Makna Pamali Menolak Lamaran Pria Menurut Tokoh Madura

Ilustrasi seorang perempuan menolak lamaran pria kurang sopan, sebuah pamali atau mitos Madura
Ilustrasi seorang perempuan menolak lamaran pria dengan cara kurang santun. (Gambar dibuat di AI Canva/Tintanesia)

Tintanesia, Madura - Pamali menolak lamaran pria masih diyakini oleh masyarakat Madura. pasalnya, mitis ini bisa mendatangkan kesialan jika dilakukan tanpa sopan santun. Namun balik pamali tersebut, terdapat pesan moral dan filosofi yang memiliki nilai luhur tinggi. 

Hal itu diungkapkan langsung oleh tokoh adat Madura, H. Imam (Nama Julukan), Jumat 24 Oktober 2025. 

Menurut dia, pamali menolak lamaran peria itu bukan hanya berkenaan dengan larangan mistis, tetapi ajaran untuk menjaga kehormatan perempuan dan keluarganya. Leluhur dulu menciptakan pamali agar manusia tidak bertindak semena-mena dalam urusan hati dan perasaan. 

"Pamali bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai pengingat agar manusia berhati-hati dalam bertutur dan bersikap," ujarnya. 

Menolak Lamaran denganSantun Adalah Cermin Kehormatan

Dalam pandangan H. Imam, perempuan yang menolak lamaran secara kasar dianggap melanggar etika adat dan tata krama. Dalam budaya Madura, tutur kata memiliki makna yang sangat dalam dan mencerminkan budi pekerti seseorang. 

“Perempuan yang menolak dengan cara lembut akan tetap dihormati, sedangkan yang menolak dengan kesombongan bisa dianggap tidak punya tata krama,” ungkapnya. 

Pamali menolak lamaran pria, lanjutnya, mengandung pesan agar manusia menghargai niat baik yang datang kepadanya. Lamaran bukan sekadar hubungan dua insan, tetapi juga pertemuan dua keluarga besar yang membawa martabat masing-masing. 

Artinya menolak dengan cara kasar, berarti merusak kehormatan kedua belah pihak dan meninggalkan luka sosial yang panjang di masyarakat.

Selain itu, pamali ini berfungsi menanamkan nilai kesantunan sejak muda. H. Imam menyebut, dalam adat Madura, tutur halus bukan hanya simbol kelembutan, melainkan benteng harga diri seorang perempuan. Sopan santun adalah cermin kehormatan.

"Sekali seorang perempuan dikenal kasar, citranya sulit diperbaiki di mata masyarakat,” tuturnya

Filosofi Keseimbangan Hidup dan Takdir Leluhur

Pamali menolak lamaran pria juga memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar sopan santun. H. Imam berpendapat, kepercayaan semacam ini berakar pada pandangan leluhur bahwa setiap kejadian dalam hidup adalah bagian dari takdir dan keseimbangan alam. Menolak lamaran dengan angkuh diibaratkan menolak rezeki yang sudah diatur oleh Tuhan.

"Semua yang datang kepada kita membawa pesan kehidupan. Jika ditolak dengan sombong, bisa jadi kita sedang menolak berkah yang belum tampak," imbuhnya. 

Dijelaskan Imam, masyarakat tradisional Madura meyakini bahwa kehidupan manusia terhubung dengan harmoni alam dan spiritual. Setiap niat tulus yang datang, termasuk lamaran, membawa energi baik yang seharusnya diterima dengan rasa hormat. Jika seseorang menolak dengan kesombongan, maka keseimbangan hidupnya diyakini akan terganggu. 

“Leluhur percaya, setiap tindakan memiliki pantulan. Kalau kita menghina kebaikan, kebaikan itu enggan mendekat lagi,” tambahnya.

Pamali tersebut juga berfungsi menjaga manusia agar tidak menyesali keputusan di kemudian hari. Banyak orang, kata H. Imam, baru menyadari arti kehilangan setelah waktu berlalu.

“Karena itu, setiap lamaran jangan langsung ditolak tanpa pertimbangan. Doakan, renungkan, lalu putuskan dengan kepala dingin,” pesannya penuh makna.

Kutukan dan Karma Sosial di Balik Menolak Lamaran

Selain mengandung nilai moral, pamali menolak lamaran pria sering dikaitkan dengan kutukan atau karma sosial. Cerita-cerita lama di Madura banyak mengisahkan perempuan yang hidup kesepian karena menolak lamaran dengan cara menghina. 

“Dulu ada gadis yang menolak lamaran sambil menertawakan pelamarnya. Setelah itu, tak ada lagi lelaki yang datang, seolah nasibnya tertutup,” kata Imam. 

Dalam pandangan masyarakat adat, setiap hati yang tersakiti bisa membawa doa yang kuat. Air mata seseorang yang direndahkan dipercaya bisa menjadi doa yang menembus langit. “Itulah sebabnya orang tua dulu selalu mengingatkan agar jangan mempermainkan perasaan orang. Doa orang yang disakiti bisa menjadi kenyataan,” ucap H. Imam dengan nada serius.

Karma sosial juga menjadi bagian penting dari pamali ini. Dalam kehidupan desa, jelasnya lebih lanjut, kabar tentang penolakan kasar bisa menyebar cepat dan menurunkan nama baik keluarga. 

“Sekali menolak dengan cara buruk, orang akan enggan datang. Pamali membuat kita lebih berhati-hati dalam bersikap,” pungkasnya.

Pamali Menolak Lamaran Sebagai Kearifan Lokal 

Meski zaman terus berubah, nilai-nilai yang terkandung dalam pamali ini masih dianggap relevan hingga kini. Bagi H. Imam, ajaran leluhur tersebut menjadi pedoman moral yang mengajarkan kesabaran dan penghormatan terhadap takdir.

“Pamali bukan penghalang, melainkan pagar agar manusia tidak tersesat dalam kesombongan,” timpalnya. 

H. Imam menilai, budaya pamali menolak lamaran pria perlu dipahami bukan sebagai takhayul, melainkan bagian dari pendidikan moral yang diwariskan nenek moyang. Pesan yang terkandung di dalamnya mengingatkan manusia untuk berempati dan menghormati niat baik dari siapa pun.

“Adat dan keyakinan itu lahir dari pengalaman hidup. Leluhur sudah lebih dulu tahu akibat dari kesombongan dan penyesalan,” ucapnya. 

Baca Juga

Pamali ini juga memperkuat ikatan sosial antarwarga agar tidak saling melukai perasaan. Dengan menjaga sopan santun, kehidupan masyarakat menjadi lebih harmonis dan damai.

“Kalau setiap orang bisa menolak dengan bijak, tak akan ada dendam, tak akan ada luka batin. Itulah keseimbangan hidup yang diajarkan leluhur,” tutup*

Penulis: Fau

Posting Komentar