Upacara Adat Baritan Jawa Memiliki Makna Spiritual Mendalam
![]() |
Ilustrasi doa di tradisi Baritan/Pixabay/Mohamed_hassan |
Tintanesia - Tradisi Baritan merupakan upacara adat komunal yang masih terpelihara di berbagai wilayah Pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kata “baritan” diyakini berasal dari bahasa Arab bari’an atau baroah yang berarti kebaikan serta keberkahan.
Makna tersebut menggambarkan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas limpahan rezeki, sekaligus bentuk permohonan keselamatan agar terhindar dari bencana.
Sejak masa lampau, Baritan tumbuh dari akar kepercayaan animisme dan dinamisme yang hidup di tengah masyarakat Jawa kuno. Dalam kepercayaan itu, keselamatan manusia dianggap bergantung pada keseimbangan hubungan antara dunia nyata dan alam gaib. Ketika ajaran Hindu-Buddha dan Islam datang, tradisi ini beradaptasi sehingga membentuk perpaduan budaya dan spiritual yang harmonis.
Masyarakat memandang Baritan sebagai cara menenangkan batin sekaligus meneguhkan rasa syukur atas karunia alam. Ritual ini tidak hanya menjadi sarana komunikasi dengan Sang Pencipta, tetapi juga simbol kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan hidup. Dari sinilah Baritan bertahan sebagai wujud keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan yang Maha Esa.
Waktu dan Cara Pelaksanaan Tradisi Baritan
Waktu pelaksanaan Baritan biasanya jatuh pada bulan Muharam atau bulan Suro dalam kalender Jawa. Bulan ini dianggap suci dan menjadi momen refleksi bagi masyarakat untuk memperbarui niat serta memohon berkah kehidupan. Beberapa daerah menggelarnya menjelang waktu Magrib, melambangkan peralihan antara terang dan gelap yang sarat makna filosofis.
Persiapan dilakukan dengan gotong royong, melibatkan seluruh warga tanpa memandang status sosial. Mereka membersihkan tempat pelaksanaan seperti perempatan jalan, balai desa, atau halaman rumah kepala dusun. Suasana desa menjadi semarak karena setiap keluarga turut menyiapkan takir (wadah makanan dari daun pisang berisi nasi, lauk pauk, serta hasil bumi).
Setelah azan Magrib atau Isya, warga berkumpul dan meletakkan takir di tengah lingkaran besar. Doa bersama dipimpin oleh tokoh agama atau sesepuh desa untuk memohon perlindungan dan rezeki yang melimpah. Usai doa, makanan dibagikan lalu dimakan bersama, menjadi simbol kebersamaan, kesetaraan, dan rasa persaudaraan yang kental.
Makna Spiritual dan Nilai Sosial dalam Baritan
Tradisi Baritan mengandung pesan moral yang sangat mendalam tentang kehidupan manusia dan hubungannya dengan alam. Nilai pertama adalah rasa syukur atas nikmat Tuhan yang telah memberikan hasil bumi, laut, maupun kesejahteraan bagi warga. Melalui rasa terima kasih ini, masyarakat belajar untuk tidak serakah dan selalu menjaga harmoni dengan lingkungan sekitar.
Selain itu, Baritan mencerminkan nilai kebersamaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Seluruh warga tanpa terkecuali saling membantu dalam persiapan, pelaksanaan, hingga pembersihan setelah acara usai. Semangat inilah yang menjadikan Baritan tidak hanya ritual spiritual, tetapi juga wadah mempererat silaturahmi antarwarga.
Makna lain dari tradisi ini adalah keyakinan terhadap kekuatan doa sebagai penolak bala dan penjemput berkah. Baritan dipercaya mampu menjaga desa dari wabah, bencana, atau hal buruk yang mengganggu keseimbangan hidup. Melalui ritual sederhana, masyarakat merasa lebih tenang karena yakin telah menyerahkan nasibnya kepada kehendak Tuhan.
Variasi Tradisi Baritan di Berbagai Daerah Jawa
Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam melaksanakan Baritan, namun tujuannya tetap sama yaitu memohon keselamatan dan kesejahteraan. Di Banyumas, Baritan diadakan sebagai ritual kesuburan dan doa turun hujan demi hasil pertanian yang baik. Sementara di Blitar, upacara ini menjadi rangkaian penyambutan Tahun Baru Hijriah yang dikenal sakral di bulan Suro.
Pemalang memiliki tradisi Baritan yang berpadu dengan upacara Sedekah Laut sebagai ungkapan syukur nelayan atas hasil tangkapan melimpah. Di Dongko, Kabupaten Trenggalek, Baritan dipertahankan sebagai warisan budaya yang memperkuat nilai gotong royong dan rasa memiliki terhadap adat leluhur. Sementara di Jakarta, masyarakat Betawi mengenal tradisi ini sebagai Bebarit, bentuk penghormatan terhadap roh penjaga kampung.
Perbedaan bentuk pelaksanaan di tiap daerah menunjukkan keluwesan budaya Jawa dalam menyesuaikan nilai-nilai lokal. Meskipun tata cara berbeda, seluruhnya menyatukan doa dan kebersamaan dalam semangat yang sama. Hal ini menegaskan bahwa tradisi bukan hanya peninggalan masa lalu, melainkan identitas yang hidup dan terus berkembang di tengah masyarakat modern.
Pelestarian Tradisi Baritan di Era Modern
Di tengah arus globalisasi, Baritan tetap menjadi simbol identitas dan kebanggaan masyarakat Jawa. Banyak komunitas budaya serta pemerintah daerah kini aktif melestarikan tradisi ini melalui festival budaya dan kegiatan edukatif. Generasi muda diajak memahami filosofi di balik setiap prosesi agar nilai-nilainya tidak hilang ditelan zaman.
Pelestarian Baritan bukan hanya tentang mempertahankan ritual, tetapi juga menjaga nilai spiritual dan sosial yang dikandungnya. Setiap doa, makanan, dan kebersamaan di dalamnya menjadi media pendidikan moral bagi masyarakat. Dengan melestarikan tradisi ini, warga sesungguhnya sedang menjaga akar budaya sekaligus memperkuat karakter bangsa.
Tradisi Baritan mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak hanya diperoleh dari materi, tetapi juga dari ketenangan batin dan persaudaraan sejati. Melalui ritual sederhana itu, masyarakat Jawa menunjukkan keseimbangan antara spiritualitas, budaya, dan kehidupan sosial. Inilah warisan luhur yang patut dijaga agar tetap mengakar kuat dalam perjalanan peradaban Indonesia.
Penulis: Sdw