Kebiasaan Unik Santri Madura Saat Berkomunikasi dengan Kiyai

Santri
(Pixabay/SyauqiFillah)

Tintanesia - Dalam kehidupan pesantren di Madura, ada kebiasaan menarik yang masih bertahan hingga kini. Santri dari wilayah Jrengik, Sampang, misalnya, yakni dikenal memiliki tata krama berbicara yang sangat sopan saat berhadapan dengan Kiyai atau gurunya.

Cara santri Madura berbicara ini seolah bukan hanya percakapan, tetapi bentuk penghormatan yang menunjukkan kedalaman budi dan ketulusan hati.

Tradisi berbicara lembut kepada Kiyai sudah menjadi bagian dari kultur pesantren Madura sejak lama. Setiap kata yang keluar dari lisan santri diucapkan dengan penuh kehati-hatian guna tidak menyinggung perasaan Sang guru.

Hal itu bagi Santri Madura, Kiyai bukan hanya pengajar ilmu agama. Tetapi, juga sosok yang menjadi panutan spiritual dan penjaga nilai moral.

Rasa hormat itulah yang membuat santri terbiasa menggunakan bahasa paling halus dalam tingkatan bahasa Madura. Bahkan, banyak yang menyebut gaya bicara santri Madura kepada Kiyai terdengar lembut seperti berlagu. Hal itu karena intonasi suara yang pelan dan ritmis menjadi simbol ketundukan, seolah-olah setiap ucapan adalah doa yang lahir dari hati yang penuh takzim.

Nada Berirama Simbol Penghormatan Santri pada Kiyai

Ketika berbincang dengan Kiyai, santri Madura biasanya menundukkan kepala dan berbicara dengan nada halus berirama. Gaya bicara ini bukan dibuat-buat, melainkan hasil dari latihan panjang sejak kecil dalam lingkungan yang sangat menjunjung adab.

Ditambah lagi orang Madura meyakini, bahwa berbicara dengan guru harus dilakukan dengan hati yang bersih dan suara yang teratur agar jawaban atau pertanyaan tersampaikan dengan berkah.

Nada berirama dalam percakapan santri menandakan kehati-hatian dalam memahami setiap nasihat guru. Mereka tidak pernah memotong pembicaraan dan selalu menunggu waktu yang tepat untuk menjawab. Hal itu menunjukkan bahwa dalam budaya Madura, keheningan di depan Kiyai dianggap lebih berharga daripada seribu kata tanpa sopan santun.

Kebiasaan ini diwariskan dari generasi ke generasi di lingkungan pesantren Madura. Banyak santri yang bahkan terbiasa menurunkan nada suaranya secara otomatis saat berada di hadapan Kiyai, seolah tubuh mereka sudah mengenal batasan khusus tanpa perlu diajarkan lagi. Dari sinilah muncul nilai luhur bahwa adab harus lebih diutamakan daripada kecerdasan semata.

Bahasa Halus ini Ketaatan Santri pada Kiyai

Bahasa halus tingkat tinggi menjadi salah satu ciri khas komunikasi santri Madura dengan Kiyainya. Mereka menggunakan kosakata yang penuh penghormatan dan menyimpan makna kelembutan. Setiap kalimat dirangkai dengan struktur yang sopan agar tidak menyinggung lawan bicara, sekaligus menjaga kesakralan hubungan antara murid dan guru.

Di masyarakat Madura, berbicara santun kepada Kiyai dianggap bagian dari kewajiban. Bukan hanya soal tata bahasa, tetapi juga tentang niat hati dan cara menyampaikan pesan. Semakin lembut ucapannya, semakin besar pula rasa takzim yang ditunjukkan seorang santri terhadap ilmu yang diterimanya.

Bahasa halus juga mencerminkan kedewasaan spiritual. Santri yang mampu berbicara santun dinilai telah memahami nilai keikhlasan dalam menuntut ilmu. Gaya berbicara yang sopan bukan sekadar kebiasaan, tetapi juga bentuk kesadaran bahwa setiap guru adalah jalan menuju keberkahan hidup dan pengetahuan yang bermanfaat.

Perbedaan Gaya Bicara Santri pada Masyarakat

Menariknya, ketika santri Madura berinteraksi dengan masyarakat umum, mereka tetap memakai bahasa halus, namun dengan nada yang lebih tegas. Suaranya tidak lagi lembut berirama seperti ketika berbicara dengan Kiyai, melainkan lebih mantap dan berwibawa. Gaya tersebut menggambarkan bahwa santri tetap menjaga kesantunan, tetapi juga mempertegas kepribadiannya sebagai pribadi berilmu.

Perbedaan gaya berbicara ini mencerminkan kemampuan santri beradaptasi dengan situasi sosial. Mereka tahu kapan harus berbicara lembut, kapan mesti berbicara tegas, dan bagaimana menjaga keseimbangan antara sopan santun serta ketegasan.

Sikap ini, tentu menjadi bukti terkait pendidikan pesantren tidak hanya membentuk pengetahuan agama, tetapi juga mengasah kepekaan sosial dan moral.

Banyak masyarakat Madura menghargai cara santri berbicara yang tetap santun dalam segala situasi. Mereka dianggap sebagai contoh generasi muda yang mampu membawa nilai pesantren ke tengah masyarakat luas tanpa kehilangan karakter dan kesopanan. Gaya komunikasi seperti ini menjadi warisan budaya yang memperkaya wajah sosial Madura hingga kini.

Makna Adab Santri di Setiap Percakapan

Dalam pandangan santri Madura, berbicara dengan Kiyai bukan hanya persoalan komunikasi, tetapi juga bagian dari ibadah. Setiap kata yang keluar dianggap memiliki makna spiritual yang mendalam. Artinya mereka berbicara dengan penuh perhatian, memperhatikan ekspresi wajah, nada suara, dan makna di balik setiap kalimat yang diucapkan guru.

Kehati-hatian dalam berbicara inilah yang menumbuhkan kebijaksanaan dalam bertutur kata. Santri belajar untuk tidak tergesa-gesa, tidak meninggikan suara, dan tidak memotong pembicaraan saat berkomunikasi dengan Sang guru. Semua dilakukan karena keyakinan bahwa adab dalam berbicara adalah cerminan hati yang bersih dan pikiran yang tenang.

Nilai-nilai tersebut membentuk karakter khas santri Madura yang dikenal sopan, sabar, dan rendah hati. Mereka tidak hanya menghormati guru secara lahiriah, tetapi juga menghayati setiap nasihat dengan sepenuh hati. Sikap inilah yang membuat pesantren di Madura tetap menjadi tempat lahirnya generasi berakhlak dan berilmu seimbang.

Tradisi Komunikasi Santri Kepada Sang Guru

Kebiasaan unik santri Madura saat berinteraksi dengan Kiyai memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat modern. Di tengah budaya komunikasi yang semakin cepat dan cenderung keras, mereka menunjukkan bahwa kelembutan dan kesopanan justru mampu menumbuhkan keharmonisan. Tradisi itu mengajarkan bahwa berbicara dengan hati yang tenang lebih efektif daripada suara yang tinggi namun tanpa adab.

Nilai kesopanan ini seharusnya dijadikan teladan dalam berbagai situasi kehidupan. Di tempat kerja, sekolah, atau lingkungan sosial, kemampuan berbicara dengan sopan akan menciptakan suasana yang nyaman dan saling menghargai. Masyarakat Madura telah menunjukkan bahwa etika berkomunikasi bisa menjadi jembatan untuk mempererat hubungan antarindividu.

Bila kebiasaan semacam ini terus dijaga, bukan hanya pesantren yang akan merasakan manfaatnya, tetapi juga masyarakat luas. Tradisi berbicara penuh hormat akan melahirkan budaya saling menghargai, menjaga martabat, dan menumbuhkan kedamaian sosial. Nilai-nilai inilah yang membuat budaya Madura tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman.

Menjaga Warisan Adab di Era Modern

Kebiasaan berbicara lembut kepada Kiyai merupakan bagian dari identitas budaya yang perlu dilestarikan. Di tengah era digital yang serba cepat, cara berbicara yang sopan menjadi semakin langka. Padahal, kesantunan tutur kata dapat menjadi benteng moral dalam menghadapi derasnya arus komunikasi daring yang sering kali kehilangan etika.

Santri Madura telah menunjukkan bahwa kesopanan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan moral. Mereka membuktikan bahwa ketenangan dan kelembutan bisa menjadi wujud kecerdasan emosional yang tinggi. Gaya bicara yang teratur, tenang, dan penuh penghormatan termasuk bentuk kedewasaan dalam memahami nilai kehidupan seperti yang mereka praktekan. Bagaimana, keren kan?*

Penulis: Sdw

Posting Komentar