Pria di Atas 30 Tahun Sulit Menikah Dianggap Mitos, Atau Takut Nafkahi Istri?
![]() |
Ilustrasi Pria Menikah meski belum umur 30 tahun/Pixabay/scottwebb |
Tintanesia - Fenomena pria berusia di atas 30 tahun yang belum menikah kerap menimbulkan beragam pandangan di masyarakat. Bahkan sebagian orang mengaitkannya dengan kepercayaan lama yakni mitos. Sementara yang lain, menilai karena faktor ekonomi dan mental. Menurut Tintanesia, keduanya menarik untuk dibahas karena mencerminkan perubahan cara berpikir antara tradisi dan realitas masa kini.
Mitos dan Fakta di Jawa
Dalam budaya Jawa, menikah dianggap bagian dari perjalanan hidup yang sempurna. Seseorang yang belum menikah di usia matang sering dinilai belum “tuntas” secara sosial maupun spiritual. Pandangan ini melahirkan berbagai cerita turun-temurun yang mengaitkan keterlambatan jodoh dengan hal mistis atau pengaruh gaib.
Namun di sisi lain, generasi modern memiliki sudut pandang berbeda terhadap pernikahan. Pria masa kini lebih rasional dalam mempertimbangkan keputusan hidup, termasuk soal pasangan. Banyak di antara mereka yang memilih menunda menikah bukan karena tidak laku, tetapi karena ingin benar-benar siap secara lahir dan batin.
Mitos Pria 30 Tahun Sulit Menikah Masih Hidup di Tengah Masyarakat
Dalam kepercayaan tradisional Jawa, pria yang berumur di atas tiga puluh tahun dan belum menikah sering dianggap “jauh dari jodoh”. Masyarakat lama percaya bahwa seseorang bisa dihalangi oleh kekuatan tak kasatmata, bahkan diyakini jodohnya sudah “diambil” makhluk halus. Mitos seperti ini bertahan karena diwariskan melalui cerita keluarga dan nasihat orang tua.
Sebagian orang juga meyakini bahwa menunda pernikahan dapat menghambat rezeki. Keyakinan tersebut didasarkan pada pandangan bahwa menikah akan membuka pintu keberkahan dan memperlancar kehidupan. Meski begitu, secara logika modern, anggapan ini tidak memiliki dasar ilmiah dan lebih bersifat simbolik sebagai dorongan agar seseorang tidak hidup terlalu individualis.
Kepercayaan semacam itu sebenarnya mencerminkan nilai sosial masyarakat masa lalu. Dulu, menikah di usia muda dianggap wajar karena tuntutan lingkungan yang menilai stabilitas hidup dari pernikahan. Kini, mitos tersebut perlahan bergeser maknanya, karena masyarakat semakin memahami bahwa kesiapan emosional dan ekonomi jauh lebih penting dibanding sekadar mengejar usia.
Faktor Nyata: Takut Menafkahi dan Kesiapan Finansial
Jika dilihat dari kondisi sosial saat ini, alasan utama pria berusia tiga puluhan belum menikah lebih banyak disebabkan oleh realitas hidup. Banyak yang menunda pernikahan karena masih berjuang menata karier atau belum memiliki kestabilan finansial. Tekanan ekonomi yang tinggi membuat sebagian pria takut gagal menafkahi pasangan setelah menikah.
Selain masalah ekonomi, muncul pula kekhawatiran tidak mampu memikul tanggung jawab rumah tangga. Menikah bukan hanya soal cinta, tetapi juga tentang komitmen, pengorbanan, serta kemampuan menjaga keseimbangan keluarga. Oleh sebab itu, banyak pria memilih menunggu hingga merasa benar-benar mapan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.
Di sisi lain, perubahan gaya hidup dan standar sosial turut memengaruhi cara berpikir generasi masa kini. Pria modern cenderung lebih selektif dalam memilih pasangan dan tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan besar. Pandangan ini menunjukkan bahwa keterlambatan menikah bukan pertanda ketakutan terhadap pernikahan, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap masa depan.
Antara Kepercayaan Tradisional dan Realitas Modern
Mitos tentang pria berumur tiga puluh tahun ke atas yang sulit menikah sebenarnya lahir dari pandangan masyarakat yang menilai pernikahan sebagai ukuran kesuksesan hidup. Di masa lalu, seseorang dianggap belum “dewasa” sebelum memiliki pasangan dan keluarga. Karena itu, cerita mistis sering digunakan sebagai peringatan agar pria tidak menunda pernikahan terlalu lama.
Namun, jika dilihat dari sudut pandang modern, alasan sulit menikah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor psikologis dan ekonomi. Pria masa kini dihadapkan pada tekanan sosial, biaya hidup tinggi, serta tuntutan untuk mapan sebelum membangun rumah tangga. Kondisi ini menimbulkan kecemasan tersendiri dan membuat mereka memilih berhati-hati sebelum berkomitmen.
Perbedaan pandangan antara tradisi dan realitas ini mencerminkan perubahan zaman yang sangat signifikan. Dulu, ketakutan terhadap mitos menjadi dorongan sosial agar pria segera menikah. Sekarang, ketakutan itu bergeser menjadi kekhawatiran akan kemampuan finansial dan kesiapan mental menghadapi kehidupan berkeluarga.
Mitos Tak Sepenuhnya Salah, Tapi Alasan Nyatanya Lebih Rasional
Dapat disimpulkan bahwa pria berusia di atas tiga puluh tahun sulit menikah bukan semata-mata karena mitos. Faktor utama yang paling berpengaruh adalah kesiapan finansial, tekanan ekonomi, dan tanggung jawab hidup. Rasa takut tidak mampu menafkahi istri menjadi alasan realistis yang jauh lebih masuk akal dibanding kepercayaan mistis.
Meski begitu, keberadaan mitos tetap memiliki nilai budaya tersendiri dalam masyarakat Jawa. Cerita lama itu berfungsi sebagai pengingat bahwa pernikahan bukan hanya soal cinta, melainkan juga kewajiban moral dan sosial. Dengan memahami dua sisi ini, seseorang bisa mengambil hikmah tanpa harus terjebak dalam ketakutan yang tidak rasional.
Pada akhirnya, menikah adalah keputusan pribadi yang memerlukan kesiapan matang. Mitos mungkin mengingatkan, tetapi realitaslah yang menentukan langkah seseorang. Pria yang memilih menunggu hingga siap bukan berarti takut, melainkan berusaha bijak menata masa depan dengan penuh tanggung jawab.*
Penulis: Fau