Larangan Menyapu Saat Hujan, Melanggar Berarti Pingsan

Perempuan muda Jawa menyapu lantai rumah kayu saat hujan deras di sore hari, dengan suasana mistis dan pencahayaan remang.
Ilustrasi seorang perempuan Jawa sedang menyapu rumah di tengah hujan deras. (Dibuat dari AI Canva/Tintanesia) 

Tintanesia, Jawa Tengah (Jateng)

Hujan sore itu turun deras tanpa jeda, membasahi setiap jengkal tanah dusun kecil di Jateng. Waktu itu, agin menampar daun pisang di belakang rumah, menimbulkan suara seperti bisikan yang samar-samar. Sementara kebanyakan orang memilih menutup pintu rapat-rapat dan menikmati udara dingin dengan segelas teh panas. Berbeda dengan Kurti (Nama samaran), dia justru berdiri di teras sambi mengayunkan sapu dari kanan ke kiri mendorong sampah-sampah kecil.

Sesekali, Perempuan 34 tahun itu melirik air hujan yang membentuk aliran kecil membawa dedaunan kering berserakan ke sudut-sudut rumah. Alih-alih berhenti, Kurti justru masuk ke dalam rumah dan mulai menyapu semua ruangan-ruangan yang dianggapnya ada sampah kecil hingga ke teras.

Dari dapur, terdengar suara ibunya memanggil dengan nada cemas.

“Kurti! Masuk, Nak. Jangan menyapu waktu hujan deras begini. Orang dulu bilang, bisa ngundang yang tidak terlihat,” teriaknya keras. Namun Kurti tidak menjawab. Seolah tak mendengar. Dia justru melanjutkan sapuannya sementara hujan di luar semakin menggila. Sesekali petir menyambar langit seperti mengiringi setiap gerakannya.

Larangan Menyapu Saat Hujan Terlupakan

Sejak kecil, Kurti sering mendengar larangan menyapu saat hujan dari neneknya. Yakni, jika menyapu saat hujan deras, ada makhluk yak kasat mata datang dan suka usil.

Tapi Kurti, semua itu hanya cerita lama untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak bermain air. Kini, ketika dewasa, dia merasa tak ada alasan untuk mempercayainya.

Kurti merasa terganggu melihat rumahnya kotor karena lumpur dari teras. Setiap kali sapunya bergerak, bunyinya terdengar berat, seperti menyeret sesuatu yang tak kasat mata. Tapi dia tak berhenti. Bahkan semakin giat, berpindah dari ruang keruang lainnya.

Sementara itu, angin berembus lebih dingin. Bau tanah basah bercampur dengan aroma lembab yang aneh seperti wangi bunga kenanga yang baru dipetik. Tirai jendela bergerak perlahan, seolah ada seseorang yang berdiri di baliknya.

“Kurti, berhenti, Nak. Jangan diteruskan,” suara ibunya lagi, kali ini terdengar gemetar.

Tapi Kurti tetap diam. Tangannya terus bergerak. Ia merasa seperti sedang dalam kendali sesuatu yang bukan dirinya sendiri.

Hujan dan Bayangan di Sudut Ruangan

Petir menyambar lagi, menerangi seisi rumah hanya dalam sekejap. Dalam kilatan cahaya itu, Kurti melihat bayangan hitam di sudut ruang tamu. Bayangan itu tidak bergerak, tapi matanya seperti menatap tajam ke arahnya. Seketika bulu kuduknya berdiri. Ia berhenti menyapu, mencoba menenangkan diri dengan napas panjang, namun udara di sekitarnya terasa semakin berat.

Hujan menimpa atap seperti ribuan jari mengetuk-ngetuk dengan cepat. Suara sapunya kini berubah seperti diseret, bukan diayunkan. Ketika Kurti menatap lantai, ia melihat bekas sapuan membentuk garis panjang ke arah pintu belakang. Garis itu berakhir di bawah lemari tua yang jarang dibuka.

Tanpa berpikir panjang, ia mendekat. Tapi begitu ujung sapu menyentuh bagian bawah lemari, udara di dalam rumah mendadak sunyi. Hujan di luar sekan berhenti. Tak ada suara, hanya keheningan yang mencekam. Dari celah bawah lemari, keluar angin dingin disertai suara lirih semacam seseorang yang berbisik, memanggil namanya pelan.

“Kurti…”

Tubuh Kurti kaku. Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa pun di sekitarnya. dia memejamkan mata dan menelan ludah, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya halusinasi. Namun tiba-tiba, sapu di tangannya bergerak sendiri, seolah ditarik oleh sesuatu yang tak tampak.

Jeritan di Tengah Hujan

Dari dapur, ibunya yang dari tadi gelisah mendengar suara benda jatuh, langsung memikirkan anaknya. Secara tiba-tiba Sang ibu berlari ke ruang tengah dan mendapati putrinya berdiri mematung. Mata Kurti kosong menatap lantai yang agak basah oleh serpihan hujan. Bibirnya bergetar tanpa suara, dan sapu di tangannya jatuh perlahan.

“Kurti! Nak, kamu kenapa?” teriak Narti panik.

Namun sebelum ia sempat mendekat, petir menyambar lagi, dan lampu padam. Rumah seketika gelap total. Dalam kegelapan itu, Narti mendengar suara berat seperti langkah kaki dari arah belakang rumah. Langkah itu mendekat perlahan, diiringi aroma anyir yang menusuk hidung.

Narti memanggil nama putrinya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Ia hanya mendengar desahan pelan, lalu suara tubuh jatuh ke lantai. Ketika lampu kembali menyala, Kurti sudah tergeletak pingsan dengan wajah pucat dan tubuh dingin seperti es.

Keyakinan Warga akan Larangan dan Hujan

Jeritan Narti memecah keheningan hujan sore itu. Warga berdatangan membawa mencoba menolong. Seorang tetua desa, Mbah Wito, datang dan segera membaca doa-doa pelindung. Ia berkata pelan, “Sudah sering saya ingatkan, jangan menyapu waktu hujan. Alam tidak suka diganggu saat sedang bekerja.”

Orang-orang mengangguk tanpa bicara. Hujan masih turun, tapi kini terasa lebih lembut. Di luar, suara katak bersahutan seolah ikut menyambut keheningan. Kurti masih belum sadar, tapi wajahnya perlahan mulai hangat setelah diperciki air bunga dan didoakan.

Ketika akhirnya membuka mata, pandangannya kosong menatap langit-langit. “Mak, tadi... ada yang berdiri di depan pintu,” ucapnya lirih. Narti memeluknya erat, tak berani menatap ke arah pintu belakang yang masih terbuka sedikit. Di sana, genangan air membentuk jejak langkah samar yang mengarah keluar rumah, seolah seseorang baru saja pergi meninggalkan tempat itu.

Sejak kejadian malam itu, Kurti tak pernah lagi menyapu saat hujan turun. Setiap kali mendengar suara gemericik di atap, tubuhnya gemetar tanpa sebab. Ia lebih memilih duduk di dekat ibunya, berdoa agar rumah mereka selalu dilindungi dari hal-hal tak terlihat.*

Baca Juga 

Disclaimer: Narasi di atas bukan kisah nyata, melainkan fiktif yang sengaja Tintanesia hadirkan untuk menciptakan cerita dengan mengaitkan mitos larangan menyapu saat hujan. Sehingga apabila ada kesamaan tokoh dan latar, redaksi memohon untuk dimaklumi. Terimakasih.

Penulis: Fau

2 komentar
Batal
Comment Author Avatar
Midah09
Mental Saya Diobok-obok sama cerpen yang ini. Kirim Nomor Rekeningnya Mas Biar Tak Transfer...
Comment Author Avatar
Anonim
Nikmat Banget Cerpennya Kak