Pamali Makam Tanpa Doa, Misteri Tengah Malam
![]() |
| (Gambar dibuat di AI Canva/Tintanesia) |
Tintanesia, Madura
Langit sore di perbatasan Desa Tenggar Madura tampak temaram, seperti diselimuti abu tipis dari pembakaran masa lalu. Akandra, seorang kontraktor muda yang baru saja memenangkan tender proyek besar, melintasi jalan setapak menuju rumah kliennya tanpa menoleh pada makam tua di pinggir hutan. “Ah, cuma batu dan tanah! Mana ada arwah bisa ganggu manusia?” gumamnya sambil menyalakan rokok mahal yang selalu jadi simbol kesombongannya.
Setiap orang di desa itu tahu, siapa pun yang melewati makam tua wajib mengucap doa Se' Ngise' (Cara pamit orang Madura saat lewat di tempat angker), atau setidaknya menundukkan kepala sejenak. Namun bagi Akandra, semua itu hanyalah mitos tak masuk akal, warisan pikiran primitif yang tak pantas dipercaya di zaman modern. Ia lebih percaya pada logika, angka, dan keuntungan, bukan pada pamali yang tak bisa diukur dengan rumus.
Sore itu, angin berdesir membawa aroma bunga kenanga yang layu, seolah memperingatkan sesuatu. Namun Akandra tetap melangkah, membuang abu rokok di dekat nisan berlumut. Di antara semak liar, seekor burung gagak berteriak nyaring. “Sialan, burung kampung,” katanya, menendang batu nisan kecil di bawah kakinya. Di kejauhan, bayangan tipis mulai mengikuti langkahnya.
Malam yang Menguji Keangkuhan
Ketika malam turun, suasana rumah kontrakan Akandra di pinggir desa terasa tak biasa. Lampu gantung bergoyang meski angin tak berhembus, dan suara seperti bisikan terdengar dari arah jendela. “Kau lupa menunduk, anak muda,” suara lirih itu muncul di telinganya. Akandra terlonjak, tapi segera tertawa sinis.
“Halusinasi! Kurang tidur saja,” katanya mencoba menenangkan diri.
Namun pikirannya tak bisa diam. Setiap kali menutup mata, terbayang nisan yang tadi ia tendang. Entah kenapa, seolah ada wajah di batu itu dan terasa seperti menatapnya balik. Ia membuka ponsel, mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca berita ekonomi. Tapi layar HP nya tiba-tiba berubah menjadi gelap, menampilkan tulisan samar: “Kembalilah dan minta izin.”
Keringat dingin mengucur di pelipisnya. Akandra menyalakan semua lampu, tapi justru menemukan jejak tanah basah di lantai, menuju kamarnya sendiri. “Siapa di sini?!” teriaknya panik. Tak ada jawaban. Hanya angin malam yang menyusup dari celah jendela, membawa bisikan yang terdengar seperti tawa pelan.
Dialog dari Dunia Tak Terlihat
Pagi berikutnya, Akandra mendatangi warung kopi di dekat pasar. Ia menceritakan gangguan itu kepada Sarman, penjaga makam yang dikenal bijak dan pendiam. “Mungkin hanya sugesti, Pak Sarman. Tapi suaranya jelas, seperti berbicara di telinga,” katanya dengan nada yang berusaha rasional. Sarman menatapnya tajam lalu berkata perlahan, “Tidak semua yang tak terlihat berarti tak ada, Nak.”
“Pamali itu hanya cara orang tua menakuti anak kecil,” bantah Akandra dengan senyum sinis. Namun Sarman tak terpancing emosi, ia hanya mengaduk kopi dan menjawab, “Kadang, yang menakut-nakuti bukan orang tua, tapi sesuatu yang ingin diingat.” Kalimat itu membuat suasana warung mendadak sunyi. Beberapa pelanggan lain berhenti mengunyah gorengan, menatap mereka dalam diam.
Akandra berdiri dengan kesal. “Saya nggak percaya hal begituan! Dunia ini bisa dijelaskan dengan logika, bukan klenik!” katanya keras.
Sarman menatapnya dengan mata yang seperti menyimpan rahasia panjang. “Kalau begitu, jangan datang menangis kalau logikamu tak lagi bisa menyelamatkanmu,” jawabnya pelan. Kalimat itu menancap di hati Akandra, namun egonya terlalu tinggi untuk mengakuinya.
Pertengkaran dan Pamali yang Dilanggar
Malamnya, Akandra bertengkar dengan adiknya, Dela, yang menegurnya agar meminta maaf di makam itu. “Kak, aku dengar dari tetangga, makam itu makam leluhur yang dulu menyelamatkan desa dari pagebluk. Jangan sombong, Kak,” kata Dela dengan wajah cemas. Namun Akandra membentak, “Aku nggak mau tunduk pada kuburan! Yang menyelamatkan manusia itu usaha dan uang, bukan roh-roh tua!”
Dela menangis, menuduh kakaknya lupa daratan karena kekayaan. “Kau sudah tak punya hati, Kak! Semua hal kau ukur dengan rupiah!” serunya sambil meninggalkan rumah. Amarah Akandra memuncak, tapi di balik pintu, bisikan yang sama kembali terdengar, “Yang angkuh akan ditundukkan.” Lampu padam tiba-tiba, dan cermin di ruang tamu retak tanpa sebab.
Dalam gelap, suara langkah berat mendekat dari arah kamar. Akandra menyalakan senter ponsel dan melihat bayangan hitam berdiri di sudut ruangan, memegang sesuatu yang menyerupai batu nisan kecil. “Kau sudah melangkah tanpa izin,” suara itu bergaung di kepalanya. Akandra berteriak dan jatuh tersungkur, tubuhnya bergetar hebat. Tatapannya kosong, mulutnya berkomat-kamit seperti menirukan doa yang tak ia kenal.
Kesurupan dan Penyesalan yang Terlambat
Keesokan paginya, warga menemukan Akandra tergeletak di lantai rumahnya dengan mata melotot, mulut menggumam nama seseorang yang tak dikenal. Sarman datang bersama Dela, berusaha membacakan doa dan menenangkan tubuh Akandra yang menggigil. “Dia sudah kerasukan penunggu makam,” ucap Sarman lirih sambil menutup mata Akandra dengan kain basah.
Dalam keadaan setengah sadar, Akandra berbisik, “Aku… lihat wajahnya… matanya marah.”
Dela memegangi tangan kakaknya, menangis tersedu. “Kak, tolong minta maaf. Jangan lawan, tolong!” Tangisan itu seperti menggema ke seluruh rumah. Setelah lama berjuang, Akandra menjerit sekali lagi lalu pingsan.
Saat tersadar, tubuhnya lemas, dan suaranya berubah lirih. “Aku minta ampun. Aku sudah salah. Aku akan datang dan berdoa,” katanya menatap Sarman yang hanya mengangguk tenang. Beberapa jam kemudian, mereka bertiga berjalan menuju makam itu. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma kenanga segar seolah memberi restu.
Bayangan yang Tak Pernah Pergi
Di depan nisan yang dulu ditendangnya, Akandra berlutut sambil menundukkan kepala. Ia memejamkan mata dan mengucap doa dengan tulus, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Setelah beberapa saat, desiran angin berhenti, dan suasana menjadi hening seperti setelah badai reda. Sarman tersenyum kecil, “Kadang, pamali bukan soal takut, tapi soal menghormati.”
Namun saat mereka beranjak pergi, Dela sempat menoleh dan melihat sesuatu. Di bawah pohon besar, terlihat bayangan samar berbentuk sosok tua berkopiah putih, tersenyum tenang sambil melambaikan tangan. Dela menggenggam lengan kakaknya, “Kak, lihat…” tapi Akandra hanya berkata lirih, “Aku tahu. Aku sudah melihatnya.”
Penulis: Fau
