena itu, hingga kini, meski dibalut gaya hidup modern, pamali tetap dianggap punya daya magis yang tak bisa dijelaskan dengan logika semata.
Cerita Rakyat dan Legenda yang Menghidupkan Pamali
Banyak kisah rakyat menjadi dasar pamali yang beredar hingga kini. Misalnya, legenda anak yang bersiul di malam hari lalu hilang tanpa jejak, atau kisah seorang gadis yang duduk di ambang pintu hingga jodohnya tak kunjung datang. Cerita semacam ini menumbuhkan rasa takut, tapi juga rasa hormat pada hal-hal tak kasatmata.
Kisah-kisah itu biasanya disampaikan lewat dongeng, percakapan dapur, atau pesan nenek di sore hari. Dengan begitu, pamali tidak hanya berfungsi sebagai larangan semata. Melainkan juga, pengikat batin antara generasi. Cerita membuat pamali hidup lebih lama dari penuturnya.
10 Pamali yang Masih Dipercaya oleh Gen Z
Berikut ini adalah 10 Pamali yang dipercaya gen z:
1. Jangan Menyapu di Malam Hari
Pamali ini masih sering diingatkan oleh orang tua kepada anak muda. Yakni, jangan menyapu di malam hari karena bisa membuang rezeki. Dalam kepercayaan lama, malam adalah waktu roh-roh halus berkeliaran, dan menyapu dianggap bisa “menyapu” keberuntungan yang baru datang.
Namun di balik nuansa mistis itu, tersimpan pesan praktis. Dulu, ketika belum ada listrik, menyapu malam hari bisa membuat barang kecil terbuang tanpa sadar. Kini, Gen Z mungkin tak sepenuhnya percaya, tapi sebagian tetap menghindarinya. Bukan karena takut sial, melainkan menghormati tradisi.
2. Duduk di Ambang Pintu
Larangan duduk di ambang pintu dipercaya dapat menghalangi datangnya jodoh. Dalam pandangan spiritual, ambang pintu adalah batas antara dunia luar dan dalam. Jadi semacam simbol transisi antara dua energi. Duduk di sana dianggap menghalangi aliran rezeki maupun keberuntungan yang hendak masuk.
Secara sosial, pamali ini juga punya makna sopan santun. Orang yang duduk di pintu bisa menghalangi jalan tamu atau penghuni rumah. Maka, di balik ancaman “jodoh menjauh,” tersimpan ajaran tentang etika dan kesadaran ruang. Jadi seperti ada nilai yang masih relevan bahkan di zaman modern ini.
3. Bersiul di Malam Hari
Pamali ini sangat populer di kalangan remaja. Dulu, masyarakat percaya bahwa bersiul di malam hari bisa mengundang makhluk halus yang tertarik pada suara manusia. Banyak cerita rakyat menggambarkan arwah penasaran yang datang mengikuti suara siulan lembut di udara malam.
Kini, Gen Z mengenalnya melalui konten horor di media sosial. Meski sebagian hanya menganggapnya mitos lucu, banyak yang masih enggan bersiul setelah gelap. Pamali ini menjadi contoh bagaimana tradisi lama bertransformasi menjadi bagian dari budaya digital yang tetap sarat misteri.
4. Memotong Kuku di Malam Hari
Dalam kepercayaan lama, memotong kuku saat malam dipercaya bisa membawa kesialan, bahkan menyebabkan kematian anggota keluarga. Suasana malam dianggap waktu bagi roh-roh untuk beristirahat, sehingga aktivitas memotong sesuatu dianggap mengganggu keseimbangan.
Secara logis, pamali ini muncul karena penerangan zaman dahulu sangat terbatas. Memotong kuku di kegelapan berisiko melukai jari. Kini, meski pencahayaan modern tersedia, banyak Gen Z tetap menundanya sampai siang hari. Sebenarnya sih bukan karena takut, tapi karena rasa hormat terhadap “aturan lama.”
5. Tidur Saat Magrib
Pamali tidur saat Magrib sering dihubungkan dengan kedatangan makhluk halus. Waktu Magrib dipercaya sebagai masa peralihan di mana dunia manusia dan dunia gaib bersinggungan. Tidur di saat itu, dianggap membuka celah bagi gangguan roh halus.
Di sisi lain, pamali ini mengandung pesan kedisiplinan. Leluhur ingin anak-anak mereka tidak malas dan tetap terjaga di waktu transisi, ketika kegiatan rumah tangga dan ibadah berlangsung. Kini, Gen Z menafsirkannya sebagai ajakan agar lebih aktif dan tidak terlena di waktu penting.
6. Makan di Depan Pintu
Makan di depan pintu diyakini bisa menutup jalan rezeki. Dalam simbolisme mistis, pintu adalah gerbang energi kehidupan. Menjadikannya tempat makan dianggap mengotori jalur keberuntungan. Karena itu, banyak orang tua menegur anaknya yang melakukan hal ini.
Di balik kepercayaan itu, terdapat logika sosial yang kuat. Makan di depan pintu bisa menghalangi orang lewat, menciptakan kesan tidak sopan. Nilai kesantunan inilah yang masih dipegang banyak Gen Z, bahkan ketika alasan spiritualnya mulai memudar.
7. Menunjuk Pelangi
Dalam beberapa budaya Nusantara, pelangi dianggap sebagai jembatan para dewa atau pertanda suci. Menunjuknya dengan jari telunjuk, diyakini sebagai tindakan kurang hormat terhadap ciptaan langit. Yakni dipercaya bisa mendatangkan bencana kecil seperti jari menjadi bengkok.
Pamali ini sebenarnya mengajarkan rasa kagum dan penghormatan terhadap alam. Leluhur menginginkan, manusia menikmati keindahan tanpa kesombongan. Maka, mitos “jangan menunjuk pelangi” menjadi pelajaran agar manusia bersikap rendah hati di hadapan keajaiban semesta.
8. Tidur Menghadap Cermin
Pamali tidur menghadap cermin dipercaya dapat mengundang roh penasaran atau membuat seseorang bermimpi buruk. Cermin dianggap sebagai “pintu lain” yang bisa memantulkan bukan hanya bayangan, tapi juga dunia gaib.
Secara psikologis, pantulan diri di malam hari dapat menimbulkan rasa gelisah. Pasalnya kilatan cahaya dari cermin bisa mengganggu tidur seseorang. Karena itu, meski penjelasannya kini rasional, banyak anak muda, yang masih memilih menutup cermin sebelum tidur. Semacam sekadar untuk merasa aman.
9. Menyisir Rambut di Tengah Malam
Menyisir rambut di tengah malam, dipercaya bisa mengundang kehadiran arwah perempuan. Suara sisir yang menggesek rambut dianggap panggilan bagi makhluk gaib yang berkeliaran. Mitos ini populer dalam kisah urban legend dan sering muncul di film horor lokal.
Sebenarnya, larangan ini muncul dari kebiasaan menjaga kesehatan. Menyisir malam hari dapat menyebabkan rambut rontok karena udara lembap dan kurang penerangan. Kini, pamali itu menjadi simbol kehati-hatian antara kecantikan dan ketenangan malam.
10. Menyisakan Makanan di Piring
Pamali ini sering diingatkan dengan kalimat “nanti makanannya menangis.” Dulu, orang percaya bahwa makanan memiliki roh kecil pemberi rezeki. Menyisakannya berarti tidak menghormati pemberian alam.
Di sisi lain, pesan moralnya sangat kuat. Yakni, jangan boros dan hargai makanan. Di tengah era konsumtif, nilai sederhana ini tetap relevan bagi Gen Z. Pamali ini mengajarkan kesadaran untuk bersyukur dan tidak berlebihan.
Refleksi di Tengah Warisan Leluhur
Pada intinya bagi Gen Z, pamali mungkin tak lagi menakutkan, tapi tetap menarik. Di dalamnya, ada identitas budaya yang memberi warna pada kehidupan modern. Pamali bukan sekadar mitos, tapi cermin hubungan manusia dengan nilai moral dan alam semesta.
Menjaga pamali berarti menghormati masa lalu tanpa harus terjebak di dalamnya. Kok bisa? Jawabannya, karena warisan halus yang mengingatkan bahwa tak semua hal bisa dijelaskan oleh logika, namun bisa dirasakan lewat kebijaksanaan leluhur.*
Penulis: Fau
